Monday, September 4, 2017

Buat Apa Perempuan ?


Oleh: Achmad Rois)*
Perkembangan dunia ilmu setiap saat selalu menimbulkan pengaruh signifikan terhadap apapun yang ada dan bersentuhan langsung terhadap aktifitas sosial. Begitu juga dengan sebuah ilmu analisis yang membahas begitu kritis azas-azas kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Analisis Gender, sebutannya akrab kita dengar. Analisis ini sebenarnya adalah wujud sebuah guagatan terhadap ketidakadilan. Sejarah perjalanan manusia dalam pertarungannya melawan ketidakadilan terbukti telah melahirkan analisis dan teori-teori sosial. Analisis dan teori-teori ini sangat berpengaruh terhadap pembentukan sebuah sistem kehidupan sosial. Misalnya, teori Kelas yang dirintis oleh Marx, teori ini membantu kita dalam menganalisis bentuk ketidakadilan ekonomi dan kaitannya dengan sistem sosial yang lebih luas. Teori Ideologi dan Kultural, Antonio Gramsci dan Louis Althusser menggugat keduanya karena dianggap sebagai alat dan bagian dari kaum dominan yang diuntungkan untuk melanggengkan ketidakadilan.
Dari berbagai bentuk gugatan, salah satu yang lahir adalah teori Gender. Teori yang didalamnya terdapat suatu analisis yang kembali mempertanyakan ketidakadilan sosial dari sisi hubungan antar jenis kelamin. Jika sebelumnya kritik-kritik terhadap ideologi dominan Kapitalis tidak menyertakan Gender sebagai pelengkap kritiknya, maka kelahiran epistemologi feminis adalah penyempurnaan kritik madzhab Frankfurt. Tanpa analisis Gender, kritik terhadap ketidakadilan kurang mewakili semangat pluralisme yang kita impikan. Tapi harus berani kita katakan bahwa melahirkan itu sulit. Pengungkapan masalah kaum perempuan menggunakan analisis Gender cendrung mendapat resistensi dari berbagai pihak, terutama kaum laki-laki dan bahkan perempuan itu sendiri. Analisis gender sering tidak mendapat tempat yang layak karena dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang sangat mapan bernama Kapitalis. Tapi memang iulah sebenarnya tujuan utama analisis ini. Bahkan penolakan keras itu timbul karena analisis ini dianggap menggoncang struktur dan status quo ketidakadilan tertua dalam masyarakat.
Pada kesempatan kali ini saya tidak akan membahas secara mendetail tentang apa yang disebut Gender. Apa penyebab epistemologi ini kurang diterima dikalangan masyarakat atau secara rinci menderkripsikan gerakan feminisme dan emansipasi perempuan. Membahas tokoh-tokoh penggerak, atau berbicara tentang Gender dalam analisanya terhadap dominasi Kapitalis. Semua pembahasan itu dapat begitu mudah anda temui dibuku-buku yang menyajikan Gender sebagai menu utama makan malam anda. Toh dalam tulisan ini, saya juga bukan seseorang yang memiliki kapasitas mapan dalam membahas masalah yang terlihat menentang kodrat Tuhan ini, Maaf. Tapi, tulisan ini semata-mata untuk menghargai dan memperingati hari perempuan Internasional, 08 Maret. Paling tidak hari ini saya harus menghargai perempuan. Kalau besok, tentu harus ada lebih banyak alasan kongkret dan mendasar kenapa saya harus menghargai anda; perempuan. Apalagi yang secara langsung berkaitan intim. Tidak-tidak, saya hanya sedang bergurau. Perempuan bagaimanapun harus dihargai, bahkan “ternodanya”.
Berbicara masalah perempuan tentu sangat menyenangkan, apalagi bagi kaum Adam; termasuk saya. Saat ini kodrat perempuan dan konstruk sosial terhadap perempuan terlihat sangat sulit dibedakan, tapi sebenarnya tidak. Punya paras cantik, punya dua payudara besar, berpinggul lebar, memiliki vagina, rahim, melahirkan dan menyusui adalah Kodrat. Tapi bagaimana dengan anggapan bahwa perempuan itu emosional, tidak rasional, lemah lembut dan keibuan; Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa? Ciri sifat-sifat seperti ini sebenarnya adalah sifat-sifat yang bisa dipertukarkan. Artinya, laki-laki juga adakalanya lemah lembut dan keibuan, buktinya banyak juga singgle parent laki-laki yang berhasil mendidik anak-anaknya dengan baik. Begitu pula sebaliknya, adakalanya perempuan rasional dan kuat. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu berlangsung dalam kurun waktu yang panjang dan dipengaruhi oleh berbagai sebab. Dari tempat satu ketempat yang lain dan dari zaman satu kezaman yang lain.
Sejarah demikian berpengaruh dalam menetapkan persepsi sosial. Terbentuknya persepsi-persepsi sosial tersebut dikarenakan banyaknya usaha sosial pula. Disosialisasikan, diperkuat dan dikonstruksi secara sosial dan kultural, baik melalui budaya dan peraturan negara atau pun ajaran keagamaan. Melalui proses yang panjang inilah akhirnya kepentingan penindasan dapat direalisasikan. Persepsi-persepsi ini diperkuat dan dibenarkan seakan-akan ini adalah bahasa yang ditetapkan Tuhan; kodrat. Persepsi ini dikuatkan lagi secara evolusional dalam konstruk persepsi sosial. Laki-laki yang direpresentasikan sebagi tubuh yang kuat, jantan dan rasional terpaksa mengikuti dan menjalani keidupan seakan larut dalam rasa terpaksa. Dipaksa bertindak tegar dan berpikir rasional, meskipun kadang sempat menangis menyesali takdir rekayasa sosial. Tapi meskipun demikian, sebagian besar psikolog juga menyatakan argumen yang sama bahwa laki-laki memang cenderung lebih rasional ketimbang perempuan, meskipun tidak sedikit laki-laki yang emosional dan punya pola pikir sependek rambut yang dibudayakan dan dikonstruk dalam pergaulan sosial.
“Perempuan adalah sosok berambut panjang, namun berakal sangat pendek”. Argumen ini sering saya utarakan ketika bedebat dengan dosen psikologi umum saya waktu itu, yang kebetulan juga perempuan. Pasti saja beliau tersinggung dan memberikan nilai C pada akhir mata kuliah. Meskipun sebenarnya saya sering mengutarakan argumen yang lebih rasional dan tak se-emosional beliau saat menjelaskan pelajaran seakan profesinya bukan dosen, tapi aktivis gerakan emansipasi perempuan. Tapi, argumen saya itu juga tidak semuanya benar diterapkan kepada semua perempuan. Wanita juga harus berjuang jika hak-haknya dinodai dan dikekang oleh sistem ketidakadilan yang seakan dibenarkan oleh konstruk sosial disebagian tempat dan dibahasakan seakan persespi itu adalah bahasa Tuhan.
Persepsi bahwa perempuan harus lemah lembut membuat mereka harus mulai berjuang sejak lahir untuk emansipasinya. Bagaimana tidak, proses sosialisasi tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap emosi, visi dan ideologi perempuan sejak mereka lahir, tetapi juga sangat berpengaruh terhadap kondisi fisik dan biologis mereka dikemudian hari. Proses sosialisasi yang mapan ini menyebabkan kita kesulitan untuk mengidentifikasi apakah sifat-sitat seperti laki-laki yang rasional dan perempuan yang emosional itu dikonstruksi oleh masyarakat atau kodrat biologis yang ditetapkan Tuhan. Namun, sepanjang sifat-sifat itu bisa dipertukarkan, maka sifat itu adalah hasil konstruksi masyarakat belaka; Sama sekali bukan kodrat Tuhan. Maaf saya memaksa!
Pemahaman semacam ini sangat dirasakan tidak adil bagi perempuan. Di Indonesia, paham bahwa wanita selalu identik dengan dapur, sumur dan kasur sudah menjadi paham yang mendarah daging dihampir seluruh strata sosial. Wanita dijudge sebagai anggota keluarga nomor dua yang hanya berperan dalam urusan domestik. Mencuci piring dan baju pagi hari, memasak, menyiapkan sarapan dan membersihkan rumah sampai siang hari. Siangnya menjemput anak pulang dari sekolah, membantu mengerjakan PR dan terus dirumah sampai sore menanti suami pulang. Malamnya mengajak anak-anak mengulang pelajaran dan setelah selesai kembali diberi pelajaran oleh suaminya tentang kepuasan. Begitulah seterusnya.
Meski demikian, kita sudah harus berlapang dada. Emansipasi perempuan sudah mulai didengar. Seluruh aspek kehidupan hampir sudah terisi oleh perempuan, termasuk prostitusi fana. Pemerintah begitu lapang menerima perempuan duduk di kursi DPR, Presiden dan banyak institusi pemerintahan lain meskipun kuantitasnya masih dinomer sekiankan.
Akhirnya, secara pribadi harus saya katakan bahwa perempuan Indonesia memang harus lebih lapang dada dan menerima konstruk sosial seperti ini, tapi menerima dengan lapang bukan berarti berhenti berjuang. Jika kalian merasa hak-hak kalian dirampas dan ditindas, tolak dan lakukan pembuktian. Agar mata penindas tak lagi kabur dalam memandang. Teruslah berteriak sampai suara kalian habis, meskipun tak didengar. Buktikan bahwa kalian bukan hanya mesin seksual yang handal dan tak terkalahkan, tapi kalian adalah alam yang bukan hanya bisa emosional, tapi juga sangat rasional. Kalian bukan hanya lemah lembut dan mudah sekali layu, tapi kalian sekaligus tegas seperti saat membuat laki-laki bunuh diri saat hubungan cinta kau putuskan. Meskipun sebenarnya laki-laki hanya bersedih karena harus kesulitan mencari lawan mesum yang baru. Ibu-ibu bukan hanya pandai memasak makanan sampai matang, tapi matangnya pendidikan anak dirumah juga bagian yang tak bisa dilakukan oleh seorang bapak dengan sempurna. Tidak ada pria atau wanita yang mulia dan cemerlang dalam sejarah kemanusiaan yang tidak dilahirkan dari rahim seorang Ibu. Dan ibu tentu saja perempuan. Lindungi kebebasan kalian, tapi jangan gunakan berlebihan. Buat diri kalian sangat dihargai, karena kalian sebenarnya berharga lebih tinggi dari permata. Tidak seperti diwarung, cuma 25 atau 250 ribu rupiah. )**
Bravo Perempuan. Selamat Hari Perempuan International. Semoga aspirasi kalian lambat laun mulai didengarkan.
)* Penulis adalah aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung.
)** Tulisan ini diterbitkan sebagai bahan refleksi sederhana bagi kita semua yang hidup dizaman yang mulai dipenuhi ketidak adilan dalam berbagai aspek kehidupan. Sekaligus apresiasi terhadap adanya moment Hari Perempuan Internasional, 08 Maret.

No comments:
Write comments