Thursday, April 20, 2017

Janji, Ekspektasi dan Mimpi

Oleh: Achmad Rois)*
Indonesia yang saat ini berpenduduk kurang lebih 230 juta jiwa sepertinya sedang dilanda masalah yang cukup besar dan serius. Indonesia telah menentukan pilihan arah pembangunan negara disegala bidang, paling tidak untuk lima tahun kedepan. Hal ini ditandai dengan terpilihnya presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Kepala Negara sekaligus Pemimpin Pemerintahan. Ini berarti bahwa sebuah bangsa telah memilih jalan hidup demi kemajuan bangsanya minimal untuk masa lima tahun pemerintahan. Lantas bagaimanakah kriteria yang diharapkan oleh rakyat dalam kapasitasnya sebagai pemimpin yang ideal. Seorang pemimpin yang mampu membawa Negeri ini pada taraf kemajuan yang significan. Seorang pemimpin yang tidak mengutamakan kepentingan pribadi ataupun golongan dan berani memilih tindakan yang tepat meski tidak menjadikan dirinya populer.

Masyarakat kita terlalu pintar tentang konsep-konsep atau teori ke-pemimpin-an. Pantas kiranya jika masyarakat kita mengharapkan seorang pemimpin yang mumpuni dalam kompetensi dan kapasitasnya sebagai Kepala Negara dan Pemimpin Pemerintahan. Masyarakat kita tidak lagi peduli dengan konsep-konsep yang mereka bawa waktu berkampanye dulu. Rakyat Indonesia sudah cukup tua untuk mendengar sajian kata yang disusun dalam bentuk janji-janji. Rakyat sudah cukup mengerti bahwa yang harus dimiliki seorang Kepala Negara dan Pemimpin Pemerintahan bukan hanya kemampuan meramu konsep dan formulasi program. Melainkan kapasitas, kemampuan dan kerja nyata dalam berbagai bidang. Sehingga wajar jika masyarakat kita saat ini memiliki espektasi yang cukup tinggi dalam hal kapasitas dan implikasi program dilapangan. Dalam konteks itu semua, dapat dikatakan bahwa situasi Negara dan Bangsa saat ini membutuhkan figur seorang pemimpin yang berani, tegas, cepat, tanggap dan tepat.

Peringatan 100 hari masa kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudoyonno dan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II seharusnya diinterpretasikan sebagai evaluasi kinerja pemerintahan. Moment seperti ini harus bisa ditanggapi secara positif oleh semua pihak, baik dari element politikus, ormas, buruh, mahasiswa dan pihak pemerintah itu sendiri. Jika ditelisik, moment 28 Januari 2010 yang lalu adalah kelanjutan dari aksi besar yang berlangsung diseluruh pelosok Negeri pada tanggal 9 Desember 2009 yang lalu. Ini membuktikan bahwa rakyat Indonesia tidak lagi main-main dalam mengawal setiap kebijakan dan langkah-langkah pemerintahan. Problematika birokrasi yang terus membludak dimedia membuat masyarakat semakin mengerti bagaimana seharusnya menjadi rakyat yang baik. Bagaimana menjadi rakyat yang memiliki kepedulian tinggi terhadap stabilitas Nasional dan kemajuan Bangsa pada taraf Internasional. Dan rakyat yang memiliki aware Nasionalisme yang tinggi.

JANJI dan EKSPEKTASI

Bukan sesuatu yang mengherankan lagi jika seorang wakil rakyat menjanjikan sesuatu terhadap suara yang diwakilinya. Hal yang demikian adalah sesuatu yang lumrah dan diperbolehkan dalam etika politik, khususnya dalam proses penggalangan masa dan menarik simpati para simpatisan politik. Kegiatan semacam ini bisa dilakukan dimana saja, dalam kegiatan berkampanye atau dalam bentuk gerakan simpatik lainya seperti kegiatan amal atau bhakti sosial.

