Friday, April 21, 2017

PELAJARAN DIBALIK TAHUN BARU IMLEK

Oleh: Achmad Rois)*
Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, setiap tahun selalu memiliki hari-hari peringatan atau hari-hari besar penting yang diperingati setiap tahun. Begitu pula yang terjadi pada tahun 2010, beberapa hari peringatan atau hari besar penting telah berlangsung. Dan yang pasti akan ada hari-hari peringatan atau hari-hari besar lain yang juga akan berlangsung dan diperingati. Setiap hari besar tentu memiliki karakteristik tersendiri, baik dari sisi kenapa hari itu harus diperingati ataupun dari sisi siapa yang memperingati hari tersebut.
Hari peringatan atau hari besar secara umum digolongkan oleh penulis dalam tiga kategori. Yang pertama, Hari peringatan yang hanya diperingati secara berkelompok atau golongan, semisal Tahun Baru Hijriah, Hari Raya Idul Fitri dan Adha, Tahun Baru Imlek, Hari Raya Waisak, Hari Raya Natal, Hari Raya Nyepi dan Tahun Baru Saka. Yang kedua, Hari peringatan yang hanya diperingati secara Nasional, contohnya Hari Pers Nasiolnal (9 Februari), Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei), Hari Kemerdekaan RI (17 Agustus), Hari Sumpah Pemuda (28 Oktober), Hari Pahlawan (10 November), dan lain-lain. Yang ketiga, Hari peringatan yang diperingati secara Internasional, seperti Hari Perdamaian Dunia dan Tahun Baru Masehi (1 Januari), Hari Wanita Internasional (8 Maret), Hari Buruh Internasional (1 Mei), Hari Palang Merah Internasional (8 Mei), Hari Lingkungan Hidup Sedunia (5 Juni), Hari AIDS se-Dunia (1 Desember) dan Hari Anti Korupsi se-Dunia (9 Desember).
Beberapa hari yang lalu, seluruh dunia; termasuk Indonesia secara umum baru saja memperingati Tahun Baru Imlek. Tapi seperti yang telah saya sebutkan diatas, bahwa selalu ada sisi kenapa hari itu harus diperingati dan siapa yang memperingati. Di Indonesia, Tahun Baru Imlek 2561 diperingati oleh masyarakat Tionghoa yang beragama Konghucu. Hari tersebut diperingati sebagai hari awal pembuka tahun. Bagi kaum Tionghoa, setiap tahun memiliki simbol tersendiri yang diidentikkan dengan shio. Shio tersebut diambil dari nama-nama binatang yang mereka yakini meliki kekuatan supranatural terhadap keberuntungan mereka dimasa depan. Wallahua’lam, yang jelas itulah budaya yang mereka yakini dan mereka junjung tinggi kesucian dan kesakralannya sampai sekarang.
Sebagai mana kita ketahui bersama, masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah kaum yang tergolong minoritas, sedangkan kaum mayoritasnya adalah umat Islam. Kaum mayoritas biasanya memang sangat peka terhadap sekecil apapun aktivitas kaum minoritas. Hal seperti ini cukup bisa ditolerir dalam kehidupan sosial keagamaan pada sebuah Negara yang memiliki masyarakat penganut agama beragam seperti Indonesia. Tapi perlu diperhatikan bahwa Indonesia bukanlah sebuah Negara milik kaum mayoritas belaka. Karena kaum minoritas juga memiliki hak-hak yang sama-sama harus dihargai seperti kaum minoritas menghargai hak-hak kaum mayoritas. Dan dalam hal ini, titik tekan personal research dan reportase penulis adalah terhadap hak kebebasan memeluk agama, beribadah dan memperingati hari-hari besar agamanya.
Himbauan tentang rekonsiliasi antar umat beragama sudah begitu sering kita dengar dari para pe-tinggi pemerintahan dan para tokoh keagamaan. Himbauan ini sudah diimplementasikan begitu baik di kota Jombang, Jawa Timur. Peringatan Tahun Baru Imlek berlangsung sangat hikmat disana, padahal sebagai mana kita ketahui bersama bahwa Jombang lebih sering disebut sebagai Kota Santri. Hal ini menurut saya tidak tidak terlepas dari pengaruh dan pemahaman masyarakat tentang pluralisme yang berhasil ditanamkan oleh Mantan Presiden RI ke-4 (Almh). Di Jombang tidak terlihat lagi apa yang disebut mayoritas dan minoritas, semuanya berbaur menjadi satu dalam rasa saling menghargai dan menghormati. Pemandangan seperti ini sekiranya dapat menjadi contoh bagi seluruh masyarakat di Tanah Air.
Imlek memang tidak seharusnya ditanggapi secara negative oleh kaum mayoritas; muslim. Kita harus mulai mencoba memandang pada sisi yang lebih positif, bahwa peringatan ini tak akan sama sekali membuat aqidah kaum mayoritas;Islam terusik. Terlalu banyak waktu dan tenaga yang akan terbuang, jika harus bertikai ditengah cita-cita bangsa yang damai. Hal demikian biarlah menjadi budaya yang kurang baik, yang mulai sekarang harus diubah. Pemahaman dan cara pandang yang sempit cenderung menimbulkan aksi sepihak. Hal semacam ini begitu mudah memberi peluang kepada kehancuran dan pertikaian untuk masuk dalam bentuk doktrin-doktrin dan isu keagamaan. Kemudian lambat laun, kefanatikan yang berlebihan membuat kehancuran yang tak disangkakan.
Kita hanyalah makhluk Tuhan yang tidak bisa hidup tanpa pengaruh pergaulan sosial. Oleh karena itu dari sisi sosiologis, agama pada hakikatnya adalah instrumen bagaimana kita dapat berdialog dengan Tuhan, menangkap pesan-pesan Tuhan dan berprilaku seperti pemahaman kita tentang Tuhan, Nabi dan ajaran esensial tentang agama. Sebenarnya hakikat agama bukan terletak pada superioritas atau tidak. Sebab belajar ilmu, termasuk ilmu agama yang paling tinggi dan substansial adalah pengetahuan tentang Tuhan. Agar dengan belajar agama seseorang akan memiliki kemampuan mukhasyafah untuk mengenal Tuhan. Dan untuk mencapai semuanya, kita harus mengawalinya dari dunia pendidikan.
Karena itu pendidikan agama di Indonesia harus bisa diupayakan bersifat pluralis. Setelah itu semua umat beragama harus mampu menyeimbangkan pemahaman agamanya antara dimensi risalah dengan dimensi rahmat. Pendidikan agama yang prularis secara substansial sangat berkaitan dengan bagaimana manusia memandang agama itu sendiri. Karena secara garis besar agama memiliki dua dimensi, yaitu dimensi risalah dan dimensi rahmat. Dimensi risalah mengharuskan umat beagama menyebarluaskan ajaran agamanya seluas mungkin. Sedangkan dimensi rahmat menuntut manusia agar dengan agamanya itu bisa menunjukkan sifat-sifat luhur seperti halnya sifat-sifat yang dimiliki Tuhan kepada sesama manusia. Dunia pendidikan juga perlu menyeimbangkan antara materi-materi normatif tekstual dengan dimensi pengalaman keberagamaan. Sebab dengan memberikan porsi pengalaman keagamaan yang cukup, peserta didik akan mampu menangkap makna keberagamaan yang sejati. Dimana agama bukanlah tujuan akhir, melainkan sebagai instrumen untuk menemukan Tuhan dan berprilaku seperti pemahamannya tentang Tuhan, Nabi dan ajaran esensial tentang agama. Kekayaan pengalaman keagamaan inilah yang mendesak untuk dikonstruksi menjadi salah satu materi dan metode pendidikan agama di Indonesia.
)* Penulis adalah aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung.

No comments:
Write comments