APRESIASI UNTUK SANG PENAKLUK

Oleh: Achmad rois)*

Saya secara pribadi dan kami segenap keluarga besar padepokan Pusat Kajian Filsafat dan Theologi Turut berduka cita sedalam-dalamnya duka, atas berpulangnya tokoh panutan dan salah satu putra terbaik bangsa. Dewan guru besar K.H Abdurrahman Wahid ke hadirat Ilahi Rabbi. Semoga segala amal ibadah beliau diterima di sisi Allah SWT, amal dan idenya dapat menjadi tauladan bagi kemaslahatan bangsa dan Beliau mendapatkan tempat yang sangat pantas di Sisi Allah SWT.

Rabu, 30 Desember 2009, agaknya menjadi hari yang sangat menegangkan, penuh harap dan doa selamat. Atau paling tidak, jika Engkau harus pergi, pergilah dengan sebaik-baiknya jalan dan selayak-layaknya saat. Barangkali suasana tersebut dirasakan oleh segenap keluarga besar K.H Abdurrahman Wahid, baik yang sedang dalam suasana hiruk pikuk dan bau obat di rumah sakit ataupun yang sedang mengenggam hand phone menunggu kabar apapun yang akan tiba melalui sms atau pun nada panggil telepon nya. Kekhawatiran dengan alasan yang sangat pantas bagi seluruh rakyat bangsa Indonesia pada umumnya, atau bahkan dunia sekalipun yang sedang menyaksikan televisi ataupun berita di surat kabar. Tokoh-tokoh masyarakat yang kerap kali akrab memanggil Beliau dengan sebutan Gus Dur pun tak kan kalah tercengang ketika terdengar kabar bahwa pada pukul 18.45 WIB yang lalu Beliau telah meninggalkan bagitu banyak kenangan yang tak mungkin setiap saat di ingat namun pasti tak akan pernah pula dilupakan oleh banyak orang. Pembesar-pembesar agama, Islam, Catholic, Konghucu, Buddha, Hindu dan entah agama apa lagi yang berteriak begitu histeris atas kepergian Beliau hari itu. Mr. president dan para pejabatnya sendiri pun tak kalah haru dengan rasa kehilangan yang amat saya kira sangat.

Secara pribadi belum pernah saya jumpai seorang tokoh se “hebat” Beliau. Banyak hal yang belum saya ketahui tentang biografi Beliau, tapi dari sedikit saja pengetahuan saya tentang beliau tersebut sudahlah cukup menjadi alasan yang tepat mengapa saya harus mengagumi sosok sederhana, penuh misteri seperti Beliau yang begitu Mulia dimata saya. Banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari sejarah kehidupan Beliau. Tentang kesederhanaan, ke-kasih sayang-an, ke-peduli-an, ke-arifan, ke-hamba-an, dan masih begitu banyak runtutan ke-ke yang lain yang tak bisa saya sebutkan lagi.

Tak heran bila Beliau disebut sebagai bapak dari banyak agama. Ke-prularis-an beliau membuat begitu banyak tokoh agama mampu mengakui bahwa semua agama adalah baik. Untuk masalah yang sangat fundamental seperti agama adalah bukan urusan yang gampang untuk diterima semua kalangan terutama orang-orang awam seperti saya, anda dan kita pada umumnya. Beliau mengajarkan bahwa begitu pentingnya menghargai orang lain dengan agama yang tidak harus sama untuk penghargaan yang sama seperti penghargaan terhadap teman dan saudara kita yang kebetulan memiliki keyakinan yang sama dengan kita. Padahal, saya kadang kurang begitu yakin apakah semua orang yang se-keyakin-an dengan saya itu juga mampu menghargai semua pemilik agama yang berbeda. Saya tidak pernah mencaci agama lain, karena saya pikir kita adalah dalam tujuan yang sama, tapi hanya kita harus menempuh jalan yang berbeda untuk menemukan apa yang kita sama-sama cari.

Saya sangat tertarik dengan semua paradigma yang digunakan Gus Dur dalam memandang agama. Hal ini cukup rumit untuk saya mengerti, tapi saya yakin suatu saat saya akan mengerti. Para penganut agama Konghucu menganggap Gus Dur sebagai “bapak” mereka. Saya tidak begitu mengerti apa arti “bapak” bagi mereka, tapi yang pasti “tokoh bapak” adalah orang yang di muliakan seperti saya memuliakan bapak saya sendiri di rumah. Sederhana saja, tak mungkin tak ada yang istimewa untuk seorang tokoh dari agama berbeda kemudian menjadi tokoh mulia dimata agama mereka. Sangat mengesankan bukan?

Mohon maaf sebelumnya kepada para pembaca yang tak sependapat dengan hal ini atau kepada pihak yang bersangkutan langsung dengan tulisan ini. Saya kadang-kadang pernah jengkel jika melihat keluarga Gus Dur tampil ditelevisi dengan berbagai atribut yang sama sekali berbeda dari umumnya. Gus Dur dengan kopyah lusuhnya dan baju batik dengan motif yang sangat sederhana. Ibu Sinta dengan jilbab putih dan kebaya kesayangannya. Tapi anak-anaknya ada yang tak pakai kerudung atau dalam nama apa saja lah yang biasa digunakan untuk membalut kepala (menutup aurat; dalam istilah Islam-nya). Pertanyaan yang timbul dalam benak saya hanyalah tentang bagaimana Beliau mendidik anak-anaknya. Pendidikannya begitu prulalis menurut saya. Menghargai hak-hak demokrasi dan menjunjung tinggi hak asasi manusia terutama tentang kebebasan berpendapat. Beliau seperti sama sekali tidak khawatir keyakinan agamanya digadaikan dengan keyakinan agama lain. Tapi sudahlah, saya yakin beliau lebih mengerti tentang Alissa, Zannuba, Annita dan Inayah dari pada saya.

Dari sisi pendidikan beragama barangkali kita harus berani secara tegas memberikan pendidikan yang alami terhadap masalah yang fundamental ini; agama, untuk anak-anak didik atau anak kita sendiri. Pendidikan agama yang prularis secara substansial sangat berkaitan dengan bagaimana manusia memandang agama itu sendiri. Secara garis besar agama memiliki dua dimensi, yaitu dimensi risalah dan dimensi rahmat. Dimensi risalah mengharuskan umat beagama menyebarluaskan ajaran agamanya seluas mungkin. Sedangkan dimensi rahmat menuntut manusia agar dengan agamanya itu bisa menunjukkan sifat-sifat luhur seperti halnya sifat-sifat yang dimiliki Tuhan kepada sesama manusia. Penjelasan diatas bukan saya maksudkan untuk mengatakan bahwa Gus Dur adalah manusia sempurna. Makhluk dengan pengetahuan sempurna tentang ke-Tuhan-an atau apalah sebutan sempurna yang lain karena saya tetap yakin bahwa tak ada yang paling sempurna selain sifat-sifat yang dimiliki Tuhan itu sendiri. Tuhan adalah kesempurnaan tiada banding, terserah dalam konteks agama apa anda memaknai kata Tuhan dalam kalimat saya ini karena itu tidak akan menjadi masalah buat saya.

Realitanya, pendidikan agama selama ini lebih menitik beratkan agama sebagai Risalah dan belum memberikan keseimbangan dengan agama sebagai Rahmat. Karena itu dalam istilah Dr. Amin Abdullah pendidikan agama masih bersifat normatif. Pendidikan agama lebih menekankan proses pewarisan agama daripada penempatan anak didik untuk mencari pengalaman keberagamaan. Dalam otak anak didik disuguhkan konstruksi-konstruksi perumusan agama yang diderivasi dari norma-norma tekstual namun kosong dari proses pencarian spiritualitas. Maka menurut saya, perlu ada seorang perintis metode pendidikan agama yang mampu memadukan antara sisi normatif dan sisi historis-empiris. Gus Dur menurut saya sudah mencontohkanya terhadap kita. Hanya pertanyaanya, mampu atau tidak kita menjalankannya? Pengetahuan terbatas kita membuat cara pandang kita begitu sempit, sedangkan cara pandang yang begitu sempit membuat kiat begitu fanatic terhadap agama yang kita anut. Sehingga kadang-kadang dalam pembicaraan kita sering kali mengolok-olok agama lain. Padahal apakah hal yang demikian itu perlu kita lakukan?

Hal ini menjadi penting karena agama, (atau lebih sempit lagi wahyu) itu memiliki dua kekuatan legitimatif, yakni legitimasi tekstual dan konseptual. Dalam terminologi Al Farabi dalam kitab Al Millat al Fadhilah disebut dimensi teoritis dan pragmatis. Yang teoritis bersifat esensial dan abadi, sedang yang pragmatis selalu berubah-ubah. Secara sosiologis, agama pada hakikatnya adalah instrumen bagaimana kita dapat berdialog dengan Tuhan, menangkap pesan-pesan Tuhan dan berprilaku seperti pemahaman kita tentang Tuhan, Nabi dan ajaran esensial lain tentang agama itu sendiri. Agama tidak bisa tidak harus memberi prularitas bagi tumbuh suburnya penghayatan dan pengalaman keagamaan. Sehingga akan muncul agama ala intelektual, budayawan, konglomerat, pejabat, teknokrat, ulama, pastur, pendeta, tukang becak, mahasiswa dan lain-lain. Dari uraian diatas, maka fungsi pendidikan agama adalah bagaimana memberikan wahana yang kondusif bagi anak didik untuk menghayati agamanya tidak hanya sekedar teoritis, tetapi penghayatan yang benar-benar dikonstruksi dari pengalaman keber-agama-an. Lagi-lagi Gus Dur sudah menjadi tauladan yang baik buat kita. Beliau selalu menghargai lapisan masyarakat apa dan dengan agama apapun, dan ini adalah alasan yang tepat kenapa Beliau harus duduk di puncak pimpinan Pengurus Besar Nahdatul Ulama sejak usia yang masih relative muda dan dalam kurun waktu yang relative lama untuk ukuran sebuah periode kepemimpinan.

Selama ini dalam dunia pendidikan agama menurut saya telah banyak mengesampingkan penyampaian agama dari dimensi pengalaman manusia. Padahal secara jujur seperti halnya dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa keber-agama-an para Nabi seperti Ibrahim, Musa, Muhammad dan juga lainya hakikatnya adalah pengalaman keberagamaan. Bagaimana kisah Ibrahim dan Musa dalam perjalanan panjang pencarian Tuhan dan perjalanan Muhammad untuk mendapatkan wahyu. Semua itu adalah pengalaman keberagamaan. Sayang bahwa kekayaan pengalaman yang spiritual seperti itu kini masih miskin diajarkan didunia pendidikan agama. Pendidikan agama sekarang ini hanya memberi peluang kecil bagi anak didik untuk mengadakan proses pengembangan spiritual. Karena itu masalah agama menjadi dogmatis, stagnan dan semakin ekslusif. Proses penanaman agama menjadi intoleran, doktrinal sempit, kaku dan mengesampingkan kebenaran-kebenaran lain diluar dirinya. Padahal seperti yang dikatakan Hegel, bahwa “agama itu memiliki seribu satu ruh. Dia akan terus hidup dan berkembang selagi masih ada makhluk yang bernama manusia. Begitu juga semakin banyak orang mempelajari agama dan menghayatinya, maka sekian banyak pula warna dan corak pemahaman yang tumbuh dan berkembang”.

Bila dimensi pengalaman keberagamaan masing-masing individu ini bisa diterima apalagi bisa tumbuh subur didunia pendidikan agama, maka kita tidak bisa mengatakan “agama yang satu lebih baik dari yang lain”. Sebenarnya hakikat agama bukan terletak pada superioritas atau tidak. Sebab belajar ilmu, termasuk ilmu agama seperti yang dikatakan oleh Imam Al Ghazali, yang paling tinggi dan substansial adalah pengetahuan tentang Tuhan. Bagaimana dengan belajar agama seseorang akan memiliki kemampuan mukhasyafah untuk mengenal Tuhan. Atau dalam istilah Quthb al Din al Syirazi di sebut Al-Hikmah. Saya pikir Gus Dur adalah tokoh yang penuh “Hikmah” bagi siapapun. Artis, musisi, pelawak, presiden dan lain-lain. Kehadirannya mendatangkan rahmat dan kepergiannya menimbulkan sesal tak sesaat. Seperti saya yang sangat menyesal karena tak sempat bertemu langsung dengan Beliau.

Keberagamaan termasuk pemikiran agama adalah pengalaman keagamaan, maka Muhammad Arqoun menilai bahwa Epistimologi keilmuan semua agama termasuk agama Islam tidak lebih adalah produk sejarah. Meskipun semua agama memiliki nilai abadi dan universal, namun bila bersentuhan dengan kehidupan empiris, mau tidak mau agama harus bersifat historis. Kesalahan dalam pemahaman keagamaan sering muncul karena para pengikut agama sering menganggap rumusan para pemikir agama sebagai ajaran agama yang kebenarannya harus diyakini secara absolut. Maka muncul apa yang olehnya disebut Taqdis Al afkar ad Diniyyah (pensakralan terhadap pemikiran-pemikiran keagamaan). Bila dunia pendidikan terjebak pada platform seperti ini, maka pendidikan agama tidak hanya bersifat intoleran dan eksklusif, tetapi akan gagal untuk menempuh jalan menuju tanda komunikasi dengan Tuhan, kitab suci dan para Nabi itu sendiri. Sebab komunikasi dengan Tuhan, kitab suci dan para Nabi itu bisa terjadi masing-masing manusia memiliki wasilah intuitif yang mampu me-nyandra aspek-aspek tersebut. Disini kekuatan tekstual semata tidak mampu menghantarkan manusia ke tangga tersebut tanpa dipadu dengan pengalaman-pengalaman spiritual. Barang kali pengalaman spiritual apa yang pernah di alami Gus Dur dalam konteks kali ini. Saya tak banyak tau tentang itu, tapi yang saya percayai adalah isyarat-isyarat yang pernah disampaikan Beliau adalah tanda yang benar dan hanya dapat ditemukan setelah beberapa saat setelah beliau tersenyum khas atau tertawa sepintas. Tak terlalu banyak orang mengerti tentang firasat, tapi saya pikir beliau tidak hanya tau tentang api, tapi lebih dari itu, beliau bahkan sudah pernah terbakar api. Jadi tak heran jika ada banyak hal yang sering beliau jadikan gurauan atau lelucon beberapa hari kemudian menjadi tanda yang tak sempat dipikirkan oleh banyak orang.

Sebuah pendidikan agama bisa bersifat pluralis apabila para umat beragama bisa menyeimbangkan pemahaman agamanya antara Dimensi Risalah dengan Dimensi Rahmat. Begitu juga dunia pendidikan perlu menyeimbangkan antara materi-materi normatif tekstual dengan dimensi pengalaman keberagamaan. Sebab dengan memberikan porsi pengalaman keagamaan, peserta didik akan bisa menangkap makna keber-agama-an yang sejati. Dimana agama bukanlah tujuan akhir, melainkan sebagai instrumen untuk menemukan Tuhan. Sebagai instrumen, maka antara satu orang dengan yang lainnya akan berbeda. Jangankan berlainan agama, satu agama pun bisa berbeda-beda. Kekayaan pengalaman keagamaan inilah yang mendesak untuk dikonstruksi menjadi salah satu materi dan metode pendidikan agama.

Konsep rekonsiliasi antar umat beragama sudah sangat dan begitu sering kita dengar. Himbauan dari para pe-tinggi pemerintahan dan para tokoh keagamaan juga selalu mengatakan bahwa hal yang demikian itu akan lebih baik ketimbang kita mem-brutal-kan diri atau dengan kuat menolak kehadiran orang-orang dengan agama dan keyakinan yang berbeda, dan megadakan upacara-upacara atau perayaan-perayaan aneh yang berbeda pula.

Hal semacam ini sudah menjadi budaya kurang baik yang tetap dipertahankan. Pemahaman semacam ini begitu mudah membiarkan peluang kehancuran dan pertikaian masuk dalam bentuk doktrin-doktrin dan isu keagamaan. Dan lambat laun kefanatikan yang berlebihan akan membuat kehancuran yang tak disangkakan. Saya tidak akan memposisikan diri kedalam kelompok muslim yang terlalu fanatic terhadap adannya perayaan-perayaan hari besar agama lain yang dilaksanakan dihalaman depan atau dibelakang rumah saya. Hal yang demikian tidak harus mengusik aqidah kita sebagai seorang muslim yang baik; (semoga) bukan? Bahkan beliau; Gus Dur mampu memiliki hubungan persahabatan yang begitu baik dengan sahabat-sahabatnya yang berlainan agama.

