Thursday, September 7, 2017

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL


Oleh: Achmad Rois)*
Jika ada yang bertanya tentang apa manfaat pendidikan, maka jawabanya sederhana; Pendidikan membuat orang menjadi baik dan orang baik tentu berprilaku mulia.  Plato (428-347 SM)
Indonesia adalah salah satu Negara multikultural terbesar di dunia. Kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari keadaan sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Di tengah Negara Multikultural ini, kehidupan yang damai tampaknya kian mahal untuk diwujudkan. Tantangan kehidupannya menjadi semakin kompleks, sehingga membuka begitu banyak peluang bagi munculnya gesekan dan perbedaan dalam berbagai ranah. Realitas ini telah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan lagi dari kehidupan sosial masyarakat Indonesia sekarang ini.
Dalam konstelasi kehidupan semacam ini, konflik menjadi sesuatu yang kian mudah terjadi. Sudah cukup banyak kejadian yang dapat kita jadikan eksemplar dalam skala kecil hingga yang cukup besar. Ini merupakan fenomena yang mengkhawatirkan, sebab tingkat keragaman yang tinggi, seperti yang dimiliki Indonesia, sesungguhnya merupakan kekayaan dan khazanah kehidupan yang penuh makna, namun dapat berubah menjadi bencana ketika tidak dikelola dengan baik. Banyaknya konflik dengan beragam latar belakang yang terjadi di Indonesia merupakan contoh nyata tentang bagaimana keragaman telah menjadi bencana yang tragis dan memilukan. Bagaimana mungkin orang bisa menghancurkan dan membunuh mereka yang berbeda hanya karena sentimen ras, suku, agama, atau afiliasi politik?
Secara normatif, tidak ada satu ajaran agama manapun yang mendorong dan menganjurkan pengikutnya untuk melakukan kekerasan terhadap pengikut agama lain di luar kelompoknya. Namun secara historis-faktual, sesekali dijumpai tindak kekerasan yang dilakukan oleh sebagian anggota masyarakat dengan dalih agama. Terlalu banyak peristiwa di tanah air, bahkan di dunia, yang menjadikan agama sebagai alat yang cukup ampuh untuk menyulut emosi dan kemarahan massa demi meraih tujuan-tujuan yang sebenarnya berada di luar kepentingan agama itu sendiri.
Di tengah bangsa dan masyarakat yang multikultural-multireligius, persoalan sosial-keagamaan memang bukan persoalan yang sederhana. Kompleksitas hubungan sosial antarumat beragama ini dirasakan oleh seluruh elemen dalam masyarakat, mulai dari politisi, guru, tokoh agama dan orang tua di rumah. Menafikan keberadaan tradisi-tradisi agama di muka bumi merupakan pekerjaan yang sia-sia. Masing-masing mempunyai hak yang sama; masing-masing mempunyai cara untuk mempertahankan tradisi dan identitasnya sendiri-sendiri dengan berbagai cara yang bisa dilakukan.
Menurut Amin Abdullah, cara yang paling tepat untuk mempertahankan tradisi dan identitas keagamaan di atas adalah melalui jalur pendidikan. Hal ini disebabkan karena pendidikan adalah alat yang paling efektif untuk meneruskan, melanggengkan, mengawetkan, dan mengonservasi tradisi dari satu generasi ke generasi selanjutnya, dari abad yang satu ke abad yang lain.
Pendidikan merupakan salah satu media yang paling efektif untuk melahirkan generasi yang memiliki pandangan yang mampu menjadikan keragaman sebagai bagian yang harus diapresiasi secara konstruktif. Sebab, pendidikan bersifat sistemik dengan tingkat penyebaran yang cukup merata. Lembaga-lembaga pendidikan dari berbagai tingkatan telah tersebar secara luas di berbagai wilayah Indonesia. Oleh karena itu, pendidikan menjadi sarana yang cukup efektif untuk mencapai tujuan ideal ini.
Permasalahan pokok yang dihadapi para pendidik dan penggerak sosial-keagamaan pada era kemajemukan dan era multikultural adalah bagaimana agar masing-masing tradisi keagamaan tetap dapat mengawetkan, memelihara, melanggengkan, mengalihgenerasikan, serta mewariskan kepercayaan dan tradisi yang diyakini sebagai suatu kebenaran yang mutlak, namun pada saat yang sama juga menyadari sepenuhnya keberadaan kelompok tradisi keagamaan lain yang juga berbuat serupa.
Paradigma pendidikan di Indonesia yang masih cenderung sentralistik telah melupakan keragaman, kekayaan, dan potensi yang ada. Kondisi ini diperparah oleh model pembelajaran yang cenderung dogmatis dan kurang mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Pendidikan agama misalnya, cara pengajarannya lebih didominasi oleh pemahaman tekstual ajaran agama yang dogmatis dan eksklusif.  Akibatnya, benih-benih konflik yang berawal dari keragaman bangsa, baik dari sisi budaya ataupun agama, seringkali muncul ke permukaan. Berangkat dari fenomena inilah, pendidikan Islam berwawasan multikultural menjadi penting untuk ditawarkan guna menjawab pertanyaan tentang bagaimana membangun kesadaran multikultural.
Pendidikan Islam multikultural ini dapat dipahami sebagai proses pendidikan yang berprinsip pada demokrasi, kesetaraan, dan keadilan; berorientasi kepada kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian; serta mengembangkan sikap mengakui, menerima, dan menghargai keragaman berdasarkan al-Qur’an dan Hadist. Sementara Amin Abdullah menyatakan bahwa multikulturalisme adalah sebuah paham yang menekankan pada kesenjangan dan kesetaraan budaya-budaya lokal dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada. Dengan kata lain, penekanan utama multikulturalisme adalah pada kesetaraan budaya.
Akhirnya, tulisan ini hanyalah sebuah pendahuluan tentang wacana pengembangan ilmu dan konsep pemikiran pendidikan Islam, khususnya yang berbasis multikultural, dan sebuah tawaran solutif guna menjawab persoalan tentang bagaimana membumikan dan membangun wacana tentang kesadaran multikultural di kalangan masyarakat secara umum. Secara praktis, wacana ini dapat diimplementasikan di semua lembaga pendidikan. Tentu saja dengan segala perencanaan, materi, metode, dan model pembelajarannya yang berbasis multikultural. Karena lembaga pendidikan secara umum mempunyai tanggung jawab, baik secara yuridis ataupun etis untuk berperan aktif dalam mengembangkan pendidikan, sehingga mampu menghasilkan generasi penerus yang toleran dan kooperatif meskipun berasal dari latar belakang etnis, budaya dan agama yang berbeda.

Sekian, Selamat Berkontemplasi, Semoga Bermanfaat dan Salam Perubahan

SUMBER TULISAN:

  • Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren, Telaah terhadap Kurikulum Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam Surakarta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011)
  • M. Amin Abdullah, dalam Pramono U. Tanthowi (ed.), Begawan Muhammadiyah, Bunga Rampai Pidato Pengukuhan Guru Besar Tokoh Muhammadiayah (Jakarta: PSAP, 2005),
  • M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius (Jakarta: PSAP, 2005)
  • M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Cross Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan,(Yogyakarta: Pilar Media, 2006)
  • Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008)

No comments:
Write comments