TOLERANSI JALAN RAYA

Oleh: Achmad Rois)*
Berawal dari keprihatinan penulis terhadap fenomena jalan raya pada hampir setiap kota di Jawa Timur, atau bahkan mungkin diseluruh kota di Indonesia. Kecendrungan untuk saling mendahului dan sampai lebih cepat ke tempat tujuan seakan sudah menjadi kekuatan yang tak bisa dinegosiasikan. Kekuatan ini menjadi faktor utama penyebab melemahnya unsur toleransi antar sesama pengguna jalan. Sehingga tak jarang kecelakaan terjadi disana sini karena hal-hal yang sebenarnya masih bisa dipertimbangkan. Semrawutnya lalu lintas kadang menjadikan kita enggan keluar rumah mengunakan kendaraan, padahal waktu justru menuntut kita bertindak lain. Tapi apalah daya, yang kita inginkan lebih cepat, tapi yang kita dapatkan kadang justru sebaliknya; kemacetan. Lalu mampukah kita terhindar dari keseharian yang membosankan seperti ini?
Sebuah ruang yang dengan sebutan jalan raya ini adalah ruang yang setiap hari sulit dipisahkan dari manusia, terutama bagi mereka yang memiliki mobilitas tinggi. Pekerjaan seperti tukang kredit, loper koran, sales perabot rumah tangga atau pak pos tentu mau tak mau tak bisa dipisahkan dari jeratan ular hitam tak berujung ini; jalan raya. Tuntutan ekonomi dan tanggung jawab mengharuskan mereka setiap hari bergelut dengan polusi dan kebisingan. Kerena itu, hambatan apapun rela mereka jalani demi sesuap nasi dan nafkah anak istri. Tapi penyebab kecelakaan atau kemacetan tentu bukan hanya tanggung jawab mereka yang tak mau ketinggalan dari yang lain. Anda, kita dan saya adalah juga termasuk didalamnya sebagai makhluk yang tak lepas dari masalah social.
Sistem transportasi di negara kita sebenarnya tak kalah maju dengan negara-negara lain. Hal ini dibuktikan dengan adanya undang-undang transportasi yang sudah sedemikian rapi disusun. Fasilitas jalan raya seperti rambu-rambu lalu lintas dan segala macam atribut sudah sedemikian lengkap dipasang dihampir setiap penjuru jalan. Belum lagi anjuran keselamatan pengguna kendaraan yang ketentuannya juga diatur secara legal dan formal, seperti pemakaian helm, pemakaian wajib sabuk pengaman dan aturan resmi memiliki driver license/ SIM. Semua hal diatas tampaknya belum mampu meminimalisir kuantitas kecelakaan di jalan raya. Hal ini terjadi rata secara umum, baik bagi kendaraan umum, kendaraan pengangkut barang, mobil pribadi ataupun pengguna kendaraan roda dua. Semua secara menyeluruh mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hokum lalu lintas. Tak ada aturan yang mengharuskan pejabat sampai duluan, atau tukang ojek yang lantas mengalah meski anak istrinya tak makan.
Kenyamanan berkendara dijalan raya tentu sudah menjadi impian siapapun, terutama bagi mereka yang memiliki kegiatan dengan mobilitas tinggi. Untuk kota besar sekelas Surabaya, Yogyakarta atau Jakarta, kemacetan lalu lintas tentu tidak lagi menjadi pemandangan yang asing. Bagi mereka yang bertempat tinggal di tepi jalan-jalan protokol atau pusat kota, hal ini tentu sangat mengganggu kenyamanan. Selain polusi udara, kebisingannya juga tak akan semerdu lantunan musik jazz atau keroncong. Fenomena yang demikian menjadi biasa ini, apa mungkin tak bisa diatasi. Kurang bijak rasanya menyalahkan produsen penghasil kendaraan karena terus mencipta produk-produk mutakhirnya. Alasan mereka tentu sama, untuk memenuhi kebutuhan logistik serta memenuhi pesanan pesatnya zaman dan era tekhnologi yang semakin canggih. Siapa yang seharusnya bertanggung jawab? Produsen penghasil kendaraan kah, undang-undang lalu lintaskah yang harus harus diperketat atau sikap setiap individunya yang harus diubah? Tentu sebuah pertanyaan yang sulit untuk kita pecahkan.
Menyikapi permasalahan yang demikian rumit, penulis mencoba melihat dan mengamati sebagian fakta yang hampir setiap kita hari dijumpai. Setiap pengguna jalan bukanlah orang-orang yang memiliki profesi dan latar belakang yang sama. Sebagian dari mereka adalah anak sekolah, pemuda pengangguran dan maniak race tak kesampaian. Sebagian yang lain adalah guru, dosen, pengemudi bus, layanan antar barang atau para pengusaha yang hanya mempunyai waktu sedikit dijalanan. Alasan dan kepentingan mereka tentu berbeda satu sama lain. Tapi jika ditanya kenapa terburu-buru, jawabannya sebagian besar pasti “waktu adalah uang”. Yang lebih menyedihkan lagi adalah mereka sebagai pejalan kaki, mereka yang kerap keselamatannya tak diperhatikan. Padahal jika dipikir, lebih baik terlambat 10 menit sampai tujuan dari pada lebih cepat 10 menit sampai dirumah sakit atau kuburan. Tapi biarlah, mungkin mereka memang tak punya waktu untuk berpikir.
Meskipun memiliki berbagai latar belakang, tujuan dan pekerjaan. Sebenarnya ada sebuah persamaan yang seharusnya dimiliki oleh setiap dan siapapun mereka yang berada diatas jalanan. Persamaan itu adalah rasa, rasa toleransi antara sesama pengguna jalan. Akan sangat indah jika setiap pengguna jalan memiliki kesadaran yang sama; kesadaran saling menghargai. Mungkin ada baiknya polantas sebagai orang yang paling mengerti dan setiap hari bersinggungan dengan tata tertib jalan raya mengadakan audisi. Audisi jalan raya paling tertib dan rapi, begitulah sebutannya. Ruang lingkupnya ditentukan, aturannya transparan dan segala sesuatu terkait teknisnya harus dilengkapi sesuai aturan lalu lintas yang berlaku. Masa berlakunya terserah, boleh satu minggu atau satu bulan. Tapi yang paling penting adalah pemantauan yang serius dan ditanggani oleh pihak yang kompeten.
Setelah perkembangan demi perkembangan berlangsung, hal yang harus terus dipantau adalah kemajuan baik dari hari kehari. Tentu saja masyarakat sekitar dan pengguna jalan harus tahu dan menerima sosialisasi sebelumnya. Hal ini mungkin saja berjalan, tidak akan terdengar aneh dengan kemunculan istilah “daerah percontohan lalu lintas”, toh istilah “desa percontohan” pun sudah lama dibuat. Menurut hemat penulis, sebagai motivasi bagi setiap daerah harus ada semacam penghargaan, gelar atau sejenisnya. Yah, seperti gelar kota bersih; Adipura atau apalah yang lainnya. Ini akan menjadi semangat tersendiri bagi pemerintahan daerah setempat, terutama yang bertanggung jawab terhadap kelancaran lalu lintas daerahnya. Meskipun tetap saja yang paling bertanggung jawab adalah kesadaran kita semua sebagai sesame pengguna fasilitas Negara ini; jalan raya.
Program semacam ini hanya akan berhasil jika tercipta kerjasama yang mutual dari berbagai pihak. Masa awal yaitu tahap sosialisasi tentu bukanlah sesuatu yang mudah seperti mengupas kulit bawang. Sosialisasinya mungkin harus disampaikan melalui selebaran, surat kabar, siaran radio atau pesan sosial di televisi. Tujuannya agar semua masyarakat dari latar belakang dan lapisan manapun, terutama pengguna jalan dapat menerima pesan ini. Pihak-pihak yang terkait sebagai panitia penyelenggara pun harus benar-benar siap secara mental ataupun teknis. Program ini tentu memakan waktu yang tidak sedikit. Tapi model rekonstruksi semacam ini terbukti berhasil dibidang kebersihan, lalu kenapa tidak jika hal ini coba diterapkan dijalur ketertiban lalu lintas?
Dari sisi manfaat, program semacam ini tentu akan mampu mengurangi resiko kecelakaan lalu lintas. Ketertiban kota, terutama jalan rayanya pasti akan lebih terlihat. Jika lalu lintasnya tertib, kemacetan lalu lintaspun sedapat mungkin akan sedikit berkurang. Selain itu, para pejalan kaki akan lebih nyaman, baik saat melenggang ditrotoar atau yang sedang ingin menyebrang jalan. Tak akan lagi ada kekhawatiran ditabrak kendaraan yang sedang melaju kencang, ataupun jika ingin lebih nyaman, fasilitas zebra cross juga tersedia khusus bagi para penyebrang jalan. Bahkan, jembatan penyebrangan pun sudah banyak disediakan bagi mereka tanpa harus mengganggu arus lalu lintas yang sedang bergerak. Jika sudah demikian, pemandangan lalu lintas yang tertib dikota besar bukan lagi menjadi impian, tapi lebih dari sekedar itu; kenyataan.
)* Penulis adalah Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung