SBY; Waktu Itu


Oleh: Achmad rois)*
Menangnya Partai Demokrat dibawah pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono pada pesta demokrasi 2009 yang lalu adalah sebuah prestasi yang pantas dibanggakan. Sebagai partai yang relative memiliki umur begitu muda dibanding beberapa partai besar lainnya yang menjadi pesaing beratnya pada pemilu tahun lalu yaitu Partai Golkar dan PDI Perjuangan. Kedua partai dibawah pimpinan Yusuf Kalla dan Megawati itu layaknya pantas mengacungkan kedua jempolnya kepada kemenangan besar yang diraih oleh Partai asuhan pria gagah yang acap kali akrab disapa SBY ini. Kemenangan yang diraih dari kerja keras setiap tim ini agaknya menjadi prestasi yang cukup melegakan bagi para tim sukses dan kader-kader utama partai Demokrat. Keberhasilan menduduki pemerintahan mutlak adalah dambaan bagi setiap mereka yang menjadi pendukung setia SBY. Perjuangan mereka memang bukan main-main. Keseriusan dan kerja keras mereka pantas mendapatkan hasil yang cemerlang bagi masa depan partai dan kesejahteaan pendukung-pendukungnya.
Setelah masuk kedalam ranah Pemerintahan Negara, kepentingan golongan haruslah dijadikan sebagai kepentingan nomor sekian dari banyak kepentingan-kepentingan lain. Kenyataan ini harus berani dihadapi dengan sikap lapang dada dan tanggung jawab penuh sebagai kader bangsa yang memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme tinggi. Kepentingan Negara haruslah menjadi kepentingan utama dari kepentingan golongan, apalagi kepentingan individu. Menurut penulis, ini adalah konsep Negara yang harus dijunjung tinggi bagi setiap warga Negara dan kaum birokrasi.
Berawal dari itu semua, Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II pun terbentuk. Seleksi pembantu presiden pun berlangsung lancar, meskipun sedikit perselisihan harus terjadi. Tapi itu adalah hal biasa bagi para pemain bola dilapangan politik, karena tujuannya sama, untuk sebuah gol yang diraih dengan kerja keras. Program jangka panjang pun disusun dan direncanakan sedemikian rapi untuk menjalankan Negara dibawah kepeminpinan yang arif dan sesuai dengan amanah UUD 45. Untuk gebrakan awal, program “Bersih-bersih”pun mulai dijalankan. SBY ingin seluruh pemerintahannya dijalankan “Bersih”, tanpa korupsi. Tim Sembilan dibentuk dan batas jatuh tempo ditetapkan agar program berjalan sesuai keinginan. Tempo 100 hari bukanlah hal yang pantas untuk dikatakan sepele. Kita bisa menilai kinerjanya nanti setelah semuanya terurai di alam nyata, disaksikan ditelevisi ataupun dibaca disurat kabar.
Semua tim mulai bekerja keras melaksanakan tugas-tugas yang diembannya. Perselisihan demi perselisihan besar ditingkatan birokrasi Negara terjadi. Kasus Antasari yang sampai hari ini belum tuntas dikalangan penegak-penegak hukum tingkat tinggi pun menjadi santapan media masa, cetak dan elektronik. Hal ini menjadi konsumsi yang harus secara telak dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat dari kasta atau golongan manapun di Indonesia.
Kasus kriminalisasi KPK pun tak kalah hebohnya dijadikan perbincangan di setiap pojok kampung ataupun warung-warung kopi dan nasi pecel. Beberapa kasus lain yang membuat Polri jatuh bangun untuk meningkatkan kembali citra positifnya dimata masyarakat juga terjadi tidak kalah hebohnya. Belum lagi kasus penganiayaan dan penembakan yang menyebabkan nyawa warga sipil tak bersalah terpaksa harus melayang dan mengundang tangis puluhan orang. Kinerja Polri saat ini menurut penulis perlu dipertanyakan. Benarkah seperti yang tertera di pos-pos peristirahatan mereka dengan slogan “Melayani Masyarakat” itu sudah benar-benar dijalankan secara maksimal. Atau malah menjadi momok yang mengerikan dengan seragam keangkuhan yang setiap hari dicitrakan. Ini adalah PR kita semua sebagai warga yang peduli terhadap Negara.
Waktunya jatuh tempo akan segera tiba. 28 Januari 2010 mendatang adalah hari akhir atau hari habisnya program kerja 100 hari Kabinet Indonesia Jilid II ini. Tapi skandal terbesar Negara terkait Bank Century pun tak kunjung selesai. Pantas kiranya jika disebut kasus besar karena pelakunya adalah orang-orang besar. Bagaimana tidak, Boediono dan Sri Muliani adalah orang sangat penting dalam menentukan langkah Negara selanjutnya. Keduanya adalah Wakil presiden sebagai orang Nomor-2 dinegara ini dan menteri keuangan yang tahu persis sirkulasi uang di Negara agraris ini.
Bahkan yang sedang marak beberapa hari ini adalah tentang penerbitan buku yang mengulas kucuran dana sekian triliun Bank Century dan melibatkan didalamnya nama SBY. Terlepas itu terbukti benar atau tidak ini, adalah tentang pencitraan seorang presiden dimata ratusan juta rakyat Indonesia yang pada pemilihan presiden beberapa bulan lalu mampu mengantongi kemenangan mutlak.
Beberapa hal diatas pantas kiranya membuat para mahasiswa yang menyebut dirinya Aliansi 30 kampus memberikan ultimatum keras terhadap pemerintahan SBY. Kata “Mundur secara hormat atau Turun secara paksa” adalah sesuatu yang bukan main-main. SBY harus benar-benar mampu mempertanggung jawabkan kepemimpinannya dihadapan seluruh rakyat Indonesia. Beberapa poin penting terkait hal diatas adalah tentang kasus-kasus seperti keadilan dan mafia hukum, pemberantasan korupsi, kriminalisasi KPK dan Skandal besar Bank Century. Ini dulu paling tidak harus segera diselesaikan, jika tidak ingin dianggap sebagai pemimpin yang gagal memimpin bangsa.
Akankah masyarakat tetap percaya terhadap ke-gagah-an seorang Kepala Negara yang dikemas begitu rapi dalam tutur dan sapa? Atau dari profesionalisme kinerja? Harapan penulis, semoga hal ini bisa dijadikan bahan refleksi bersama bagi masa depan bangsa kita tentang bagaimana memilih seorang pemimpin yang bertanggung jawab, jujur, amanah dan tidak suka ingkar janji.
)* Penulis adalah Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung.