Friday, April 21, 2017

Bingkai Apresiasi dan Belasungkawa

Judul buku : SEJUTA HATI UNTUK GUS DUR
Sebuah Novel dan Memorial
Penulis : Damien Dematra
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan I : Januari 2010
Tebal : vi + 426 Halaman
Harga : Rp. 58.000, 00
Peresensi : Achmad Rois)*

Rabu, 30 Desember 2009, menjadi hari yang sangat menegangkan, penuh harap dan sejuta asa. Suasana tersebut dirasakan oleh segenap keluarga besar K.H Abdurrahman Wahid, sahabat, teman dekat, karib, kerabat sampai pejabat yang waktu itu menunggu Beliau di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Semua kekhawatiran ini tentu punya alasan yang sangat pantas. Karena tokoh sederhana dengan nama besar yang dikenal di setiap penjuru Negeri ini mempunyai peran dan pengaruh yang signifikan terhadap arah dan kelangsungan perjuangan anak bangsa, dan perjuangan syiar Islam khususnya. Pukul 18.45 WIB, terdengar kabar bahwa Gus Dur telah meninggalkan bagitu banyak kenangan yang tak mungkin setiap saat di ingat, namun yang pasti tak akan mungkin dan pernah dilupakan oleh banyak orang. Salah seorang yang merasakan hal semacam ini adalah Damien Dematra.
Sebagai seorang novelis, Damien merasakan adanya kedukaan mendalam. Namun ia tidak mau larut. Ia menorehkan segenap perasaannya terhadap Gus Dur dengan menulis novel. Dan jadilah sebuah novel apik yang menjadikan Gus Dur sebagai pusat narasi. Di halaman awal dinyatakan bahwa buku Sejuta Hati untuk Gus Dur ini diadaptasi dari skenario Gus Dur: The Movie. Isi buku ini adalah kisah atau jejak-jejak akhir hidup sang tokoh pluralisme dan menggambarkan Gus Dur dari sisi kemanusiaannya. Representasi sosok Gus Dur dari sisi kemanusiaan dalam buku ini dititikberatkan sejak kurun waktu Gus Dur semasa kecil sampai ia menikah. Selain itu, kisah-kisah masa perjuangan Gus Dur juga disajikan dalam kemasan yang sangat menarik oleh penulis. Buku ini memang bukan sebuah buku yang sempurna, tapi paling tidak buku ini layak dan dapat dengan mudah dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat mana pun karena pemilihan kosa kata dan penggunaan bahasanya cukup sederhana dan akan sangat mudah dimengerti.
Walaupun bertutur tentang Gus Dur, buku ini sebenarnya merupakan karya fiksional. Beberapa nama, cerita, peristiwa dan tempat telah sengaja diubah oleh Damien, yang juga berprofesi sebagai seorang sutradara ini. Beberapa bagian dalam uraian sengaja tidak diperjelas, karena menurut penulis akan ada karya-karya lain yang secara khusus membahas bagian-bagian yang sengaja tidak diperjelas. Namun perlu dipahami bahwa proses itu hanya semata-mata untuk kepentingan cerita. Tetapi ada sesuatu yang penting dan harus diketahui oleh pembaca, bahwa buku ini adalah sebuah Novel yang dibuat berdasarkan kisah nyata, yaitu riwawat seorang Abdurrahman Ad-Dakhil.
Latar Novel ini dapat melukiskan keadaan latar secara rinci, sehingga para pembaca Novel ini dapat memdapatkan gambaran yang lebih jelas, konkret (berwujud) dan pasti. Walaupun demikian, Damien tidak bersikap berlebihan terhadap proses penulisan latar yang sebenarnya akan sangat dimaklumi oleh para pembaca. Menurut saya; peresensi, Damien bukan orang yang suka berlebihan, dia mengerti betul kategori sebuah Novel atau Cerita supaya bisa dikatakan baik. Novel atau Cerita yang baik hanya akan melukiskan detail-detail tertentu yang dipandang perlu, dan tidak pula ditulis secara berlebihan. Hal ini cukup bisa kita mengerti karena Damien bukan hanya seorang Penulis Novel, tetapi juga seorang Penulis Skenario sekaligus Sutradara. Toh, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak terlalu baik, dan Damien mengerti betul soal itu.
Tokoh-tokoh dalam cerita novel biasanya ditampilkan lebih mendetail, baik yang berhubungan dengan ciri-ciri fisik, tingkah laku, sifat dan kebiasaan, serta hubungan antar tokoh, baik yang dilukiskan secara langsung maupun tak langsung. Misalnya Gus Dur kecil yang dalam Novel ini digambarkan bertubuh agak gendut, suka makan dan mudah merasa lapar jika sedang membaca atau bepergian dengan ayahnya untuk menghadiri rapat-rapat dengan para pejabat di Jakarta. Gus Dur yang semasa kecil suka berenang dan memanjat pohon sehingga suatu ketika Gus Dur terjatuh karena saat itu Gus Dur kecil memang agak ceroboh. Hal ini karena setelah makan Gus Dur langsung memanjat pohon untuk menikmati komiknya sampai ia terlena, tertidur dan akhirnya terjatuh. Gus Dur kecil mempunyai sahabat baru disebuah sekolah elit di Jakarta. Sahabatnya itu menggunakan kalung berbentuk salib dan lebih sering berhari minggu di Gereja ketimbang bermain bola dengan teman sebayanya. Gus Dur kecil yang tak berhenti bertanya, dan masih banyak lagi representasi tokoh lain yang akan anda temui langsung dalam Novel yang ditulis oleh penulis 50 Novel dalam bahasa Inggris dan Indonesia ini. Semua itu, tentu saja akan memberi gambaran yang lebih detail, jelas dan konkret (berwujud) mengenai keadaan para tokoh. Itulah sebabnya kenapa tokoh-tokoh cerita pada kebanyakan novel dapat lebih mengesankan bagi para pembacanya. Bagaimana mungkin sosok Gus Dur yang unik dalam Novel ini tidak akan menjadikan anda terkesan? Jawabannya hanya ada pada anda setelah membacanya nanti.
Sesuatu yang tidak boleh dilupakan dari sebuah Novel adalah alur dan tema. Ke-tidak terikat-an pada panjang cerita memberi kebebasan kepada penulis dalam menyelesaikan karya fiksionalnya. Namun, untuk menghindari penyimpangan cerita, maka faktor yang harus tetap diperhatikan adalah alur cerita atau plot. Umumnya novel memiliki lebih dari satu plot. Plot utama berisi konflik utama yang menjadi inti persoalan yang diceritakan sepanjang karya itu, sedangkan sub-sub plot berupa konflik-konflik tambahan yang sifatnya menopang, memperjelas dan mengintensifkan konflik utama untuk sampai ke klimaks. Plotplot tambahan atau sub-sub plot itu berisi konflik-konflik yang mungkin tidak sama kadar kepentingan atau perannya terhadap plot utama. Masing-masing sub plot berjalan sendiri-sendiri, sekaligus dengan penyelesaiannya sendiri pula, tetapi akan tetap berkaitan antara satu dengan yang lainnya, serta tetap berhubungan dengan plot utamanya. Semisal, berbagai masalah kehidupan sejak Hasyim As’ary, Wahid Hasim sampai Gus Dus diungkapkan pengarang melalui novel ini. Namun, ceritanya tetap mengacu pada tema utama tentang riwayat Gus Dur. Tema-tema tambahan itu hanya bersifat menopang dan tetap berkaitan dengan tema utama untuk mencapai efek kepaduan. Semua hal ini diperhatikan dengan sangat teliti oleh Damien yang juga seorang fotografer international ini.
Setelah semua bagian itu diejawantahkan pada tiap-tiap bab dalam buku ini, Damien tak lupa menyelipkan peristiwa detail periode kematian Gus Dur, 18.45 WIB 30 Desember 2009 lalu. Keterangan ini diperolehnya dari hasil wawancaranya dengan orang-orang terdekat Gus Dur. Deskripsi upacara kenegaraan sebagai tanda penghormatan terhadap Gus Dur yang pada waktu itu dipimpin oleh Presiden R.I sekarang; Susilo Bambang Yudoyono menjadi bab terakhir novel memorial ini. Setelah bab terakhir selesai, bukan berarti novel ini juga selesai. Bagian novel Novel ini dilanjutkan dengan beragam kata yang dikemas dalam berbagai untaian bahasa. Ratusan kesan dan komentar disampaikan agar menjadi bagian dari buku ini oleh berbagai kalangan serta ribuan hati sebagai bukti tanda cinta dan rasa bela sungkawanya yang teramat dalam. Selanjutnya buku ini dibungkus dengan wawancara eksklusif Demian dengan Dra. Hj. Sinta Nuriah dan putri-putri Gus Dur yang dilakukan sebelum kepergiannya; AbdurrahmanWahid.
Ada sesuatu yang menarik dari komentar salah satu facebookers yang dicantumkan dalam buku ini. “Ada kebetulan dalam wafatnya Gus Dur. Dalam mitologi China yang suka mengotak-atik angaka, angka 18.45 (waktu tepat meninggalnya Gus Dur) adalah angka yang sempurna. 1+8=9 dan 4+5=9. Jika digabung, angka 99 adalah angka ganjil yang juga menjadi simbol kesempurnaan umat Islam. Banyak amalan-amalan bacaan doa-doa yang diucapkan berbilang 9 atau 99. Bahkan 99 adalah nama-nama indah Tuhan yang biasa disebut Asmaul Husna”. Ini semua mereka cantumkan sebagi bukti bahwa mereka mencintai Gus Dur. Damien dalam kapasitasnya sebagai penulis juga menyampaikan bahwa Sejuta Hati untuk Gus Dur adalah sebuah gerakan pernyataan cinta terhadap Gus Dur yang ditargetkan mencapai satu juta hati pada bulan Agustus 2010 yang akan datang. Hari itu bertepatan dengan hari ulang tahun Gus Dur sekaligus peluncuran film Gus Dur: The Movie yang kebetulan disutradarai oleh Damien sendiri.
Penutup buku ini adalah pidato Alissa Wahid (putri pertama Gus Dur) yang disampaikannya dalam acara launching buku Sejuta Hati untuk Gus Dur ini di Jakarta, 8 Januari 2010 yang lalu. “Terima kasih untuk Mas. Damien untuk bukunya, yang dalam jarak waktu yang hanya sekian hari, tapi sudah bisa membuat buku yang menggambarkan Gus Dur sebagai seseorang – seorang individu. Terima kasih sekali mas. Itu hadiah memang betul-betul istimewa untuk kami”. Seandainya saja Mbak. Alissa berkesempatan untuk membaca tulisan saya; resensi ini, saya akan mengatakan: “Buku ini (dan buku-buku karya Gus Dur) bukan hanya hadiah untuk Mbak. Alissa dan keluarga, tetapi juga hadiah buat saya, buat kami, buat semua, dan buat Indonesia. Dari buku ini saya dapat membaca, mengetahui, mempelajari kemudian mengerti sosok pemimpin kami. Pemimpin yang bukan hanya mengerti, tetapi mampu secara tulus untuk lahir dan hadir di hati kami, rakyat kecil ini. Seperti kata Mbak waktu itu, Gus Dur betul-betul hidup dalam prinsip-prinsip yang Beliau perjuangkan. Dan akhirnya, saya mengerti”.
Demian menulis satu kaliamat pada akhir bab, tepatnya dihalaman 280 dari buku ini. Bunyinya: “Aku ingin pahlawan dihatiku ini dikenang perjuangannya, dan aku mempersembahkan luapan kasih dari sebanyak mungkin kawan untuk membingkainya dalam sebuah karya ber judul Sejuta Hati untuk Gus Dur”. Dalam buku ini Demian juga berpesan kepada seluruh masyarakat yang ingin memberikan “hati” untuk Gus Dur agar dapat bergabung dalam group Sejuta Hati untuk Gus Dur atau mengirimkan nama-nama yang mau memberikan “hati” sebagai tanda cinta dan belasungkawa ke damiendematra@gmail.com dan akan diabadikan dalam edisi selanjutnya buku ini.

Harapan kami, semoga edisi selanjutnya buku ini lebih bagus dari edisi perdana ini. Buku perdana ini sudah cukup bagus, tapi secara logika, apa mungkin buku dengan 426 halaman ini dibuat tanpa sedikitpun kesalahan dalam tempo 3 hari. Tapi istimewanya buku ini adalah karena buku ini dibuat sebagai wujud dan wadah apresiasi masyarakat yang turut berbela sungkawa dan memberika apresiasi terhadap Guru Bangsa ini. Dan buku ini adalah karya besar yang tetap harus dihargai. Akhirnya, sekian dari peresensi, semoga dapat dimanfaatkan sebagai mana mestinya.
)* Penulis adalah aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung.

No comments:
Write comments