POTRET JALAN DI NEGERIKU

Oleh: Achmad Rois)*
Berawal dari sebuah undangan untuk menghadiri resepsi pernikahan salah seorang senior saya di kampus. Sabtu sore, atau tepatnya malam minggu acara itu akan di gelar. Saya berangkat dari rumah kira-kira ba’da ‘ashar waktu Indonesia bagian Tulungagung. Dua puluh menit kemudian, karena jarak dari rumah nenek ke Padepokan Pusat Kajian Filsafat dan Theologi tidak terlalu jauh, saya singgah di sana untuk menghampiri teman-teman dengan tujuan yang sama. Beberapa orang saya temui di sana dan kamipun membicarakan rencana keberangkatan kami dalam rangka menghadiri undangan resepsi tersebut.
Akhirnya, ba’da magrib kami semua berangkat dengan alasan yang tepat, yaitu menghadiri undangan. Saya mungkin bukan seorang muslim yang baik, tapi yang saya tau, “jika saudaramu yang muslim atau bukan datang mengundangmu dalam sebuah acara dengan harapan mendapat Rahmat Tuhan dan berdoa untuk kebaikan, maka datanglah membawa kebahagian dan keikhlasan”. Hal itu yang menjadi alasan kuat saya untuk datang karena selain memenuhi undangan, di sana juga akan terjadi suasana hangat dari eratnya simpul silaturrahmi karena saya yakin akan ada banyak orang yang saya kenal dan hadir di sana.
Namun, Tuhan ternyata berkehendak lain. Diperjalanan saya terjatuh dan saya tentu saja tidak dapat melanjutkan perjalanan sampai tujuan. Peristiwa itu saya alami bersama teman saya yang duduk di belakang. Saya menunggangi motor Satria FU 150 CC bernomor polisi AG 2186 SU. Saya tidak memacu motor terlalu kencang, karena di jalur selatan yang menghubungkan Kec. Sumbergempol dan Ngunut, kendaraan apapun tak mungkin bisa dipacu kencang. Anda mungkin mulai mengerti maksud saya. Yah, tepat sekali, urat nadi perekonomian (jalan raya) Sumbergempol-Ngunut bagian selatan tersebut bukanlah jalan yang layak dilalui kendaraan beroda dua atau lebih. Jalan yang dipenuhi lubang itu ternyata sudah lama membuat semua pengguna jalan gusar. Pengakuan tersebut saya dengar dari beberapa warga Ds. Sumberrejo, Kec. Ngunut yang waktu itu dengan murah hati memberikan pertolongan kepada kami seusai kecelakaan terjadi dan kami masih tergeletak di tepi jalan. Bagaimana tidak risau, lubang di tengah jalan sudah selebar dan sedalam selokan dan di beberapa tempat lobangnya sudah cukup untuk ditanami pisang yang sedang berbuah.
Awalnya kekecewaan saya hanya berujung dari kekurang hati-hatian saya saat mengemudi, lalu dalam sekejap kecelakaan itu bisa saya terima dengan ikhlas. Tapi setelah mendengar beberapa pengakuan dari warga sekitar tentang keadaan jalan yang setiap hari mereka lewati, kekecewaan saya meluas dan harus saya akui saat itu saya mulai menyalahkan beberapa pihak. Disiang hari, resiko kecelakaan dari jalan berlubang mungkin bisa sedikit diminimalisir. Lalu bagaimana jika malam hari? Keterbatasan cahaya dan jarak pandang akan menambah volume kecelakaan pengendara. Bukankah dalam hal ini selain kewaspadaan pengendara juga ada tanggungjawab dari pemerintah sebagai pihak yang saya pikir juga berbertanggungjawab terhadap keselamatan seluruh pengguna jalan.
Pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pengadaan infrastruktur Negara seharusnya lebih jeli dan tanggap terhadap kerusakan-kerusakan fasilitas umum seperti jalan raya. Secara structural, proses pengadaan jalan atau perbaikan ditingkatan desa memang harus diawali dari pihak pemerintah di tingkatan Desa atau Kelurahan. Kemudian diajukan proposal atau apalah namanya kepada pemerintah daerah, mungkin Kecamatan atau langsung ke Kabupaten. Tapi akomodasinya tentu sudah ada saat Anggaran Nasional dan Daerah dirumuskan. Sehingga proyek jangka panjang atau jangka pendek dalam pengadaan, penambahan atau perbaikan infrastruktur Negara bisa terlaksana dengan baik.
Sebagai seorang mahasiswa, saya mungkin belum bisa berbuat banyak. Tapi melihat keadaan lingkungan dan fenomena sosial yang demikian, hati nurani saya tak bisa diam saja. Saya sudah menghimbau masyarakat sekitar untuk membicarakan hal ini terhadap Kepala desanya. Sebagai korban, saya juga tidak mau ada puluhan korban seperti saya dikemudian hari, yang jatuh karena kekurang hati-hatian dan ketidak pedulian pemerintah terhadap infrastruktur Negara. Kebiasaan yang saya amati dari bangsa ini adalah masyarakat yang lebih suka belajar mengambil hikmah dari kecelakaan. Padahal menurut saya, ada hal yang lebih baik dari itu, yaitu mengambil hikmah sebelum kecelakaan terjadi. Atau dalam kata lain, adanya penyebab kecelakaan seharusnya dicegah, bukan baru diperbaiki setelah kecelakaan terjadi.
Untung waktu itu saya mengenakan Helm Teropong berlabel SNI, jika tidak saya mungkin sudah mati. Kepala saya pecah, darah mengucur di atas tanah dan jika keluarga saya tahu, yang mereka ucapkan mungkin sumpah serapah. Tapi bukan berarti ketidak pedulian pemerintah ini membuat saya tidak terluka parah, pundak sebelah kanan saya terhempas keras di tanah, tangan kanan saya hampir tak bisa lagi digoyah, dan tulang iga saya nyaris patah. Peristiwa itu benar-benar membuat saya resah, masyarakat sekitar gelisah dan membuat teman-teman dekat saya susah.
Melalui tulisan ini saya berharap kepada pemerintah sebagai pihak yang harus bertanggung jawab terhadap keselamatan warga Negara dari bahaya apapun, termasuk kejamnya lubang di jalanan. Infrastuktur yang kiranya sudah tidak layak pakai dan membahayakan keselamatan penggunanya sebaiknya segera diperbaiki. Kalaupun ada dana repairisasi fasilitas public, silahkan dipergunakan sebagai mana mestinya. Jangan sampai dana pembangunan atau perbaikan tersebut beralokasi kelain tempat. Dan untuk masyarakat yang diberi keleluasaan menggunakan fasilitas tersebut, saya juga mengajak saudara, mari kita jaga dan manfaatkan sebagai mana kegunaan infrastruktur itu dibangun. Semoga dengan pengalaman ini kita semua lebih berhati-hati. Selain tidak memadainya jalan raya, seringnya kecelakaan terjadi berawal dari ketidak waspadaan kita, kadang kita terlalu ceroboh dan lupa terhadap keselamatan kita sendiri. Jadi, mari sama-sama menjaga diri kita masing-masing, termasuk terhadap fasilitas yang diberikan pemerintah untuk kita nikmati.
)* Penulis adalah aktifis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung