Friday, April 21, 2017

LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM JADI IDOLA

Oleh: Achmad rois)*
Siang itu saya sedang berlibur dirumah nenek. Rumah nenek yang tidak begitu jauh dari pusat kota Tulungagung tempat saya kuliah membuat saya mudah pulang kapan saja saya mau, tentu untuk mengunjungi beliau. Tepat didepan dan samping kiri (timur) rumah beliau terdapat sebuah sekolah yang setiap hari diramaikan oleh anak-anak usia lima sampai enam tahun. Tanpa saya sebutkan, tentu anda dapat dengan mudah menebak sekolah apa yang saya maksud. Yah, tepat sekali. Sebuah Taman Kanak-kanak (TK). Sebuah sekolah yang mengajarkan pelajaran-pelajaran dasar sebelum masuk ke Sekolah Dasar (SD). Singkatnya, sebuah sekolah yang mengajarkan warna, aksara, angka, bentuk benda-benda, kendaraan dan lain-lain dalam kemasan yang menyenangkan. Bermain, semacam itulah sebutan para guru-guru sabar itu. Atau lebih lengkapnya, Belajar sambil Bermain, atau Bermain sambil Belajar, terserahlah apa nama tepatnya untuk kemasan menarik itu.
TK ini terletak disebuah desa yang mayoritas penduduknya adalah penganut muslim yang taat. Pemiliknya pun adalah seorang pemuka msyarakat yang cukup disegani didaerah tersebut. Hal ini mungkin menjadi salah satu faktor utama kenapa sekolah ini berbeda dengan kebanyakan sekolah yang lain. Sekolah ini adalah lembaga swasta yang memiliki fokus pembelajaran dan penerapan agama islam sebagai landasan utamanya. Sekolah yang mengajarkan tendensi pokok bagi penganut Islam yang taat, misalnya rukun Islam dan Rukun Iman sebagai mata pelajaran wajibnya. Membekali murid-muridnya dengan doa-doa sehari-hari, bacaan-bacaan sholat dan dzikir. Sekolah ini benar-benar berbeda dengan sekolah-sekolah yang saya pernah temui sebelumnya.
Sekolah yang terletak didesa Gombang, Kec. Pakel, Kab. Tulungagung ini memiliki kebiasaan yang menurut saya cukup unik sebelum membiarkan siswa-siswanya masuk kedalam kelas untuk mendapatkan materi pembelajaran. Seperti sekolah-sekolah pada umumnya, sebelum masuk kelas siswa selalu dibariskan didepan kelas untuk diberi wejangan konstruktif. Tapi berbeda dengan TK Islam Jati Salam ini, murid-muridnya dibariskan didepan kelas kemudian menghafalkan Asmaul Husna, surat-surat pendek dan doa sehari-hari. Kegiatan seperti ini berlangsung sekitar 30 menit setiap pagi. Barulah setelah itu wejangan konstruktif pun dilontarkan oleh kepala sekolah atau majelis guru yang bertugas.

Siang itu pukul 12.13 WIB, beberapa orang tua mulai berdatangan untuk menjemput anak-anak kesayangannya pulang. Sebagian berhenti dibawah pohon rindang timur kantor TK Islam tempat biasa mereka menunggu. Sebagian yang lain duduk diserambi depan rumah nenek yang memang lebih teduh dibanding halaman sekolah. Saya berbasa basi dengan salah seorang wali murid yang duduk diserambi rumah nenek. “Mari pak, silahkan masuk”, sapa saya dalam bahasa jawa yang lembut. “Tidaklah, terima kasih, saya disini saja lebih sejuk kok”, jawabnya sopan. Kelihatannya anak yang mau dijemputnya ini adalah buah cinta dari malam pengantinnya 1 atau 2 tahun yang lalu dengan wanita yang dicintainya. Bapak itu masih terlihat muda, cukup bergairah dan kelihatannya terdidik.

Tanpa pikir panjang, saya duduk dan mencoba mengajaknya ngobrol. Dari mana pak?, Bantengan, jawabnya. Yang saya tahu Bantengan cukup jauh dari sini, lalu, “jauh ya pak? Kenapa kok nyekolahin anaknya disini pak?”. “Zaman sudah cukup tua mas”, jawabnya. “Anak-anak bakal susah dinasehatin kalau aqidahnya ngak kuat dari sekarang, susah nentuin yang benar sama yang salah. Takut anak-anak terjerumus mas, apalagi saya juga sering bepergian untuk cari kerja, ibunya juga jualan es campur di Bandung (sebuah kota kecamatan di kab. tulungagung). Kami berdua tak punya cukup waktu untuk memberinya pengertian tentang agama. Yah…saya cuma pengen kalau kelak saya mati, anak saya mau mendoakan saya supaya dosa saya diampuni dan masuk syurga”. Ditutupnya pembicaraan dengan tertawa lebar karena anaknya berlari datang kepelukannya. Ayo mas, saya pulang dulu. Iya pak, silahkan. Tanpa sempat mengucap terima kasih, saya pun masuk kekamar dan merenung.
Pertanyaan besar mulai timbul, benarkah demikian? Benarkah dunia sudah cukup tua sampai begitu sulit menentukan mana yang baik dan mana yang buruk? Tapi apa hubungannya?
Ternyata sekolah ini adalah sekolah yang tergolong cukup banyak diminati oleh seluruh lapisan masyarakat. Jumlah siswanya setiap tahun selalu bertambah, begitu juga gedung sekolahnya. Saya ingat waktu itu Bupati sempat berkunjung kesini sekedar melihat-lihat, mungkin. Kepala sekolahnya sering ngobrol dengan saya, “yang sekolah disini anak-anaknya PNS dari berbagai desa is, malah yang rumahnya jauh lebih memilih menyekolahkan anaknya disini dari didesanya, katanya disini ada pendidikan Islamnya”.
Masyrakat kita kini sudah cukup mengerti bagaimana memilih pendidikan untuk anak-anaknya. Mereka tidak hanya memandang IQ sebagai tujuan utama anaknya kesekolah. Tetapi SQ juga mulai disadari pentingnya oleh masyarakat. Kebobrokan moral generasi penerus bahkan sangat sulit dicegah darimana. Mungkin keputusan bapak tadi cukup bijaksana dan beralasan. Agama adalah faktor utama yang mesti mendapatkan perhatian maksimal dari seluruh kalangan masyarakat, termasuk pemerintah. Ketaatan beragama membuat penganutnya enggan bertindak brutal diluar batas norma dan nilai sosial keagamaan dalam menyikapi setiap permasalahan.
Pemahaman semacam ini layaknya dapat kita jadikan pelajaran. Bahwa pengalaman keagamaan adalah faktor yang memiliki pengaruh significan terhadap perwujudan cita-cita pendidikan bangsa yang bermoral dan berbudi luhur. Bahkan harus diterapkan sejak awal menikmati dunia sekolahan. Kebenaran saat ini sudah menjadi perbincangan yang sangat memprihatinkan. Rakyat sulit mempercayai pemerintah, pemerintah pun sulit memegang amanah rakyat. Mana yang mau diikuti, kalau semua sudah berpihak pada nafsu individu dan hanya berpikir tentang kepentingan golongannya sendiri. Nilai universal keagamaan yang mana yang akan diterapkan, sementara kita tetap saling mencaci saudara-saudara se-tanah air kita yang pergi ke tempat ibadah yang berbeda dengan kita.
REFLEKSI
Bangsa kita sudah sangat memprihatinkan, karena kebenaran mulai di nomer sekian kan. Keadilan hanya milik mereka yang berjas hitam, dan penindasan dirasakan hampir oleh setiap keluarga yang tidur hanya beralaskan kertas koran. Rakyat tak lagi punya panutan, yang seharusnya dianut pun kini tampaknya sudah kehilangan pegangan.
Mau marah silahkan, Mau apatis silahkan, Mau dukung juga silahkan,
Tapi kalau negara ini mulai dihancurkan, apa masih ada yang mau bilang “SILAHKAN” ?
Tapi yang penting sekarang, ayo sama-sama dulu kita renungkan.

)* Penulis adalah aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung.

No comments:
Write comments