Thursday, April 20, 2017

SUARA KEBOHONGAN


Oleh: Achmad Rois)*

Kadang kala kegelisahan hidup menjadikan semua yang kita jalani menjadi beban tak terlaksanakan. Seperti ketika beberapa gelintir orang sedang duduk dalam sebuah rapat atau perdiskusian penting yang membahas masalah-masalah penting pula. Beberapa dari mereka duduk tenang dengan pandangan-pandangan dan pikiran yang kosong tak mengerti, tetapi yang mereka tampilkan adalah ekspresi-ekspresi yang seakan-akan mereka sedang memikirkan ide-ide penting yang sangat berpengaruh dan mampu mempengaruhi peserta yang lain. Topeng seperti ini adalah sesuatu yang tidak jarang kita jumpai pada setiap perkumpulan. Dan kadang-kadang secara jujur harus berani kita katakan bahwa mereka adalah orang-orang yang sama setiap kali kita jumpai demikian.

Ternyata ada bahasa-bahasa yang bisa dimengerti tanpa harus diucapkan penuturnya. Seseorang tak perlu mengatakan mengantuk dalam keadaan mata merah menahan dan menguap dalam tempo yang hampir seiring dengan kedipan. Tak perlu mengatakan capek jika tiba diperaduan dengan keadaan terlentang pasrah meluruskan tulang. Tak perlu mengatakan “saya mengerti apa yang anda maksud” jika apa yang kita katakan sesuai alur dan aturan pembicaraan. Ada aturan-aturan tertentu untuk sebuah fungsi dan hubungan komunikasi yang secara otomatis sebenarnya tak perlu dipelajari dibangku sekolah atau perkuliahan. Jadi sebenarnya ada aturan-aturan tak ditentukan namun telah ditulis dan ditetapkan begitu saja oleh alam.

Suatu ketika kita mungkin akan menemui teman kita sedang menanti bus di perempatan. Tak harus kita tanyakan apa yang sedang dia lakukan disana, toh setiap hari kita menemuinya dalam keadaan dan waktu hampir bersamaan disana. Di jam-jam akhir perkuliahan atau waktu istirahat menjelang pulang. Penunggu angkutan tak perlu berteriak-teriak untuk menghentikan laju bus yang melaju dengan kecepatan tinggi, yang bahkan peyebrang jalan pun akan mati. Tak perlu lagi ada ayunan tangan karena mereka memang akan berhenti menjadikan kita sebagai penumpang. Bahkan saat kita sama sekali tak butuh bantuan.

Ada bahasa dengan jawaban tak semestinya sering kita ucapkan. Seseorang tiba-tiba mengetuk pintu rumah kita dengan nafas terengah-engah kelelahan. Tanpa diminta, kita akan memberinya segelas air putih untuk diminum. Ini bukan tentang kebiasaan, tapi tentang ke-ilmu-an. Sepele saja misalnya, dalam ilmu kesehatan, seseorang dengan nafas terengah-engah adalah mereka yang butuh bantuan. Entah itu nafas buatan atau memberinya segelas air putih untuk ditelan. Ini tentang ke-ilmuan, diketahui bahwa air putih dan tarikan nafas teratur adalah proses penenangan. Tanpa sadar kita sebenarnya telah melakukan tindakan sederhana tersebut dengan begitu banyak pertimbangan. Namun bukan berarti dengan banyak pertimbangan kita mejadi lambat untuk melakukan tindakan.
Sebagian orang kadang merasa resah dengan suara tikus pada tumpukan sampah disamping atau dibelakang rumah. Suara gorden atau gantungan foto kenangan yang pecah jatuh kelantai karena angin bertiup tak wajar. Atau teriakan suara tetangga yang tadi pagi baru selesai melakukan Ijab Qabul pernikahan. Dan jendela kamarnya bersebrangan, dengan jarak tak terlalu jauh dengan jendela rumah kita. Sulit membedakan itu suara maling atau penjarah. Itu gempa bumi atau angin topan. Itu kenikmatan atau penyiksaan. Tak perlu terlalu jauh diungkapkan. Ini kenyataan.

Suatu hari kita akan berpikir bahwa kita akan semakin tua. Tanda-tanda ketuaan seperti memutihnya warna rambut dan kening yang berkerut legam sudah tak lagi bisa disembunyikan. Suatu hari kita hanya mampu berbaring diranjang dengan bau keringat dan liur yang hampir sama sekali sulit untuk dibedakan. Untuk pergi kekamar mandi pun tak akan terlaksana jika tanpa bantuan, entah itu kursi roda atau beberapa teman. Dengan terpaksa saya katakan bahwa ini adalah tentang kebaikan hubungan sosial.

Suatu hari tak ada lagi yang mengatakan kata-kata indah seperti pujian, bahkan istri atau suami kita. Padahal pada tahun pertama pernikahan kita hampir mendengarnya setiap kali memulai persetubuhan. Lebih sering bersetubuh pada tahun pertama, sedikit berkurang pada tahun kedua dan pada tahun ketiga kita hanya akan memikirkan tentang persetubuhan dalam dua kali seminggu dan melakukannya satu kali dalam dua minggu. Pasangan hidup tak lebih jauh dari hubungan pertemanan. Pada tahun itu istri kita hamil dan menjadi sering punya anak. Tak kan ada penampilan seksi untuk disajikan. Tak ada lagi perbincangan menarik. Bahkan untuk sebuah iklan teh, mereka harus menampilkan dua sosok tubuh tua tanpa perbincangan berjam-jam sehari.

Ini tak harus membuat kita ketakutan, karena ini adalah kenyataan pasti. Mungkin nanti tetapi pasti suasana seperti ini harus berani kita jalani dengan keberanian. Tak akan lagi ada ibu atau mertua dalam suasana demikian. Yang ada hanya tangisan anak-anak yang tak bisa dihentikan untuk beberapa lembar uang jajan. Tak perlu khawatir jika tetangga kita yang begitu baik, pada awalnya, menjadi lebih sering tak peduli atau lebih jarang berkunjung. Padahal suara detak jam malam tak bisa dilepaskan dari pendengaran. Hal-hal yang tak patut disepelekan ternyata justru sesuatu yang penting terabaikan.

Tak pernahkah kita lihat disuatu tempat bersama ibu atau bapak kita dipasar. Tak ada penjual emas dengan teriakan-teriakan kasar, sepert penjual roti atau celana dalam. Mereka hanya duduk tapi tak diam, karena yang mereka jajakan adalah kewibawaan. Kadang menjadi simbol keagungan dan kemegahan. Ini bukan sesuatu yang mengherankan, karena tak sedikit ibu-ibu yang kecopetan, bahkan dalam angkutan. Tak ada kemewahan yang pantas untuk dipertontonkan. Hanya mala petaka yang pantas disajikan. Bahkan tanpa sajian, semua bisa jadi santapan.

Hari, bahasa, symbol dan kejadian. Tak ada yang saling berkait. Tapi semuanya bertautan. Bahasa keindahan dari tubuh tak berbalut. Kenistaan dari rambut yang terpaut rentetan kejadian. Leher berduri tanpa hati kerendahan. Betis yang tak mampu menepis tragadi pencabulan. Perut tentang bahasa yang memaksakan. Kehendak yang harus berakhir di Meja Pengadilan. Bibir pengundang pertentangan. Bahkan kelamin yang harus dipaksa mencapai klimaks pun tak lepas dari kajian.

Semua mengatakan artinya dengan bahasa-bahasa yang tak pernah diucapkan, bahkan untuk memulai persetubuhan hanya cukup dengan satu kali kecupan. Pencurian dengan siulan tanda semua keadaan aman. Tapi dengan pemerintah mereka terus bermain dalam kebijakan. Undang-undang yang amanahnya sengaja dilupakan. Aparat keamanan yang hak asasinya dibunuh dengan perintah. Karena mereka memang hanya dibayar unuk menaati perintah. Bukan untuk berfikir atau bertindak lebih bijak.

Buat saya, tak ada lagi bahasa tentang ketulusan yang dikumandangkan. Karena diakui atau tidak, tak ada orang seperti kita yang mungkin mampu melakukan sesuatu untuk orang lain. Kita hanya lahir dari bahasa yang alasanya syiar dan sunnah keagamaan. Tapi hakikatnya kita adalah korban kenikmatan. Jadi tak heran jika harus begitu banyak bayi dibuang dalam koran ataupun kaca tontonan. Ini adalah Fenomena yang tak mungkin dilupakan tapi sengaja dilupa-lupakan.

)*  Penulis adalah aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung.

No comments:
Write comments