Begitu juga yang dilakukan presiden terpilih sebelum menjadi seorang Kepala Negara dan Pemimpin Pemerintahan. Setelah terpilih, beliau mencanangkan program 100 hari kerja. Hal ini secara positif mungkin dimaknai sebagai pijakan awal untuk memulai langkah kedepan menuju arah yang lebih baik. Tapi disisi lain, hal ini dicatat dalam benak masyarakat secara umum sebagai bentuk janji seorang Presiden. Jadi tidak perlu dikhawatirkan lagi jika suatu saat janji ini akan ditagih dalam bentuk yang nyata. Bukan dalam tataran konsep atau program yang muluk-muluk tanpa kejelasan implikasinya dilapangan.

Ada 15 poin penting yang dicatat oleh seluruh masyarakat dan diartikan secara keras sebagai janji seorang Presiden. Ekonomi, Politik, Pemerintahan Bersih, dan beberapa program lain.

Masalah korupsi sementara ini masih menjadi masalah yang mendapat pengamatan serius dari seluruh lapisan masyarakat. Baik dari lapisan masyarakat menegah kebawah seperti para petani dan buruh, masyarakat menengah keatas terutama masyarakat educated, dan masyarakat elite yaitu pihak birokrat, politikus dan lembaga-lembaga tinggi negara. Kerasnya tuntutan masyarakat kepada pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus ini adalah sesuatu yang wajar. Karena korelasi aksi 28 Januari 2010 dan 9 Desember 2009 lalu adalah wujud keseriusan masyarakat terhadap advokasi kinerja pemerintahan SBY dan gerakan yang bersifat kontinuitas. Rakyat kelihatanya memang tidak lagi main-main, bahkan bisa jadi akan ada aksi lanjutan terkait kinerja pemerintah hari ini. Hal itu mungkin saja terjadi karena ekspektasi masyarakat terhadap program 100 hari kerja ini cukup besar.

Kurang maksimalnya hasil dari program 100 hari ini disebabkan beberapa faktor, antara lain:

Pertama, masa 100 hari ini masih menjadi “masa bulan madu” bagi para anggota Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. “Bulan madu” dalam konteks kali ini tentu tidak dapat diartikan sepenuhnya seperti masa “bulan madu”nya sepasang pengantin baru. Para anggota kabinet yang disusun dari hasil koalisi politik dan berbagai pertimbangan penting tentu tidak akan begitu saja berjalan selaras sesuai harapan kita bersama sebagai masyarakat yang awam dalam dunia politik. Harus ada kesesuaian antara individu satu dengan yang lain, karena yang akan diperjuangkan adalah suara seluruh rakyat yang diwakili.

Kedua, adanya kasus yang marak beberapa bulan yang lalu dengan sebutan kasus “Cicak dan Buaya“. Kasus ini banyak mengundang konsentrasi semua pihak terutama tim KPK dan Kepolisian. Dua lembaga yang sama-sama berfungsi menegakkan supremasi hukum di Indonesia ini terpaksa bertikai satu sama lain dimeja hijau. Hal ini tentu mempunyai pengaruh yang significan terhadap stabilitas nasional, terutama pada perjalanan program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Dan,

Ketiga, mencuatnya mega skandal Bank Century yang melibatkan beberapa tokoh penting sebagai penggerak roda pemerintahan. Bagaimana tidak, Boediono adalah seorang Wakil Presiden dan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Dua posisi ini adalah posisi yang sama-sama strategis mempengaruhi stabilitas nasional. Pengaruh yang significan juga dirasakan oleh puluhan anggota Panitia Khusus Angket Century. Mereka harus mondar-mandir keluar masuk ruang sidang untuk menyelesaikan proses persidangan. Masalah yang sangat rumit ini bahkan menghadirkan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Mantan Kabareskrim Susno Duaji untuk kembali diexpose diruang-ruang publik. Beberapa tokoh seperti ahli hukum yang memiliki pengaruh terhadap interpretasi media pun dihadirkan. Karena dikhawatirkan adanya interpretasi yang menyimpang dari konteks persidangan kemudian dimuat secara bebas dimedia dan dikonsumsi oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Proses-proses tersebut tidak bisa tidak berpengaruh terhadap berlangsungnya stabilitas Nasional dan roda pemerintahan.

MIMPI

Jika semua konsentrasi pemerintah terfokus kearah yang sama. Maka harapan masyarakat akan janji-janji pemerintahanpun hanya akan ada dalam mimpi. Sebenarnya ada hal lain yang juga tidak kalah penting untuk diperhatikan selain tiga hal yang telah saya sebutkan sebelumnya.

Permainan Mafia selama ini ternyata tidak hanya merambah wilayah hukum. Sebenarnya Mafia Perpajakan pun mempunyai peluang yang tidak kalah besarnya sebagai lahan basah korupsi. Padahal realitanya, sistem perpajakan adalah sistem yang mempunyai korelasi langsung terhadap jantung perekonomian bangsa. Dalam hal ini, peningkatan taraf ekonomi masyarakat juga merupakan salah satu program yang dicanangkan dan akan dipenuhi pada masa 100 hari kepemimpinan SBY. Tidak harus mengambil langkah yang muluk muluk, memperbaiki sistem perpajakan, mengalirkan dananya sesuai kebutuhan dan menempatkan pada tempat yang tepat, saya pikir akan lebih efektif untuk membantu stabilitas ekonomi bangsa. Tapi mungkin prosesnya tidak akan sesimple itu.

Terjadinya krisis listrik juga menjadi masalah yang serius dikalangan masyarakat. Ini dibuktikan dengan masih diberlakukannya sistem pemadaman bergilir, terutama pada beberapa daerah dipulau jawa. Bukankah program Revitalisasi Listrik ini sudah dicanangkan 100 hari yang lalu, tetapi sistem pemadaman bergilir masih juga dirasakan. Bahkan alasan kepergian Presiden dari Istana 28 Januari 2010 yang lalu adalah meresmikan PLTU di Labuhan, Banten. Padahal program ini sudah dicanangkan semenjak tahta pemerintahan diduduki oleh SBY dan JK 5 tahun 100 hari yang lalu.

Penerapan FTA (Free Trade Area) di Indonesia juga mengundang banyak kontroversi yang sebagian besar disuarakan oleh para buruh dan pengusaha kecil; padat karya. Pertanyaannya, apakah pemerintah sudah cukup mampu memberikan fasilitas yang cukup untuk membuat mereka mampu bersaing dipasar bebas 2010. Kebijakan ini dekecam keras di Surabaya oleh Kelompok Mayoritas Buruh dan Pengusaha Menengah kebawah pada aksi 28 Januari 2010 yang lalu. Mereka berasumsi bahwa kebijakan ini sama sekali tidak berpihak kepada rakyat kecil dan para buruh. Mereka juga memberikan kecaman keras terhadap sistem kontrak terhadap buruh. Keduanya menurut mereka tidak sesuai dengan cita-cita kemaslahatan mereka sebagai buruh dan rakyat kecil.

Lalu, sejauh mana atau apa tolak ukur yang digunakan dalam mengidentivikasi apakah program ini benar-benar berjalan atau berhasil? Jawabannya ada pada sejauh mana semua program itu berjalan dan mampu menjawab kebutuhan masyarakat secara real. Hanya itu tolak ukur yang dapat digunakan. Jadi bukan pada program yang rapi dan mutahir diatas kertas, tetapi lebih pada implikasinya atau bentuk kongkrit yang dapat langsung dirasakan oleh masyarakat. Bukan seperti kosmetik yang indah dipermukaan tetapi hancur dalam kenyataan. Kenyataan lain yang harus dijawab adalah sejauh mana antisipasi pengangguran dari penerepan FTA. Akibatnya harus dispekulasi secara detail, karena kenyataan yang sedang kita hadapi adalah masih tingginya tingkat pengangguran pada masyarakat educated.

Akhirnya, Janji bukanlah mimpi yang begitu saja dapat dilupakan. Reduksi kredibilitas terhadap pemerintahan mungkin saja terjadi dikalangan masyarakat yang merasa aspirasinya tidak disalurkan atau janji yang menurut mereka dilupakan. Karena tolak ukur mereka adalah kepuasan dan mampu atau tidaknya sebuah program dalam menjawab kebutuhan secara real.


)* Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

No comments:
Write comments