Oleh: Achmad Rois)*
Indonesia termasuk kategori negara yang sedang berkembang. Ekonomi, sosial, budaya dan politik sekaligus. Era perpolitikan Indonesia saat ini sedang mendapat ujian berat. Penetapan keputusan ini dan itu tak ubahnya seperti membelah buah simalakama. Ada pihak yang dirugikan dan selalu ada pihak yang diuntungkan, tapi memang itulah fungsi kekuasaan menurut mereka; untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Tentunya keuntungan bukan hanya uang, mungkin popularitas, bisa bertindak semena-mena atau sekedar pemuas nafsu duniawi. Hal ini sangat pantas terjadi karena memang seperti itulah adanya Dunia.
Keguncangan demi keguncangan politik dialami bangsa Indonesia bertubi-tubi. Seperti permainan catur yang sekarang sedang skak star dan sebentar lagi mati. Kuda-kudanya mulai enggan merumput, digembalakanpun mulai pandai melepas tali. Kepala sulit dipegang, ekorpun berpelumas. Sungguh kasihan penggembala yang satu ini. Mentri-mentrinya sedikit enggan angkat kaki, tapi dipertahankanpun sepertinya akan lebih banyak yang rugi. Tapi syukurlah, benteng-bentengnya berfungsi dengan baik, karena mereka hanyalah benda mati. Tak dibayar untuk berpikir, tapi kadang berusaha berpikir justru dimarahi dan turun gaji. Apa jadinya pemerintahan jika bendera golongannya diangkat terlalu tinggi, sampai siku tangannya menyodok satu sama lain kanan dan kiri. Terlepas dari itu semua sesuai atau tidak sebagai deskripsi pemerintahan kita saat ini, yang penting para pembaca mengerti bahwa ini hanyalah pandangan pribadi. Tak perlu dimengerti apalagi sampai dikaji untuk dipahami. Tentu saja boleh dimaki, karena saya yakin tak ada kesempatan untuk memuji.
NEGARA PEGADAIAN
Wacana yang berkembang dimasyarakat saat ini mulai banyak dipengaruhi oleh bahasa-bahasa yang dikonstruk media. Tapi yang pasti, kini masyarakat tak lagi buta dan tuli. Semua bisa mereka cerna dengan teliti karena setiap detik kejadian kini lebih murni dan dinikmati secara langsung, meskipun tak semuanya. Bagaimanapun negara kita mungkin sedang belajar ber-demokrasi. Mempergencar adanya musyawarah dalam rapat-rapat, karena itu mungkin saja jalan terbaik untuk alasan pengajuan akomodasi. Termasuk juga Rapat Century yang hampir satu semester booming ditelevisi dan seluruh media cetak. Dana yang dikeluarkan mencapai bilangan Milyar, dan ini adalah bilangan yang memiliki nol lumayan banyak. Entah itu uang atas nama siapa, yang jelas katanya merugikan negara.
Pemahaman semacam ini perlu dimengerti oleh segenap lapisan masyarakat. Paling tidak kita tahu bahwa mereka yang duduk berjas, berdasi atau kadang berbatik seragam itu juga bergaji, entah berapa dan pakai uang siapa. Biaya rapat kadang sering membengkak, tergantung berapa lama kasus selesai. Meskipun kadang saya su’udzon, jangan-jangan sengaja diulur supaya anggaran akomodasinya ditambah, atau sengaja mengada-ngada dan memperbesar pengaruh masalah agar selalu ada rapat serupa untuk menyelesaikan masalah dan mengajukan anggaran akomodasi. Semoga tak demikian seperti yang sering saya pikirkan.
Isu pertukaran kursi saat ini gencar kita dengar. Anggota koalisi yang tak loyal pada partai pemimpin terancam dideportasi. Pion-pion dijalur seberang mulai didekati, rencananya akan segera dijadikan raja. Alasannya pion-pion itu konsisten dan berpendirian teguh, meskipun sebenarnya alasan bukan seperti yang terucap. Sebenarnya mereka hanya sedang memperbaiki pertahanan yang semakin rapuh. Rumah tangga koalisi terancam digugat cerai, dan kasus ini tergolong biasa dalam percaturan politik. Selalu ada tujuan untuk menang. Tapi pertanyaannya, ini pemerintahan atau kantor pegadaian. Apa mungkin kebenaran bisa sampai melalui jalan negoisasi atau lobi-lobi politik. Bukankah pegadaian tujuannya menjadi solusi saat masalah kelangsungan hidup mulai mendesak. Ini mungkin saja benar, karena kelangsungan hidup tak bisa dijamin oleh koalisi pemerintahan yang rapuh.
