Thursday, September 7, 2017

PENDIDIKAN DAN KERETA API (Sebuah Refleksi Tentang Proses)


Oleh: Achmad Rois)*
Beberapa waktu yang lalu, pemuda bodoh yang pendidikan formalnyanya tidak selesai-selesai ini melakukan pencarian tentang sebuah makna kata yang memang tidak ia ketahui sejak lama, bahkan tanpa disadarinya. Pendidikan, itulah sebuah kata yang ingin ia tahu maknanya. Dia mulai membuka-buka beberapa buku lusuh koleksinya di almari buruk, berayap. Ditemukannya beberapa karya yang dia cari, milik orang-orang terkenal yang pemikirannya sudah lebih dahulu dikenal kebanyakan orang, terutama educative civilizations. Pencarian tersebut menghasilkan beberapa hal yang coba diringkasnya di setiap paragraph dalam tulisan ini.
Terminologi pendidikan merupakan terjemahan dari istilah Pedagogi. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani Kuno “Paidos” dan “Agoo”. Paidos artinya “budak” dan Agoo berarti “membimbing”. Akhirnya, pedagogie diartikan sebagai “budak yang mengantarkan anak majikan untuk belajar”. Dalam perkembangannya, pedagogie dimaksudkan sebagai “ilmu mendidik”. Dalam khazanah teorisasi pendidikan, ada yang membedakan secara tegas antara pendidikan dan pengajaran. Perbedaan tersebut umumnya didasarkan karena hasil akhir yang dicapai serta cakupan rambahan yang dibidik oleh kegiatan tersebut. Dinamakan pendidikan apabila dalam kegiatan tersebut mencakup hasil yang rambahannya (dimensi) pengetahuan sekaligus kepribadian, sedangkan pengajaran membatasi kegiatan pada transfer of knowledge yang kawasannya tidak membentuk kepribadian.1
Dalam bahasa Inggris, pendidikan berasal dari kata educate (verb) yang berarti “mendidik”, kemudian menjadi education (noun) yang diartikan sebagai process of teaching, training and learning.2 Jadi, pendidikan dalam istilah ini menekankan pada tiga proses, yaitu mengajar, melatih (latihan) dan belajar. Mengapa proses begitu ditekankan dalam defenisi ini. Kata ‘proses’ mungkin saja merupakan isyarat bahwa pendidikan adalah sesuatu yang tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat atau secara instan. Karena itu pendidikan menuntut ketelatenan, keuletan, kesungguhan dan tanpa mengenal lelah sampai kapanpun. Sementara itu dapat kita simpulkan bahwa bagian penting dari pendidikan adalah “proses”, bukan “hasil”, karena hasil akan selalu mengikuti proses.
Sebenarnya, ada satu hal yang membuat pemuda penidur ini meneruskan pemikirannya tentang makna pendidikan yang dia cari. Itu karena dia menemukan sesuatu yang menarik dan sangat jarang sekali, bahkan (setahu penulis) belum pernah disampaikan, yaitu uraian sebuah kata yang menjadi bagian dari definisi pendidikan yang dilansir Learner’s Pocket Dictionary. Jika kita cermati lebih lanjut, dalam uraian definisi education ini terdapat kata training yang bermakna latihan. Apakah tidak aneh bagi Anda, mengapa kata training diambil dari kata dasar train yang berarti “kereta api”, kemudian padanan makna yang mengikuti kata train3 adalah deretan, gerombolan, ekor, jalan dan rentetan.
Jika diusut dari kacamata morphologi, maka kata train akan digolongkan ke dalam dua golongan. Kata train yang pertama adalah noun yang jika ditambahkan –er menjadi noun countable. Sedangkan yang kedua adalah verb yang jika diimbuhi –ing menjadi noun uncountable. Jika Anda merasa perlu melakukan kajian bahasa yang lebih mendalam, silahkan buka kembali buku-buku morphologi Anda pada bab derivation dan inflection, karena tujuan tulisan ini tidak untuk membahas bagian ini terlalu dalam. Paling tidak pembahasan ini jarang sekali atau mungkin belum pernah di ketengahkan di hadapan para pembaca yang budiman. Atau mungkin Anda bisa menanyakannya pada anak-anak kuliahan yang kadang merasa dirinya tahu segalanya, padahal sebenarnya, yang mereka tahu tidak pernah lebih banyak dari apa yang mereka tidak ketahui. Biarkan saya memberi tahu Anda tentang karakteristik (bukan bermaksud merendahkan) mereka, atau kebanyakan ilmuan. Anak kuliahan dan para ilmuan kebanyakan itu hanya menganggap sesuatu itu ada jika mereka mengetahuinya, tapi jika tidak, mereka akan mengatakan “itu tidak ada dan tidak dapat dibuktikan secara empiris”, yah, begitulah bentuk keangkuhan mereka.
Kemudian penulis mulai berfikir tentang apa kira-kira korelasi antara kereta api dan latihan, dan kenapa kata train dan training tidak seperti kata-kata yang lain. Misalnya teach, teach adalah transitive verb dengan makna yang masih berhubungan meskipun ditambahi –ing, yaitu mengajar. Kemudian kata learn yang berformula sama dengan teach juga tetap memiliki makna yang sama, yaitu belajar atau mempelajari. Kemudian bagaimana dengan kata train dan training yang sudah penulis uraikan di atas? Sampai di sini sudahkan Anda menemukan keanehan dari ke-tidak ada-nya hubungan antara pendidikan dan kereta api.
Sampai di sini, Penulis mencoba mengamati setiap kata dari definisi ini dengan seksama. Kemudian mulai berfikir untuk membuat sebuah analogi agar misteri ini lekas terungkap. Dengan analogi tersebut, penulis berharap agar hakikat pendidikan itu sendiri dapat diterima dan dipahami dengan jelas. Atau paling tidak akan memberi gambaran keterkaitan antara kereta api dan pendidikan. Namun sebenarnya, hubungan antara pendidikan dan kereta api ini hanyalah erat dan relevan dalam perumpamaan yang sangat mendidik. Sekaligus memberi gambaran secara gamblang tentang pentingnya pendidikan dan proses yang terkandung di dalamnya.
Tahukah Anda bahwa kereta api hanya berjalan di atas rel yang sudah ditentukan, atau dibuat sebelumnya. Kereta api selalu memiliki beberapa gerbong yang berderet atau rentetan gerbong. Dibagian depan, ada seorang Masinis4 yang mengendalikan laju kereta api. Masinis hanya mengatur kecepatan atau laju kereta api, tegasnya, kapan kereta harus melaju kencang dan kapan kereta harus berhenti. Masinis baru boleh berhenti ketika para penumpangnya sudah sampai pada tujuan yang mereka kehendaki.
Perumpamaan di atas dapat dipahami sebagai berikut; Kereta api adalah simbol pendidikan itu sendiri, sedangkan rel atau jalannya adalah proses yang harus dilalui untuk sampai pada tujuan pendidikan itu sendiri. Tanpa melewati rel tersebut, sangat mustahil kereta api akan sampai pada tujuannya. Begitu juga dengan pendidikan itu sendiri, pendidikan adalah proses seseorang untuk mencapai tujuan. Mengenai apa tujuan pendidikan itu sendiri, secara singkat penulis kutip ungkapan dari seorang Filsuf Yunani, Plato (428-347 SM). Tegas Plato, “Pendidikan membuat orang menjadi baik dan orang baik tentu berperilaku mulia”.
Selanjutnya, gerbong-gerbong yang memuat penumpangnya adalah peserta didik dan masinisnya adalah para pengajar (pendidik) yang akan mengantarkan para penumpang ke tujuan mereka masing-masing. Setiap penumpang harus mempunyai tujuan yang jelas, dan sang masinis harus tahu kemana tujuan setiap penumpang tersebut. Artinya, setiap guru harus tahu apa yang diinginkan murid dan harus selalu mengedepankan kebutuhan peserta didik. Teori ini dalam ilmu pengetahuan modern dikenal dengan “sistem5 pendidikan yang berorientasi pada peserta didik”. Dan pada proses tersebut, para guru diharapkan untuk mengetahui karakter dari setiap muridnya, kapan harus diberikan motivasi, kapan harus dibimbing dan kapan harus dinyatakan siap untuk terjun ke dunia yang lebih nyata (masyarakat).
Demikian analogi tentang kereta api dan pendidikan yang penulis buat-buat untuk mempermudah kita semua dalam memahami hakikat pendidikan. Selain defenisi yang kami buat-buat tadi, masih banyak lagi definisi pendidikan yang diuraikan oleh para tokoh pendidikan. Dengan latar belakang pengetahuannya yang beragam, mereka merumuskan definisi pendidikan kehadapan kita semua untuk dinikmati sebagai sumbangan kekayaan ilmu pengetahuan. Dan jika Anda mulai bertanya tentang apa latar belakang penulis artikel ini, maka jawabannya adalah “tidak jelas latar belakangnya”. Itulah kenyataan yang harus diterima setiap pembaca artikel ini, dan mohon maaf untuk kekecewaan Anda. Tujuannya adalah supaya kita semua tahu dan sadar bahwa tidak ada satupun dari manusia (seperti kita) yang “benar-benar benar” dan “benar-benar salah”.
Kemudian tentang proses yang penulis lanturkan (lantur in java is ng-lantur) di atas, agaknya akan menjadi refleksi bagi kita semua bahwa pendidikan adalah proses yang seharusnya menjadikan kita sebagai manusia yang sempurna (insan kamil). Jadi jika ada di antara kita yang sudah berpendidikan namun belum kamil, itu berarti ada yang salah dengan proses yang sudah kita lalui, dan saat ini masih belum terlambat untuk memperbaikinya. Perlu juga penulis ingatkan bahwa pendidikan dalam tulisan ini tidak memiliki makna yang sempit atau sangat sempit, karena sesuatu yang sangat sempit akan membuat sesuatu yang lain sangat sulit untuk bergerak. Misalnya, celana dalam (pria) yang terlalu sempit akan mengakibatkan sesuatu yang lain sulit bergerak dan bernafas (jika bernafas), atau pakaian wanita yang terlalu sempit akan membuat orang lain (khususnya pria normal) berpandangan dan berpikiran sempit, sesempit apa yang ada di balik pakaian sempit itu. Dan apakah Anda sudah lupa bahwa pria tadi juga mengenakan celana dalam yang sempit?
Kemudian proses yang kami sebutkan di atas juga tidak hanya berlaku pada proses pendidikan belaka, tapi berlaku pada seluruh proses dalam mencapai kehidupan yang mulia. Artinya, hidup adalah proses menyiapkan kehidupan yang akan datang (hanya bagi Anda yang meyakini bahwa akan ada kehidupan yang akan datang setelah dunia), jika baik, baiklah dan jika buruk, buruklah. Begitu juga dalam konteks pendidikan, hasil bukanlah sesuatu yang paling utama. Yang penting adalah bagaimana proses Anda selama di sana. Artinya, lakukanlah sesuatu dengan baik, maka insyaAllah, hasilnya akan sebanding. Anda mungkin pernah mendengar istilah yang sangat tenar pada masa orde baru, ya, istilah efektif dan efisien. Anda harus tahu bahwa segala sesuatu harus efektif dan efisien. Efektif di sini adalah melakukan sesuatu yang benar, sedangkan Efisien adalah melakukan sesuatu dengan benar.
Kemudian kata kunci terakhir adalah insan kamil, penulis merasa tidak perlu menjelaskan ini secara detail. Ambil saja makna istilah ini dari Plato, yang sudah penulis sebutkan di atas. Insan kamil adalah orang baik yang berprilaku mulia. Ini sudah cukup menjelaskan banyak hal tentang filosofi kehidupan bukan? Tapi perlu Anda ingat bahwa sekamil-kamilnya Anda, Anda tetaplah insan (manusia). Anda pasti mengerti maksud penulis bukan? Jadi, jangan pernah menyalahi rumus ini sampai kapanpun selagi Anda masih Insan. Karena penulis tidak ingin cerita-cerita tentang Qorun dan Firaun kembali terkuak ke permukaan.
Akhirnya, membicarakan tentang pendidikan selalu menarik bagi sebagian orang dan sangat membosankan bagi kebanyakan orang. Apalagi jika itu pendidikan yang ada di Indonesia. Bak benang kusut yang sudah tidak bisa di uraikan lagi rasanya. Tapi kita tidak boleh putus asa bukan? So, tetaplah hadapi problem yang hampir tidak kunjung selesai ini dengan hati yang lapang dan fikiran yang jernih. Semoga, Indonesia yang kita cintai ini semakin raya, seperti lagunya, INDONESIA RAYA. Atau jika tidak, maka berdoalah dengan sungguh-sungguh, semoga Indonesia ini benar-benar hancur lebur tak lagi bersisa, bahkan namanya sekalipun. Amiiin….
)* Penulis Adalah Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung, penidur yang malas (janji MApan yo ambLAS) dan pemuda yang ramah (RA patek oMAH).
Catatan Kaki.
1 M. Jumali et.al., Landasan Pendidikan, (Surakarta: Muhamadiyah University Press, 2008), 18
2 Learner’s Pocket Dictionary, (New York: Oxford University Press, 2000), 138
3 John M. Echols & Hasan Shadily, An English – Indonesian Dictionary, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), 600
4 Masinis adalah sebutan bagi orang yang mengemudikan kereta api.
5 Sistem child centered education atau konsep pendidikan yang berpusat pada anak didik ini disandarkan pada sebuah teori salah seorang tokoh Nativisme, yaitu Schopenhauer yang berpendapat bahwa sesungguhnya peserta didik sejak awal telah mempunyai potensi yang siap dikembangkan sehingga tugas pendidikan adalah mengembangkan potensi tersebut secara optimal. Lihat M. Jumali et.al., Landasan Pendidikan, 23

No comments:
Write comments