Thursday, September 7, 2017

AGAMA MEMAKNAI GLOBALISASI


Oleh: Achmad Rois)*
Di tengah kehidupan yang serba modern ini, globalisasi menjadi perbincangan menarik untuk diketengahkan dengan tema apapun. Globalisasi akrab disebut-sebut sebagai zaman dimana teknologi menjadi kebutuhan utama dalam menjalani aktifitas sehari-hari. Dari mulai memasak, mencuci pakaian, sampai dengan urusan agama pun terkait dengan teknologi. Bahkan globalisasi akan menjadi tema yang menarik jika dibahas dari kacamata dan fenomena-fenomena keagamaan. Agama sendiri memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan sosial dan kultural. Sedangkan globalisasi, khususnya teknologi informasi, memiliki dampak yang tidak kalah serius jika dibandingkan dengan Agama. Dampak dari globalisasi ini bisa berpengaruh terhadap budaya, sistem nilai dan tata hidup sehari-hari.
Faktanya, globalisasi memberikan banyak kemudahan pada masyarakat yang akrab dengan teknologi-teknologi mutahir seperti internet. Saat ini, internet sudah menjadi wahana utama bagi masyarakat global untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan mereka tentang apapun. Seluruh informasi pergumulan global tentang masalah sosial, budaya, politik, ekonomi bisa di akses dengan cepat dan mudah dari sini. Masalah agama, yang pada umumnya berisi doktrin-doktrin agama juga tidak luput dari kemudahan mengakses informasi; internet. Sehingga saat ini, orang lebih sering mendatangi WARNET (warung internet) ketimbang hadir dipengajian-pengajian atau bersilaturahmi ke rumah pemuka agama untuk mendapatkan pencerahan mengenai problem keagamaan dan kehidupan sehari-hari.
Wajah baru globalisasi dan kemudahan mengakses informasi agama ini tentu menimbulkan budaya baru dalam kehidupan sosial keagamaan. Jika dahulu masyarakat mendapatkan informasi keagamaan dari para Guru atau pemuka-pemuka agama melalui madrasah atau pengajian-pengajian umum, maka saat ini, setiap orang hanya perlu pergi ke warnet atau membuka laptop di dalam kamar untuk mendapatkan informasi keagamaan yang mereka butuhkan. Budaya semacam ini merupakan dampak globalisasi yang dimaknai dengan dangkal dan tanpa filter. Hingga akhirnya menghasilkan manusia-manusia bermental konsumeris atau cenderung menyukai sesuatu yang instan, siap saji.
Masalah lain yang timbul seiring dengan gencarnya teknologi informasi ini adalah masuknya wajah-wajah neo-liberalisme dan kapitalisme yang diejawantahkan pada budaya konsumerisme. Wajah-wajah ini hadir bersama karakteristiknya yang khas, yaitu memperjelas sistem hierarki sosial. Tujuan utama sistem ini adalah memperjelas defenisi mengenai kaya, miskin, bahagia, sukses, kehormatan dan hina dari kacamata duniawi. Semua kata tersebut menjadi sebuah sistem nilai baru dimana uang, kemewahan dan kepemilikan barang-barang tertentu menjadi barometer. Hingga akhirnya tercipta sebuah jurang pemisah yang amat dalam antara si Kaya dan si Miskin.
Pada awalnya mungkin hanya soal kepemilikan barang-barang seperti emas, mobil, deposito, hand phone, laptop, rumah mewah, perabot mahal atau semacamnya. Namun kemudian hal ini mulai meluas kepada terbentuknya komunitas tertentu dalam interaksi sosial. Misalnya komunitas arisan istri-istri pejabat, sekolah anak-anak orang kaya, komunitas car modification, dan komunitas-komunitas lain yang diskriminatif. Dengan begitu, anak-anak orang kaya mulai dilarang bergaul dengan anak-anak pedagang kaki lima, serta budaya pamer kemewahan dunia mulai dipupuk rata. Sehingga semakin jelaslah bahwa dualisme Kaya dan Miskin, Kuat dan Lemah, Besar dan Kecil adalah sesuatu yang wajib ada dalam pergaulan sosial masyarakat di era globalisasi. Jika sudah seperti ini teori Evolusi Darwin pun mulai tampak tidak bisa disangkal, karena sesungguhnya teori itu ingin berkata bahwa “yang kuat harus menindas yang lemah”.
Globalisasi sudah mereduksi banyak sistem nilai dalam interaksi sosial, misalnya nilai sopan santun dan kekeluargaan. Globalisasi mulai mengurangi volume silaturahmi, kekeluargaan dan perkumpulan-perkumpulan fisik. Kalaupun budaya berkunjung ke rumah teman, ngobrol-ngobrol dan diskusi itu masih ada, efektifitas pergaulan semacam itu sudah semakin berkurang. Bagaimana tidak, saat teman yang satu berbicara, yang lain lebih asyik membaca sms atau mengakses jejaring sosial. Mereka lebih suka berhubungan dengan khayalan ketimbang menghadapi kenyataan. Selain kurangnya sopan santun, hal ini juga berdampak pada melemahnya mental dalam berkomunikasi secara ekternal. Karena teknologi, khususnya internet sudah mampu menjajah waktu kita dan membuat kita semakin individualis.
Singkatnya, kita tidak lagi dijajah secara fisik, tapi sudah lebih parah dari itu. Globalisasi sudah menjajah kita dari banyak sisi. Mereka menjajah waktu kita dan mengeksploitasi otak kita untuk terus memikirkan hal-hal yang tidak nyata. Budaya dan cara kita bergaul yang kini semakin individual juga merupakan bentuk penjajahan. Globalisasi terus mencekoki kita dengan berbagai teknologi sehingga kita menjadi generasi yang manja dan tidak kreatif, karena kita mulai menyukai sesuatu yang gampang dari pada berjuang untuk mendapatkan sesuatu. Secara ekonomi kita dituntut untuk bekerja keras hanya untuk dapat membeli barang-barang baru dengan teknologi yang semakin canggih.
Globalisasi membuat kita lebih suka bergaul dalam kelompok atau komunitas-komunitas tertentu. Kelompok-kelompok tersebut mulai membuat group-group tertentu di internet. Fasilitas ini lah yang nantinya dijadikan ajang ngobrol-ngobrol tanpa muka dan senyum yang nyata. Jadi tidak heran jika saat ini banyak sekali modus kejahatan di internet, atau sering dikenal dengan istilah cyber crime. Karena orang tidak bisa lagi mengetahui apakah lawan bicaranya ini serius, bergurau atau bahkan berbohong. Globalisasi mulai menjadikan manusia-manusia pembual dan mudah dibohongi hanya dengan kata-kata sebait atau dua bait.
Dari sisi keagamaan, seperti yang sudah disinggung di atas, masyarakat yang kini terggelam dalam arus globalisasi sudah menjauhkan diri dari para pemuka agama dan pengajian-pengajian Agama. Kyai mulai disisihkan dengan berbagai pretensi, misalnya, Kyai dianggap sebagai sosok yang otoritatif dan tidak komunikatif. Dakwah-dakwahnya dianggap kuno karena melulu menggunakan metode ceramah dan sama sekali tidak dialogis. Bahkan sebagian Kyai dianggap cabul karena memiliki istri lebih banyak dari yang lain. Dari sisi kelembagaan misalnya, pesantren dianggap menjalankan sistem feodal seperti penjajah belanda pada masa itu. Para santri di pesantren-pesantren, khususnya di pulau Jawa, disuruh mengerjakan sawah, mencuci pakaian, menyapu rumah dan lain sebagainya seperti pembantu rumah tangga. Padahal itu semua adalah kemauan dari santri-santri itu sendiri untuk mendapatkan ridho Allah melalui ridho dan doa para Kyai.
Hal-hal yang berkaitan dengan wacana tersebut sudah marak kita jumpai di internet. Semua informasi tersebut dibesar-besarkan seakan-akan yang mereka katakan adalah sebuah kebenaran. Kemudian dalam sejam saja, informasi tersebut sudah dibaca oleh ribuan pengguna internet. Bisa kita bayangkan betapa cepatnya seseorang ingin merusak orang lain, paling tidak dari sisi pencitraan. Baik itu pencitraan personal, kelembagaan pesantren atau bahkan kebenaran Agama. Kebenaran dalam hal apapun, khususnya kebenaran Agama, saat ini sudah sangat mudah dimanipulasi oleh oknum beragama hanya dengan menggunakan media internet, televisi, radio dan lain-lain. Tujuan mereka yang beragam membuat mereka semakin kreatif dalam menjelek-jelekkan orang lain dan membenarkan diri atau kelompok mereka sendiri.
Jika dicermati, semua itu adalah usaha-usaha yang dilakukan oleh segelintir orang yang ingin meraup keuntungan duniawi dengan cara menjauhkan masyarakat, khususnya komunitas keagamaan, dari agama itu sendiri. Dengan berbagai jalan yang mereka tempuh, saat ini sudah dapat kita lihat keberhasilan mereka dalam menjauhkan manusia dari agama dan Tuhan. Jika pada zaman sebelum globalisasi bergulir, para pemimpin keagamaan menjadi sumber central dari nilai-nilai kebaikan dan pergaulan sehari-hari. Mereka selalu menjadi orang nomor satu yang ditemui dan dimintai pendapat untuk menyelesaikan problem-problem keagamaan atau bahkan non-keagamaan. Maka, di era ini, masyarakat lebih suka mencari solusi di internet untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga hal ini mempunyai konsekuensi bahwa posisi Agama dan pemimpin keagamaan sudah tergantikan oleh internet.
Akhirnya, kita harus mulai sadar bahwa sejak abad 20, semangat globalisasi yang diisi dengan kampanye sekularisasi dan modernisasi dalam bentuk apapun – baik itu kemajuan teknologi informasi, budaya, busana, makanan, dan lain-lain – hanya mengemban satu misi, yaitu menjauhkan Tuhan dan Agama dari kehidupan publik. WALLAHU A’LAM.
)* Penulis Adalah Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

No comments:
Write comments