Kepentingan sana sini menjadi pertimbangan yang sangat teliti untuk diperhitungkan. Bagi pemerintah, tak ada gunanya mempertahankan mentri-mentri yang tak loyal pada pemimpinnya. Ini penghianatan. Tapi tak boleh secepat itu memutuskan, harus ada pertanyaan lanjutan sebagai pertimbangan. Mereka menghianati pemerintah untuk patuh pada kebenaran, atau patuh terhadap pemerintah namun berkhianat pada kebenaran? Selalu sulit menemukan sesuatu dalam keadaan ideal.
Selanjutnya, mental pegadaian mana yang saya maksud? Analogikan anda sebagai seorang kepala keluarga yang sedang dilanda masalah serius; Ekonomi. Istri anda akan menggugat kepengadilan karena merasa tak dinafkahi secara sempurna. Saat ini, anda hanya punya jam tangan kuno yang dibuat tahun 60an, itupun warisan kerena tak mungkin waktu itu anda sudah mampu membelinya. Sambil merenung dan kelihatan seperti berdoa, muncullah pikiran ingin menukarkannya kekantor yang mampu mengatasi masalah tanpa menimbulkan masalah, begitu mitosnya. Jika saya tukarkan, pasti harganya sangat mahal, paling tidak harganya cukup untuk mengulur waktu istri saya pergi kepengadilan agama demi subuah gugatan cerai, kata anda dalam hati. Tidak tidak, itu bukan ide yang bagus dari seorang istri yang baik. Saya akan terlihat seperti pecundang, karena memang seperti itulah adanya. Padahal dulu saya pernah berjanji sebelum menikah, akan mampu memenuhi semua kebutuhannya, baik batin maupun lahir. Tapi apalah daya, semua semakin rumit. Pinjam mertua tak mungkin, orang tuapun mati mewariskan hutang. Anak-anak harus tetap sekolah, dan yang bayi pun butuh susu kaleng yang mahal kerena harus sering memasang iklan produknya ditelevisi. Tak usah diteruskan, akan semakin menyakitkan.
Begitulah kiranya masalah serius yang sedang dihadapi keluarga birokrasi negeri ini. Ekonomi belum membaik, malah katanya Bank dirampok 6,7 Trilyun. Pansus belum sampai memutuskan final, ATM-ATM kebobolan ratusan juta. Yang teroris ambil kesempatan, meskipun akhirnya mati satu tumbuh seribu. Alamnya justru mempersulit, karena banjir, longsor dan gempa tak mau melapor di pos satpam dulu sebelum datang dan parkir seenaknya. Masyarakat tak berhenti menuntut, kerena yang mereka ingat hanya janji wakilnya yang kebetulan beruntung. Sekarang, mereka – pemerintah sibuk mempercayai mitos “mengatasi masalah tanpa masalah”. Tukar kursi parlemen, kabinet dan lain sebagainya, asal jangan sampai tukar istri saja.
PEMERINTAH HARUS CERDAS
Bukan berarti saat ini mereka yang duduk dikursi pemerintahan tidak cerdas. Tapi setiap keputusan yang mereka ambil harus benar-benar secerdas harapan masyarakat. Masyarakat sudah semakin pandai, meskipun baru belajar berdemokrasi. Mereka akan sangat sulit dibohongi lagi, mungkin kerena terlalu seringnya dibohongi. Meskipun pak presiden sudah melakukan pidato kenegaraan dalam menaggapi polemik saat ini. Tapi apa kesan yang timbul? Yang timbul adalah kesan pidato pembelaan. Seakan pemerintah tak sepenuhnya mau dipersalahkan.
Sebaiknya, sebagai presiden SBY harus lebih netral dan bersikap adil terhadap seluruh partai politik, bukan hanya terhadap Demokrat. Meskipun perolehan suaranya terbanyak dipemilu, tapi bukan berarti negara ini milik partai demokrat. Lebih cerdas berarti lebih jeli dalam menyikapi segala sesuatu. Tidak brutal apalagi berpihak pada kepentingan golongan. Segalanya harus diselesaikan bersama, terbuka dan tegas. Yang benar atau yang mencari kebenaran harus didukung, bukan dikriminalisasi. Yang nyata-nyata bersalah harus ditindak tegas, bukan justru mendapat pembelaan serius. Rakyat tidak punya cukup waktu untuk mengawal semua kegiatan pemerintahan, karena mengawal gizi baik anak-anak pun rakyat sedikit kesulitan. Akhirnya, sebagai rakyat, kami hanya mampu berharap. Arah pemerintahan haruslah menuju kebenaran, bukan menuju keuntungan.
)* Penulis adalah aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung