Oleh: Achmad rois)*
Sunyi seperti sabda,
Begitu nyata tentang ada,
Begitu hampa tanpa tanda,
Alampun tak jua ada tanpa tiada,
Api juga tak membara meski air telah kehilangan makna,
Betapa jeram, betapa tak dalam tentang hampa tanpa ketudukan dan kearifan segala.
Hari itu langkah pasti terayun turuti kemauan hati. Tak ada kata terindah selain “aku harus pergi”, ini bukan untuk guru atau siapapun yang pernah melantunkan beberapa tuntutannya padaku. Ini adalah tentang kebutuhan jiwa dan hati. Bukan tentang cinta yang saat ini hampir telah kehilangan makna suci dan basi. Kerikil dan aspal penuh duri kembali menuntun kami pada keringat busuk tak peduli. Kejenuhan dating namun tak hirau oleh kami. Satu persatu kata terucap untuk sekedar menghibur diri. Tapi biarlah, kadang-kadang kelaparan bukan kita yang hanya sandang. Letih menyelinap diantara roda-roda jeruji dari lempeng yang entah apa, aku tak tahu. Kubiarkan semuanya hanya terlarut seperti debu. Juga kalbu dan hantu, ku biarkan mereka mengelilingi seluruh lapisan keras didalam kepalaku, tapi tak urung aku punya niat untuk mengusirnya, agar terlihat syahdu.
Kicauan burung sering kali dijadikan pertanda bagi mereka yang percaya itu ada, tapi bagi mereka yang tidak, biarlah, keduanya bukan masalah kita. Ada atau tidak itu adalah masalah yang sangat sulit untuk selesai dibahas. Tapi yang jelas sesuatu yang ada pasti berasal dari yang ada pula. Kelembaban tahah barangkali adalah sebuah pertanda becek. Keluarnya semut dari lorong-lorong tuanya mungkin sebuah pertanda. Peranda tentang hujan yang sebetar lagi akan turun. Lalu apa pedulinya bagi mereka yang sedang duduk-duduk santai ditaman kota atau beberapa tempat rekreasi lainnya di kota dan musim yang sama pula. Sama sekali tak ada. Hujan pun mereka tak akan risau, toh atap mobil cukup untuk mereka berteduh. Tapi tidak dengan hati mereka yang terus saja gaduh. Kenapa harus hujan padahal kesenanganku adalah kecerahan, katanya. Kakekku seorang petani yang bergantung sepenuhnya terhadap musim dan matahari. Jauh sekali bedanya dengan mereka yang sengaja menggantung dirinya dengan dasi. Membebani diri tanpa kesenangan, sampai mati.
Aku kadang-kadang suka mencari, apa pun, apa saja yang ku cari. Tapi kusadari semuanya bukanlah jalan, melainkan kebuntuan. Aku pernah berkenalan dengan mereka yang suka mencuri, mereka bilang itu adalah hal yang paling menyenangkan, bayangkan saja jika mengambil mainan kunci dari sebuah toko accessories kemudian keluar tanpa mendengar alarm berbunyi. Aku melupakan sesuatu bahwa perjalanan adalah keinginan untuk secepat mungkin berhenti. Dan perjuangan adalah cara tercepat untuk segera mati. Kuncinya adalah tentang jati diri. Menjadi selesai akan membuat kita berhenti sampai disini. Seperti saat seorang penulis mengakhiri puluhan kata-katanya dengan titik dan huruf yang dibaca mati.
Aku kadang sering bertanya pada diriku sendiri kenapa dan apa pentingnya mengaji. Aku sering melihat keanehan tak terpecahkan dan tak ku mengerti, bahkan sampai saat ini. Tapi aku tahu, aku memang masih terlalu bodoh dan dini untuk hal sesulit ini. Kadang aku melihat didalam kitab suci hanya tumpukan kata tanpa arti. Tapi mungkin susunannya membuat kita sedikit mengerti.
Mengapa harus “bismi” awalnnya, dan mengapa pula harus “an-nass”. Ah… aku benar benar semakin tak mengerti. Atau barang kali hubungan sepenuhnya adalah tentang ilahi dan insani. Mengawalinya dengan penyerahan diri, dan melegitimasikannya dengan tindakan manusiawi. Ini benar-benar hal paling masuk akal menurutku. Baiklah kalau begitu, tapi masih ada yang lain.
Seperti ritual suci yang kadang pernah juga aku langgar. Mengangkat tangan tanda menyerah dan meletakkan dahi ditanah. Kemudian mengakhirinya dengan ucapan selamat. Apa aku terlalu jarang berfikir sehingga aku harus mengucap kata “tak tahu”. Untuk makna yang tak urung membuat begitu banyak makhluk terharu. Ternyata hubungan manusia terbaik adalah pada pencipta dan makhluknya. Diawali dengan ketundukan dan dibarengi dengan pengamalan.
Tak ada ternyata yang paling pantas disebut Tuhan. Kecuali yang sering kita namai Tuhan itu sendiri. Terlalu banyak tuhan yang saat ini harus rela disembah, tunduk pada Negara berarti menyembah Negara, tunduk pada Aturanya kadang berarti tak mengerti kenapa hal rumit itu harus dipatuhi. Kita yang muda dan nakal ini terlalu sering berkata lancang karena memang itulah tabiat kami. Mereka yang mahasiswa itu mengangap semua tema aturan termasuk Negara adalah Musuh besar yang harus dimusuhi. Kata mereka yang suka demo itu mereka tak ingin potensi individunya diburu lalu dibunuh. Karena mereka adalah musuh seragam lusuh yang tak pernah dicuci bahkan untuk sekali seminggu. Ini juga adalah perjalanan untuk berhenti.
Perjalanan juga kadang diartikan pembacaan. Membaca situasi yang akhirnya harus dilaksanakan dalam bentuk program oleh organ-organ. Terlalu sistematis, aku tak suka. Aku lebih suka ngawur dan semauku karena itu memang dasar dari tabiat dari keseharianku. Membaca pasar untuk dagangan agar cepat laku, membaca buku untuk ujian, membaca peta untuk bepergian, membaca tindakan untuk sebuah bahasa yang tak begitu saja mudah diartikan. Tapi semuanya tetap saja namanya membaca.
Tentang tanda, tentang ada, tentang kemaren dan esok seperti dalah kitab suci saja. Tapi benar semuanya memang ada disana. Nabi terakhir itu dulu tak bisa membaca tulisan. Tapi mambu membaca situasi dengan baik sehingga berhasil menciptakan peradaban yang baik pula. Kita saja kan yang sebenarnya telah merusaknya. Dengan emosi dan amukan-amukan yang sebenarnya tak pernah pantas dikatakan berarti.
Berarti orang punya alasan khusus masing-masing untuk dapat mengerti. Ya…seperti membaca contohnya. Aku adalah pembenci matematika. Alajabar terutama. Tapi disisi lain aku sering memberikan motivasi terhadap mereka yang sehati denganku, juga pembenci matematika. Aku katakan bahwa belajar aljabar adalah untuk sebuah perburuan binatang liar. Menatap soal adalah mulai masuk kehutan yang lebat, tapi bukan berarti tak bisa ditaklukkan. Yah…seperti berburu binatang liar yang kita bahkan tak tahu namanya. Maka dari itu mungkin pencipta rumus-rumus memberinya nama “x” yang artinya “belum diketahui”, bukan tidak diketahui. Lalu setelah perburuan selesai kita dapat melihat binatang itu kemudian kita memberinya nama yang tepat.
Ternyata menjalani hidup adalah tentang bagaimana menbaca. Hidup juga kumpulan dari banyak kata-kata yang secara tepat harus segera kita ketahui maknanya. Kata kuncinya “Hidup adalah tentang Kata dan Makna”. Membaca membuat kita tahu apa yang kita inginkan. Membuat kita mengikuti keinginan yang kita butuhkan. Dan mendapatkan apa yang kita butuhkan. Simple saja konsepnya. Tapi tak jarang orang sering lupa apa isinya kehidupan. Kalau begitu, hidup adalah tentang Demi dan Untuk. Demi siapa? Dan untuk siapa? Atau apa?
Begitulah jika hidup adalah untuk sebuah kata. Sebuah perjalanan. Sebuah pertanyaan yang jawabanya tak ada. Temukan saja paku yang tadi terjatuh dan bengkok kemudian luruskan kembali dan tancapkan lagi. Jika gagal, ulanglah lagi. Tapi jangan dengan cara yang sama Karena jika tetap dengan cara yang sama, engkau akan tahu hasilnya terlebih dahulu sebelum engkau melakukannya lagi. Gagal.
Bosan aku setiap hari mengaturmu, padahal aku bukan orang tuamu. Pemerintah ataupun aparat aroganmu. Biarlah apapun yang ku tulis ini menjadi saksi bahwa nanti pada akhirnya aku tetap harus mati. Pedasnya cabe, manisnya gula hanya akan terasa saat kedunya tersiksa. Wanita pencinta tak lupa setiap hari mengirim surat untuk kekasihnya. Setiap saat membaca surat dari kekasihnya. Dalam hitungan hari jika kekasihnya mati. Dia sudah melupakan bahkan namanya.
Tak ada ternyata yang sempurna. Yang sempurna ternya hanyalah kesempurnaan itu sendiri. Tak ada yang abadi. Yang abadi hanya perubahan. Tak ada yang sunyi. Karena kesunyian adalah diam dalam keramaian. Tak ada yang gelap meskipun kata itu disebut. Yang ada hanya kekurangan cahaya sehingga redup dan akhirnya menggelap, tapi sekali lagi tak ada yang gelap.
Pada akhirnya hidup adalah tentang memaknai kesendirian. Karena hidup adalah sendiri. Dalam kandungan kita sendiri. Dalam kubur kita sendiri . Dan harus bertanggung jawab kepada Tuhan dari apa yang kita perbuat juga sendiri. Oh…lebih baik sendiri.
)* Penulis adalah Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung.