WISATA SURAMADU

Oleh: Achmad Rois)*
Dua hari yang lalu, dari sebuah kota terpencil di kabupaten Trenggalek. Kabarnya berawal dari musyawarah kecil dikantor desa, muncul sebuah ide konyol tapi kelihatannya bakal punya pengaruh positif. “Bagaimana kalau kita rekreasi ke Suramadu, kita kan baru pernah melihat fotonya dikoran”, celetus salah seorang pamong desa yang saat itu sedang membicarakan rencana berlibur. Ide rekreasi ini timbul karena saat itu para perangkat desa sedang melakukan evaluasi kinerja. Satu tahun yang lalu sejak terbentuknya kabinet, mereka merasa hubungan komunikasi dan emosional antar perangkat kurang harmonis. Sebab itulah ide melakukan rekreasi ini muncul dengan tujuan mempererat hubungan emosional antar perangkat. Karena tak dapat dipungkiri bahwa harmonisnya hubungan emosional antar perangkat desa berbanding lurus dengan maksimalnya kinerja pemerintahan desa.
Ide tersebut mendapatkan tanggapan positif dari hampir semua perangkat, meskipun anggarannya diambil dari kantong pribadi mereka masing-masing. Seperti pak DPR saja, yang katanya sering jalan-jalan keluar negeri untuk kunjungan kerja, namun bedanya, mereka menggunakan anggaran negara bukan dari kocek pribadi. Faktor lain yang menyebabkan ide rekreasi ini disambut baik adalah faktor kuota perangkat. Sebagian besar perangkat desa memang berasal dari kaum ‘hawa shoping’; perempuan. Karena memang kepala desanya juga berasal dari ras yang sama. Selain hobi rekreasi, secara kultur perempuan memang memiliki kecendrungan hobi berbelanja. Tapi tentu saja ini tidak menimbulkan masalah besar, tak akan ada likuidasi Bank atau talangan dana seperti Century karena yang mereka gunakan adalah penghasilan pribadi.
Suramadu mengingatkan kita pada beberapa hal. Peresmian yang diiringi demontrasi, dua hari kemudian baut-bautnya raib dicuri oleh oknum tanpa rasa tanggung jawab. Kerena mungkin semasa sekolah guru-gurunya lupa mengajarkan arti tanggung jawab. Beberapa minggu menjadi pembuka dan penghias halaman awal surat kabar, kemudian menjadi kabar yang hampir setiap hari disiarkan langsung ditelevisi. Berbagai reaksi timbul dari kalangan masyarakat sekitar ataupun yang jauh dari lokasi Suramadu. Suramadu adalah jembatan yang menghubungkan antara pulau jawa dan madura. Tujuan utamanya dibangun tentu untuk memperlancar dan mempermudah arus transportasi dari pulau jawa ke madura. Karena jalan adalah urat nadi dan sarana mobilitas ekonomi disebuah negara.
Beberapa hal yang menurut penulis menarik untuk diperhatikan adalah tentang organisasi pemerintahan terkecil dalam sebuah negara; pemerintahan desa. Pemerintahan yang sangat kecil dari segi ruang lingkup pemerintahan ataupun konflik politik. Meskipun sedikit, tentu ada sifat politiknya. Tapi hal itu sangat jarang menjadikan sebuah desa semrawut karena fanatisme masyrakat terhadap kandidat politiknya. Kalau saja hal seperti ini terjadi di sejuta desa saja yang ada di Indonesia, mungkin cita-cita kemakmuran dan keamanan negara akan terwujud. Tak ada ambisi berlebihan, tak ada cara-cara saling menjatuhkan atau usaha serius kriminalisasi. Semua berjalan begitu harmonis dan tak terlalu fanatis.
Desa kecil seperti Gandusari, menyadari pemerintahannya tak harmonis. Kemudian ide rekreasi muncul untuk memperbaiki keadaan, namun tanpa merugikan pihak-pihak lain. Jika ditelisik, mungkin tak akan ada pengaruh serius terhadap negara jika desa kecil ini pemerintahannya kacau balau. Tapi kesadaran mereka untuk melakukan perbaikan menjadikan semuanya terlihat serius. Nasionalisme lahir dari rasa memiliki yang tinggi terhadap desa dan negaranya. Sungguh ide yang brilian dan nasionalis.
Sayangnya, pemerintahan negara yang ruang lingkupnya lebih luas dari mata kita memandang ini tidak menyadari bahwa hari ini mereka sedang terjebak dalam masalah serius. Fanatisme PARPOL yang berlebihan menjadi motivasi utama perpecahan. Tak ada lagi tegur sapa dan peluk tulus. Ketulusan hanya terjadi beberapa detik seiring dengan percikan lampu kamera para wartawan. Hubungan harmonis hanya tersembunyi pada senyum tak menawan; kebohongan. Kenapa tak coba adakan out bound atau entah apalah yang bisa mengobati sengketa politik. Meskipun tak sembuh, tapi paling tidak mereka mengerti bahwa negeri ini butuh tanggung jawab mereka sebagai wakil rakyat. Bukan pertentangan ideologi yang justru membuat negara ini hancur berantakan. Indonesia tak akan pernah jadi negara yang ‘baik’, jika keinginan untuk berubah kepada yang lebih ‘baik’ pun sama sekali tak ada.
)* Penulis adalah aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung