Friday, April 21, 2017

“KACAMATA” MEDIA

Oleh: Achmad Rois)*


Dunia media di era modern saat ini layaknya sembako yang harus dikonsumsi setiap hari oleh siapapun. Sesuatu yang dikonsumsi tentu saja selalu memiliki faktor-faktor yang secara otomatis menjadi syarat sesuatu itu layak atau tidak untuk dikonsumsi, baik dari sisi ke-akurat-an, keber-imbang-an, relevansi, aktual dan faktual. Beberapa hal ini menjadi penting untuk diperhatikan karena penilaian secara umum dari segi kualitas oleh publik berawal dari beberapa hal tersebut. Jika hal ini tidak diperhatikan secara serius oleh media (baik cetak atau elektronik) maka sebuah media harus siap terkubur bersama derasnya persaingan didunia media dan asumsi publik. Karena dalam hal ini, publik adalah satu-satunya asumsionis yang paling berhak menjadi juri atau tim penilai. Sebagai contoh, penulis mencoba sedikit mengambil pelajaran dari salah satu stasiun televisi di Indonesia. Stasiun televisi ini dinilai publik sebagai stasiun televisi yang relevan terhadap pentingnya kebutuhan informasi aktual dan faktual. Pernyataan ini disampaikan beberapa pengamat media pada acara puncak ulang tahun stasiun televisi tersebut, 20 Februari 2010 yang lalu. Salah satu pengamat komunikasi politik, saat itu juga memberikan nilai plus terhadap Stasiun Televisi tersebut karena dinilai mampu mengcover secara tepat, cepat dan akurat kebutuhan masyarakat akan informasi.

Pada dasarnya, menarik atau tidaknya sebuah berita atau acara ditelevisi adalah tergantung bagaimana sebuah stasiun televisi memberikan kemasan terhadap setiap acara yang dibawakannya. Masyarakat kita cenderung lebih menyukai informasi yang disiarkan secara langsung ditelevisi. Masyarakat educated yang mengerti tentang sistem dalam dunia media menilai “siaran langsung” lebih bersifat independen ketimbang “siaran tunda”, terutama yang erat kaitannya dengan dunia politik. Begitu juga kaum birokrat dan elite politik dalam memandang sebuah media, baik itu media cetak maupun elektronik. Mereka cukup jeli terhadap identitas sebuah media, semisal hal yang paling mendasar adalah tentang siapa pemilik media tersebut, siapa pemilik stasiun televisi ini dan siapa pemilik koran itu. Setelah ini dan itu terjawab, maka pertanyaan lanjutan yang pasti akan timbul dalam benak kaum educated seperti ini adalah, apa latar belakang ideologi si Anu? Berpihak pada partai apa si Anu? Atau siapa donatur tetap dan terbesar di Stasiun Televisi Anu dan kira-kira apa kepentingannya?

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini adalah pertanyaan yang sangat wajar sekali timbul dari kalangan publik. Dunia pendidikan menyebut paradigma semacam ini sebagai paradigma analisis kritis terhadap sebuah media. Paradigma semacam ini sesuai dengan teori yang dijelaskan oleh Stephen W. Littlejohn dalam menganalisis media. Stephen menjelaskan bahwa perkembangan teori komunikasi massa yang didasarkan pada tradisi kritis Eropa cenderung memandang media sebagai alat ideologi kelas dominan. Tradisi ini berusaha mematahkan dominasi model komunikasi Amerika yang notabene-nya adalah penganut aliran Stimulus-Respon. Aliran ini mengacu pada teori Laswellian yang berasumsi bahwa publik adalah konsumer pasif media massa. Atau dengan kata lain, fenomena komunikasi massa adalah bukan sekedar sebuah proses yang linear atau sebatas transmisi pesan terhadap publik, tetapi dalam proses tersebut komunikasi dilihat sebagai produksi dan pertukaran pesan terhadap publik yang bertujuan untuk memproduksi makna tertentu.

Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa media merupakan sebuah instrumen penyebaran ideologi kelas dominan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan kelas dominan adalah para penguasa maupun kaum pemilik modal. Sehingga komunikasi didefinisikan sebagai sebagai sarana pertukaran pesan yang bertujuan untuk memproduksi makna tertentu yang didominasi oleh kepentingan kelompok penguasa dan pemilik modal. Paradigma kritis bukan hanya mengubah pandangan mengenai realitas yang dipandang alamiah oleh kaum pluralis, tetapi juga mampu menyatakan bahwa media adalah kunci utama dari sebuah pertarungan kekuasaan. Karena jika mau, media bisa saja mengatakan banyak hal yang memihak terhadap kepentingan kelas dominan. Seperti tentang nilai-nilai kelompok dominan yang dimapankan, dibuat berpengaruh, dan menentukan apa saja yang diinginkan oleh publik. Dalam proses pembentukan realitas, titik tekannya ada pada dua hal, yaitu bahasa dan penandaan politik.

Bahasa sesungguhnya adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer (semena-mena), digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri. Sehingga tak aneh jika dengan satu katapun mampu mengungkapkan kesombongan dalam diri kita. Kita yang beragama Islam menyebut diri kita dengan bahasa; Muslim, dan menyebut orang yang berlainan agama dengan bahasa; Kafir. Alasan ini cukup bagi Lytorad untuk menyatakan bahwa realitas adalah sekedar permainan bahasa. Bahasa adalah sistem tanda, yaitu media yang menghubungkan individu terhadap subjek diluar dirinya. Seperti kata “Bencana” yang menandakan bahwa “alam sedang marah”, dan “banjir” adalah bahasa “air dan alam yang sedang marah”. Maka sekali lagi harus saya katakan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang berfungsi untuk menamai atau memberi kategori terhadap sesuatu yang diucapkan atau dituliskan dengan pola-pola tertentu. Dengan kata lain, bahasa adalah sistem kategorisasi dimana kosakata tertentu bisa dipilih untuk menghadirkan makna-makna yang ditentukan pula.

Sedangkan Penandaan Politik disini ialah bagaimana praktik sosial dalam membentuk makna, mengontrol dan menentukan makna. Media sangat berperan dalam memberi tanda terhadap sebuah peristiwa atau realitas dalam pandangan tertentu. Media akan menunjukkan bagaimana kekuasaan ideologi berperan, karena ideologi menjadi bidang dimana pertarungan bagi setiap kelompok atau golongan yang ada dalam sebuah masyarakat.

Media disebutkan Alex Sobur sebagai the fourth estate; kekuatan ke-empat dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Hal ini dapat kita amati karena adanya persepsi tentang peran yang bisa saja dimainkan oleh media dalam kaitannya dengan pengembangan kehidupan sosial, politik atau ekonomi kemasyarakatan. Ini berarti, jika media dalam posisinya sebagai suatu institusi informasi, maka media dapat dipandang sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses-proses perubahan sosial budaya dan politik.

Media massa secara sempit dapat kita maknai sebagai sebuah instrument untuk menyampaikan berita. Tapi sebenarnya, selain sebagai instrumen penyampai berita, media juga memberikan nilai-nilai sekaligus penilaian dan gambaran umum tentang banyak hal. Media memiliki kemampuan untuk berperan sebagai sebuah institusi yang dapat dengan mudah membentuk opini publik. Hal ini disebabkan karena media juga dapat berkembang menjadi sebuah kelompok penekan atas suatu gagasan, bahkan suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan untuk diletakkan dalam konteks kehidupan yang lebih empiris. Karena terkadang, kelompok dominan dengan kepentingan sepihak menggunakan media massa untuk melakukan peng-kontruksi-an realitas yang mengupayakan legitimasi terhadap suatu wacana.

Dalam hubungannya dengan kekuasaan, media menempati posisi yang cukup strategis. Asumsi ini timbul karena adanya kemampuan media sebagai sarana legitimasi wacana dari kaum dominan. Asumsi ini benar, tapi terlihat sepihak, mereka seakan-akan mengatakan bahwa semua media tunduk sebagai instrumen kekuasaan negara yang bekerja secara ideologis untuk membangun kepatuhan publik terhadap kelompok yang berkuasa. Fakta hari ini menunjukkan bahwa begitu banyak stasiun televisi dan redaksi surat kabar yang tidak mengabaikan resistensi ideologis dari kelas non-dominan dalam ruang media. Kenyataan ini dibuktikan dengan pemberian ruang terhadap publik secara umum, baik itu melalui hubungan interaktif atau kiriman berita dalam bentuk video. Dalam surat kabar pun, ruang seperti ini tidak kalah efektifnya jika dibandingkan dengan stasiun televisi. Ini dapat dibuktikan dengan seringnya kita jumpai rubrik-rubrik khusus dalam surat kabar yang memuat keluhan-keluhan publik atau kritik dan saran publik terhadap pemerintah. Ruang yang paling efektif bagi publik dalam surat kabar adalah rubrik yang menampung secara bebas gagasan-gagasan khalayak ramai. Ruang seperti ini biasa dinamai dengan rubrik Opini. Opini mempunyai pengaruh yang significan dan berperan sebagai penyeimbang terhadap opini publik antara wacana kaum dominan dan non-dominan.

Media dengan model seperti ini terbukti lebih banyak diminati publik. Publik sedang butuh banyak ruang ekspresi, maka media apa dan milik siapapun yang siap menyediakan ruang tersebut tidak perlu khawatir kehilangan eksistensi. Media adalah ruang dimana berbagai ideologi direpresentasikan. Di satu sisi, media bisa jadi sarana legitimasi, penyebaran ideologi penguasa dan alat kontrol terhadap wacana publik. Tapi disisi lain perlu dipahami bahwa media juga memberikan ruang atau menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media dapat membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, tapi media juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum marginal untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.

Pada akhirnya, harapan besar publik terhadap media adalah komitmen media untuk tetap menjaga dan mengedepankan sisi kualitas media, bukan menjaga dan mempertahankan ketundukan terhadap kaum dominan atau penguasa yang mengesampingkan hak-hak dan kebebasan publik. Jika komitmen ini dipegang, maka kemungkinan terjadinya praktik diskursif oleh media terhadap kelompok marginal yang ditekan oleh kelompok dominan atau penguasa akan semakin kecil.

)* Penulis adalah aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung.

No comments:
Write comments