Oleh: Achmad rois)*
Sampai hari ini, sepakbola masih menjadi salah satu olahraga yang paling spektakuler dan memiliki paling banyak peminat dari seluruh penjuru dunia. Sepakbola menawarkan banyak konsep keserasian dalam tatanan realitas dan mengundang fenomena tertentu diberbagai kalangan. Konsep utama yang ditanamkan sebagian olahraga adalah kebersamaan dan kerjasama tim, termasuk sepakbola. Sisi sportivitas menjadi doktrin yang senantiasa ditanamkan dari pelatih sampai pemain. Kejujuran, motivasi, mental pejuang, semangat, kekompakan, pantang putus asa, juga menjadi sisi lain dari nilai-nilai moral yang begitu indah jika diterapkan dengan baik oleh para pemain dan awak tim. Tapi pertanyaannya, sudahkan nilai-nilai moral yang begitu indah ini tertanam dengan baik dalam jiwa setiap tim dan supporternya?
Beberapa realitas sosial yang terjadi belakangan ini barangkali sudah cukup untuk menjawab pertanyaan diatas. Tawuran antar warga yang belakangan ini baru saja terjadi di Jakpus sudah cukup mengatakan ‘belum’ terhadap pertanyaan yang saya ajukan. Jika sempat berpikir, apa mungkin para pemain atau tim yang kita bela mati-matian itu tahu bahwa kita sedang berjuang atas namanya, tentu saja tak semudah itu. Tapi kenapa kita masih saja bersikeras mempertahankan pendirian kita yang konyol. Padahal, cukup dengan bertindak wajar saja kita sudah cukup disebut supporter yang baik dan loyal. Toh tim yang kita bela sebenarnya tidak sama sekali mengharapkan kita berlaku demikian, bertindak onar dan lepas kendali. Hal ini justru akan merusak citra tim yang sebenarnya kita bela nama baiknya tapi justru hal yang sebaliknyalah yang akan menimpa tim kesayangan kita; nama yang tak terhormat dengan supporter-supporter brutal.
Peristiwa memprihatinkan ini ditambah lagi dengan ulah supporter ternama, “Bonek”. Siapa yang tak kenal sebutan bagi supporter tim Persebaya itu, nama yang beberapa bulan terakhir mengundang perhatian seluruh media masa karena maut yang menimpa supporternya disebuah stasiun kereta api. Kefanatikan mereka terhadap tim terlalu sering merepotkan banyak pihak, namun mereka mungkin belum sempat menyadarinya. Pengawalan yang ketat dari pihak kepolisian saat timnya bertanding adalah wujud kekhawatiran yang nyata dari ulah mereka. Pendukung tim lain yang dipaksa khawatir jika timnya menang melawa Persebaya. Belum lagi kenyamanan para penonton lain yang hanya menonton untuk keperluan mengisi waktu luang menjadi terganggu. Dan masih banyak pihak lain yang memiliki kekhawatiran sama, termasuk tubuh tim kebanggaan mereka sendiri, tapi sekali lagi, mungkin mereka belum benar-benar menyadari hal itu. Terlintas di benak kita bahwa benarkah kefanatikan memang menjadi penyulut utama emosi supporter sehingga rela bertindak sedemikian brutal. Sebenarnya tak harus demikian, tapi barang kali itulah jalan terbaik yang mereka yakini untuk menunjukkan loyalitasnya terhadap tim kebanggaannya.
Beberapa hari yang lalu, terdengar kabar bahwa “Bonek” kembali berulah di Mojokerto. Akibat ulah mereka, tiga kereta api harus menjadi korban fanatisme mereka terhadap tim. Kebrutalan mereka terbukti kembali merepotkan pihak-pihak yang seharusnya tak terlibat. Jasa kereta api yang seharusnya mendapat ucapan terimakasih justru mendapat imbalan yang merugikan. Padahal, berkat jasa mereka; kereta api para bonek dapat menikmati setiap pertandingan dimanapun tim kesayangannya berlaga. Namun, entah dengan alasan apa kalangan-kalangan tak bersalah ini harus menjadi korban ideology yang tak jelas dasar pemikirannya dari mana. Emosi menjadi satu-satunya Tuhan yang selalu didahulukan dan dibela kebenarannya. Kekerasan juga menjadi amal bakti kepedulian terhadap tim sebagai bukti kasih sayang mereka. Inikah wajah sepakbola Indonesia secara umum? Tim-tim terbaik dengan brutal manianya, menghalalkan segala cara untuk mendukung tim tanpa memperhatikan bahwa sebenarnya lebih banyak pihak yang justru akan dirugikan.
Masalah ini seharusnya jadi pertimbangan tersendiri dari entah siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas semua kejadian memalukan ini. Kejadian yang justru merusak citra olah raga nasional kita sendiri. Hal ini sudah tentu terlalu jauh bertolak belakang dengan adab ketimuran kita, sebagai bangsa yang sopan, ramah dan berbudi santun. Belum lagi asas-asas sportivitas olahraga yang kita langgar, tak ada lagi aroma rekonsiliasi seperti yang tertera pada setiap lebel, “Pertandingan Persahabatan”. Tapi tindak lanjutnya tentu ada diatas tangan kita bersama sebagai bangsa yang mencintai olahraga sebagai ajang sportivitas dan naluri kebersaudaraan, terutama didunia sepakbola tanah air.
Disisi yang lain, olahraga ini bahkan tidak hanya diminati oleh para pemain dan penonton; atau supporter yang berprilaku seperti maniak. Ternyata banyak pula kalangan lain yang memanfaatkan keadaan dan kefanatikan ini menjadi sisi yang menguntungkan diri mereka sendiri. Salah satu bukti nyata adalah adanya taruhan yang digelar dengan alasan agar pertandingan bertambah seru, padahal apa pengaruhnya taruhan dengan serunya pertandingan. Tentu saja ini cuma dalih sepihak dari pengais keuntungan terhadap kelemahan lawan bertaruh akibat kefanatikan yang tak terkontrol. Bahkan sampai ada organisasi yang mengontrol dan mengkoordinir taruhan-taruhan bola seperti ini.
Dari sisi agama, apakah ada agama yang membiarkan penganut taat nya untuk berjudi? Sedangkan berjudi termasuk kegiatan mengundi nasib. Yah, mengundi nasib dari setiap pertandingan bola bergulir; sepakbola. Judi jelas-jelas bukan sesuatu yang diperbolehkan oleh agama, bahkan Negarapun memiliki aturan yang ketat terhadap para pengundi nasib. Tapi kenyataannya sampai hari ini, perjudian jenis ini masih merajalela di berbagai lapisan masyarakat dan tingkatan umur. Mulai dari pengusaha, karyawan, mahasiswa sampai pelajarpun telah berani melakukan model judi yang terlihat sepele ini. Tingkat taruhannya memang berdasarkan kemampuan masing-masing individu dan provesi. Tapi pernahkah terpikir dibenak kita bahwa akibatnya bahkan lebih fatal dari jumlah taruhannya.
Beberapa hari yang lalu seorang bercerita tentang dirinya yang kalah taruhan. Dia, (ZF) sampai rela membohongi ibunya gara-gara kalah taruhan yang tak seberapa. Kebetulan jagonya Real Madrid dikalahkan Barcelona beberapa hari yang lalu, dan dia harus membayar uang taruhan yang tak tergolong besar, hanya 100.000 rupiah. Namun untuk ukuran pelajar yang tak punya pekerjaan, tentu ini bukan jumlah yang kecil. Padahal yang saya tahu, ZF sama sekali tak pernah bermain bola bahkan mungkin menyukainya pun tidak. Tapi saat saya tanya apa alasannya bertaruh, dia menjawab, “Bertaruh apa harus bisa main? Enggak to? Lagian lumayan, kan bisa tambah-tambah uang jajan kalo menang”, terusnya dalam bahasa tak bersalah. Untung saja ibunya tergolong ibu yang pemurah, tanpa pikir panjang ibunya memberikan uang itu dengan alasan untuk perpisahan sekolah, padahal dia masih kelas dua STM. Mungkin ibunya juga kurang perhatian dengan ZF sampai tak tahu anaknya sekolah kelas berapa.
Hal diatas adalah contoh kongkrit lunturnya moral dan budaya ketimuran kita hanya gara-gara bola. Prilaku tercela seperti judi berbuah bohong ini bisa saja terjadi pada ribuan anak lain diseluruh Indonesia. Padahal, disekolah mereka selalu diajarkan akhlak yang baik, terutama untuk bekerja keras dan jujur. Bahkan nilai ini juga diajarkan dalam lapangan bola, bahwa untuk menang kita harus bekerja keras dan tetap jujur (sportif). Namun yang terjadi justru bertolak belakang dengan nilai-nilai yang diajarkan begitu mulia disana. Realita memprihatinkan ini sudah selayaknya menjadi perhatian semua pihak, baik dari kalangan pemain, tubuh tim, supporter, dan terutama orang tua itu sendiri. Agar citra olahraga terutama sepakbola di negeri ini tidak tercemar oleh kepentingan oknum-oknum yang memanfaatkan moment untuk mancari keuntungan pribadi. Akhirnya, tak akan ada lagi tindak criminal seperti tawuran dan bentrok antar pendukung atau pemain, perjudian kelas teri sampai kakap, kebohongan tercela, bahkan kematian-kematian para supporter tolol yang menuhankan loyalitas tim sebagai dalih yang dianggap mulia.
)* Penulis adalah aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung