Monday, September 4, 2017

SAJAK MENGENANG


Oleh: Achmad Rois)*
“BIARKAN MEREKA MENGENALMU SECARA WAJAR, TAPI PERKENALKAN DIRIMU DALAM KETIDAKWAJARAN YANG LOGIS”
Aku, seorang laki-laki yang meninggalkan banyak kenangan kira-kira hampir enam tahun yang lalu. Beberapa hari yang lalu kenangan itu muncul begitu deras, menjadikan aktifitasku penuh dengan keceriaan yang sudah tidak kutemui sejak lima tahun yang lalu. Aku sendiri sebenarnya tidak begitu mengerti, mengapa kebanyakan orang harus berselisih paham terhadap masa lalu yang diciptakannya sendiri. Padahal aku dalam beberapa hari ini begitu banyak menikmati betapa posotifnya energy yang kudapatkan lantaran aku terlanjur berdamai dengan semua yang sudah pernah terjadi waktu itu.
Aku waktu itu adalah remaja yang tidak begitu tampan, namun sebagian orang berkata bahwa ada banyak hal menawan yang senantiasa tanpa kusadari tampil kepermukaan. Apapun itu, semua kusadari bukan karena ketampananan, tapi menurut psikiater terakhir yang aku hubungi, dia bilang aku sedang dalam zona rawat jalan. Aku lebih suka hidup dalam prilaku yang oleh banyak orang dianggap tak wajar, namun lambat laun ketidak wajaran itu menjadi sesuatu yang indah dan tak pernah mereka temukan tanpa kehadiranku di sekeliling mereka. Kemudian pada akhirnya ketidak wajaran itu mereka sukai sebagai sebuah prilaku yang mesti direnungkan.
Hidup ini tak perlu banyak kenangan, cukuplah beberapa saja. Kenangan seperti buaian angan dalam mimpi yang berayun bergelantung di awan. Mereka muncul terkadang dari sebab yang tak pernah kita duga dan kira-kirakan. Suatu waktu mereka hadir bersama nada dering, tetapi untuk zaman ini, mereka lebih sering muncul di situs-situs social. Sebelum tidur meracau, bangun tidur begitu dan mau makan kadang-kadang begitu juga. Tanpa lelah sepertinya mereka mengganguku dengan kebahagiaan. Kebahagiaan yang lambat laun menjadi sesuatu yang kuat dan tidak bisa dihitung dalam takaran yang sulit.
Saat persepsi menjadi sulit sekali dimengerti, aku kemudian kembali dalam jurang mimpi yang lama sudah kubangun dari balik jeruji. Ada banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi secara bertubi, sementara reaksinya belum diperhitungkan sama sekali. Lantas kenapa kita harus mempersulit diri dan hidup ini. Hidup ini terlalu indah untuk disakiti, jadi biarkan dia memilih jalan-jalan yang dia sukai. Tak perlu riskan pada kebebasannya memilih, karena hari ini, kebebasan lebih sering membelenggu dan meyakiti. Lagipula, sebenarnya kebebasan itu hanya wacana, tak pernah ada walau sekeping dalam realita.
Sahabatku yang saat ini banyak dan dimana-mana, berdamailah dengan masa lalumu dan jangan pernah sesalkan apa yang sudah terjadi. Kebahagiaanmu hari ini adalah hasil deklarasi perdamaianmu dengan masa lalu. Jadi patuhi perjanjian itu sebagai sesuatu yang mesti kau jalani dalam keadaan apapun yang nanti kau temui. Kebersamaanmu waktu itu adalah jalan penuh duri yang tidak berada ditengah jalan untuk dihindari. Karena terkadang sesuatu yang indah itu dimulai dari rasa sakit, keburukan, kerusakan atau apapun yang tidak kita inginan terjadi.
Kemudian suatu pagi aku terbangun karena sengitnya gigitan nyamuk lantaran Tuhan tidak memberi mereka pilihan lain, selain menghisap darah penidur pulas. Aku bangkit menyisihkan keluhan di atas jemuran kawat yang berada tidak jauh dari kamar mandi. Kubiarkan rasa kantukku tetap di atas karpet karena aku khawatir sesaat lagi aku ingin kembali kesana. Kubasuh muka berdosa ini dengan air keruh, lalu kucaci secara sadar hati gemuruh yang berguncang dalam setiap pengaruh. Tapi ternyata, ini rindu ntah pada siapa. Namun yang pasti, topik kita hari ini adalah masa lalu dalam banyak hitungan tragedy.
Ada banyak nama yang sulit kuingat setiapa saat, namun ada beberapa yang tak mungkin kulupa. Mereka sering hadir disela-sela tombol hand phone, di bawah karpet, ensel lemari, tumpukan buku-buku, jemuran, dan pintu. Suara mereka terdengar tiap kali aku menutup pintu dan menyapu halaman rumah penuh dedaunan dan debu. Kemudian wajahnya hadir saat mata terkilir setir menimpa semilir angin seperti kincir yang diplintir. Kemudian ternyata, aku mulai merindukan kalian yang dalam sedikit sekali kesempatan untuk bisa bertemu. Dari itu, dengarkanlah ini, biarkan aku mengenang kalian dalam kehangatan mentari dan keseragaman pelangi. Salam rindu selalu, untuk saat yang tempatnya selalu bergantung pada waktu.
)* Penulis adalah Peziarah Ghaib yang saat ini kesepian menanti kelelahan jiwanya pergi dalam bayang kerinduan, meskipun itu bukan cinta kasih.

No comments:
Write comments