Dari sisi nasionalisme pun, Negara kita bukan Negara islam, melainkan Negara yang menjadikan sebagian besar hukum dalam syariat islam sebagai landasan hukum yang universal. Negara kita begitu menghargai berbagai agama. Islam juga mengajarkan hal yang demikian baik dalam bagaimana kita harus menyikapi teman sekelas atau tetangga kita yang mempunyai keyakinan berbeda dengan kita. Bahkan Junjungan kita pun mencontohkan hal yang demikian mulia terhadap paman Beliau yang berlainan keyakinan dengan Beliau Baginda yang Mulia.

Apa beberapa alasan diatas belum cukup menghadirkan diri kita sebagai pribadi dengan sikap-sikap yang baik sebagai seorang muslim? Perlukah kita mengecam kepercayaan lain yang merayakan hari raya besarnya di tempat ibadahnya? Dan bukankah semua agama mengajarkan keteraturan yang begitu mulia untuk semua penganutnya yang taat? Tidak ada agama yang mengajarkan penganutnya yang taat untuk tidak menghargai orang lain.

Bagi saya secara pribadi, meyakini apa yang kita yakini itu sangat penting. Meyakini yang kita yakini adalah benar, juga merupakan hal penting. Aqidah adalah hal paling utama dalam agama saya, itu sebabnya Syahadat diposisikan paling awal dalam Rukun Islam yang Lima. Menjadikan diri kita baik dan menjadikan diri kita benar adalah bagian dari banyak hal penting dalam kehidupan kita, karena saat kita “menjadikan”, sesungguhnya saat itu kita sudah “menjadi”. Tapi menganggap diri kita paling baik atau paling benar bagi penulis adalah hal yang tidak begitu penting untuk saat ini. Karena kita tidak akan tau mana yang benar sebelum bertemu Pemilik yang sesungguhnya.

Ada banyak hal lain yang akan membuat saya begitu banyak pula menyebutkan beberapa teori yang saya ketahui dari rasa kagum dan bangga saya terhadap Beliau. Ke-sederhana-an, ke-humoris-an, ke-demokratis-an, ke-prularis-an, dan ke-kontroversi-an Beliau.

Ada yang telah saya lupakan, pada akhirnya ternyata saya mengerti. Gus Dur sebenarnya bukan sosok yang kontroversi seperti yang sering kita dengar. Hanya kita yang awam ini saja yang tak mampu mengikuti pola pikir beliau yang begitu luas. Seperti itu barang kali lebih tepat. Kenapa kita harus malu mengakui bahwa diri kita ini begitu lemah dan tak mampu. Sampai-sampai kita harus memberikan klaim yang hampir tak berdasar tepat itu kepada sosok yang begitu arif dan bersahabat. Konsep rahmatal lil’alamin dijalankannya dengan sangat baik bukan? Sampai-sampai tidak hanya para kyai dan santri saja yang mengantar kepergian Beliau, bahkan para pastur, pendeta, Buddha dan tokoh-tokoh agama lain pun turut hadir mengantarkan ke-pulang-an Beliau.

Sesuatu yang paling tak pantas mungkin justru dilakukan oleh para pejabat Negara dan Mr. President sendiri. “Penghormatan terakhir” kata mereka, apa pantas sosok yang begitu besar dimata dunia ini diberikan penghormatan terakhir. Sosok yang menjadikan lebih penting mencapaikan kepentingan orang lain dari pada kepentingan dirinya ini diberi penghormatan terakhir saat ke-wafat-annya. Benar-benar kurang pas menurut saya. (Cuma usul) Harusnya bukan “Penghormatan Terakhir” tapi “Penghormatan tak Terhingga dan Penghormatan yang tak pantas diakhiri”. Baiklah nanti sama-sama kita usulkan teks pengganti untuk protokoler president itu supaya lebih tepat untuk memilih kata penghormatan kepada siapapun yang berjasa besar untuk negeri ini termasuk sosok seperti Beliau; K.H Abdurrahman Ad Dakhil.

Sekian dulu, karena saat ini hanya apresiasi untuk Beliau dan pelajaran dari Beliau saja yang penting.
Semoga bermanfaat dan Salam pergerakan!!!

)* Penulis adalah Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung.