Thursday, April 20, 2017

MARAH; Sudut Pandang Ontologis

Oleh: Achmad Rois)*
“Harus ku awali dari mana ceritaku?” Tanyaku pada kertas A4 sebagai kanvas tempat aku akan menulis saat ini. “Terserah kamu saja”, jawabnya tak terdengar. “Baiklah”, ide yang bagus, kataku dalam hati. Terserah aku, aku yang mau bercerita, kenapa harus terserah orang lain, ini ceritaku, bukan cerita orang lain yang ku kutip dari cerpen, novel atau pun kisah nyata teman dekatku.
Aku kebetulan aktif kira-kira sejak 3 tahun yang lalu dalam sebuah organisasi kecil tempat aku berproses dalam menuntut apapun yang harus aku tuntut. Ilmu, skill organisasi, seni memimpin, kaderisasi, filsafat, theologi, media, bahkan kebijakan dan wewenang pun kadang-kadang aku tuntut. Banyak hal yang sudah aku dapatkan darinya; Organisasi Kecil. Kapan aku harus menulis, kapan aku harus membaca, kapan aku harus bolos kuliah, kapan aku harus bangun kesiangan, kapan aku harus bermain kartu, kapan aku harus ke cafe dan kapan aku harus tidur larut malam. Semuanya proses tersebut aku pelajari dengan baik disana karena kapan menurutku adalah pertanyaan yang tepat untuk melakukan sesuatu setelah mengapa.
Membincangkan teori-teori para pemikir berpengaruh didunia adalah keseharian dari kegiatan kami selain tidur dan pergi ke cafe. Kami sering lupa waktu jika sudah bertengkar tentang sebuah konsep atau teori yang penulisnya bahkan belum pernah kami temui secara langsung atau melihat gambarnya dikoran dan televisi. Kami hanya menemukan namanya disetiap sampul atau dihalaman kedua buku-buku yang ditulisnya. Tapi itu tidak membuat kami berhenti belajar. Kami mempelajari bagaimana kebenaran timbul dalam berbagai perspektif, bukan belajar mana yang saat ini disebut benar atau mana yang divonis kurang benar. Karena itu kami semua tak pernah merasa benar, kami tau bahwa kebenaran itu “tak ada” didunia tempat kami berproses untuk bertahan hidup. Yang kami yakini, kebenaran hanya ada milik Beliau yang Maha Benar. Apa yang menurut kita benar belum tentu benar untuk orang lain, begitu pula sebaliknya, dan apa yang kita dan orang lain sebut benar belum tentu pula benar menurut Beliau Sang Maha Benar. Itu semua kami pahami dengan baik dan utuh. Sebab itu kami hampir tak pernah menyalahkan satu sama lain.
Sesungguhnya aku bukan mempelajari isi buku-buku itu, tapi aku mencoba belajar bagaimana cara para penulisnya berpikir. Aku diajari bertanggung jawab terhadap apa yang aku lakukan. Termasuk ketika berargumen atau mengeluarkan kata-kata kotor. Aku dituntut untuk punya alasan dari setiap yang kukatakan dan kuperbuat. Aku adalah orang yang dididik untuk bertanggung jawab. Karena perlu diingat bahwa tidak semua orang terdidik bisa bertanggung jawab. Anda pun tahu bahwa saat ini begitu banyak mereka yang berpendidikan tinggi namun tak mengerti atau pura-pura tak mengerti tentang tanggung jawab. Baik itu tanggung jawab terhadap diri mereka sendiri atau orang lain. Dan tanggung jawab tertinggi adalah Tanggung Jawab terhadap Beliau Pemilik Kehidupan, itu yang penting.
Maaf, aku lupa. Aku lupa kalau aku sedang marah. Kalau begitu biar kuselesaikan dulu marahku. Aku sedang bertugas untuk tujuan yang jelas, untuk eksistensi. Semalaman aku tak tidur karena harus ngobrol tanpa tema dan alur yang rapi dengan salah seorang putra Kyai tempat aku menimba begitu banyak ilmu ukhrawi. Dia mengenalkan padaku tentang banyak hal, termasuk bagaimana caranya agar tidak mengantuk waktu ngobrol semalaman. Semuanya kupelajari dengan sangat baik. Meskipun kami sama-sama pemalas, tapi kami yakin kami tidak termasuk kedalam golongan orang-orang yang kurang pintar dan tak mampu membagi waktu dengan baik. Kulanjutkan perjalanan pagiku dengan berangkat ketujuan terencana. Begitu jauh dan pasti akan sangat melelahkan, apalagi ketika kutemui beliau tak ada di rumah dan dalam perjalanan pulang ban belakangku bocor terkena paku diatas jalanan yang sedang diguyur hujan. Kejadian ini benar-benar membuatku marah, lalu kulontarkan semua kata dan kalimat kotor yang pernah kukenal. Kutuliskan semua kekesalanku distatus facebook milikku. Apa itu sudah selesai? Belum dan tidak segampang itu.
Mari kita selesaikan dalam beberapa poin.
Poin pertama adalah marah. Apa marah adalah sebuah tindakan yang baik? Terlalu sulit menetapkan itu baik atau tidak, biarlah anda yang menilai nanti. Kita sama sekali tak dilarang untuk marah, bahkan jika keadaan mengharuskan kita untuk marah tapi saat itu kita tak melakukannya, ini bisa berarti kita adalah orang yang lemah dan tak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Jika kita berada dalam situasi yang mengharuskan kita untuk marah tetapi kita tak menggunakan wewenang itu, apa kita pernah berpikir jika marah kita ditunda atau bahkan tak dilanjutkan akan berakibat buruk terhadap seseorang yang seharusnya kita marahi. Atau dalam bahasa yang mudah dipahami, jika kemarahan kita akan berakibat baik bagi seseorang yang memang seharusnya kita marahi berarti marah kita adalah sebuah maksud yang baik. Marah itu naluri manusiawi, pengaruhnya signifikan terhadap kesehatan fisik dan psikis. Jika harus marah, marahlah dengan cara yang baik dan dengan akibat yang baik. Sekali lagi tidak ada yang melarang kita untuk marah, toh sama sekali tak ada yang dirugikan dengan kemarahan yang terkendali dengan baik. Kita boleh saja marah, tapi kita tidak dianjurkan untuk menimbulkan akibat atau pengaruh yang buruk dari kemarahan kita. Intinya, marahlah dengan cara dan sikap yang baik sehingga pengaruh kemarahanmu akan berakibat baik bagi dirimu dan orang-orang baik disekitarmu.
Poin kedua adalah rencana. Kegiatan yang menyebabkan aku marah itu memang sudah direncanakan sebelumnya. Aku punya tujuan dan aku telah menyusun cara-caraku untuk mencapai tujuan, itu yang kusebut dengan rencana. Bagiku, orang yang gagal berencana adalah orang yang berencana untuk gagal. Mohon anda ingat bahwa orang yang bekerja tanpa rencana untuk berhasil, akan berlaku seperti orang yang berencana untuk gagal (MT). Keberhasilan tanpa perencanaan lebih pantas disebut kebetulan, dan apa anda tau bahwa sebuah kebetulan akan sangat sulit terulang dua atau tiga kali, apalagi untuk jangka waktu yang panjang. Sebuah perencanaan memang tidak menjamin setiap yang kita lakukan akan berhasil sesuai dengan yang kita rencanakan. Tapi perlu diketahi bahwa keberhasilan menetapkan satu syarat untuk disebut keberhasilan. Sesuatu akan disebut keberhasilan jika sebelumnya ada tahap yang disebut rencana. Jika keberhasilan anda tak ingin disebut kebetulan, maka penuhilah syaratnya.
Poin ketiga adalah kesalahan. Kegiatan seperti mengeluarkan kata-kata kotor, seperti yang saya lakukan adalah perbuatan yang kurang benar dan tidak cukup baik. Tapi ada hal yang perlu kita ketahui bahwa manusia adalah tempatnya salah. Bagi saya secara pribadi, manusia memang harus pernah salah. Manusia harus pernah salah, bukan harus selalu salah. Ingat! Harus salah bukan berarti harus selalu salah. Tanpa kesalahan kita tak akan pernah tau mana yang disebut benar, toh saya pikir kata salah memang sengaja diciptakan untuk menyebut yang benar. Buruk untuk menyebut yang baik dan gagal untuk menyebut yang berhasil. Bahkan anak ayam pun harus memecah telurnya untuk dapat disebut menetas. Jadi menurut saya, dengan kesalahan kita akan belajar mengapa ini disebut salah dan menemukan mana dan mengapa yang itu disebut benar. Tak perlu khawatir salah jika yang kita cari adalah yang disebut benar dan tak perlu takut disebut gagal jika kegagalan kita saat ini akan mencegah kegagalan kita esok dengan memaksimalkan kemungkinan kita untuk berhasil.

Akhirnya, segala sesuatu yang kita alami harus lah mampu kita sebut sebagai hikmah dalam arti yang utuh dan murni. Karena suatu hari akan datang suatu masa ketika peradaban digantikan oleh layar dan ideologi ditukarkan begitu murah dengan uang kemudian norma-norma dan nilai-nilai digantikan oleh kesepakatan negoisasi. Maka saat itu fungsi nurani sudah tak ada lagi dan semua akan digantikan oleh tirani. Yang akan serius kita hadapi dimasa depan adalah kesulitan kita dalam menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Itu sebabnya saya tekankan diawal tadi bahwa yang benar adalah Pemilik Kebenaran itu sendiri; Beliau Yang Maha Benar. Terus dan tetaplah belajar membaca situasi. Tempatkan semuanya pada tempat yang semestinya. Tetapkan semuanya pada waktu yang tepat. Dan tetaplah bertindak sebaik, sebenar, setepat dan sebijak mungkin.


)* Penulis adalah Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

No comments:
Write comments