Wednesday, September 6, 2017

ISLAM DALAM IDEALITAS


Oleh: Achmad Rois)*
Islam merupakan agama yang paripurna dan satu-satunya agama yang mendapatkan legitimasi dari Allah SWT. Selain itu, Islam juga berperan sebagai agama pembawa rahmat bagi seluruh alam, yang termasuk di dalamnya manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Sebagai makhluk Tuhan yang progressif, dinamis, dan inovatif, manusia membutuhkan sarana untuk mengembangkan diri secara dinamis dan berkelanjutan. Salah satu media yang paling tepat dan mungkin untuk mengembangkan potensi tersebut adalah melalui pendidikan. Pendidikan tidak akan selesai dalam ukuran durative ataupun temporer. Namun untuk sampai pada tingkat yang diharapkan sebagai cita-cita pendidikan Islam, manusia harus mengenal dan memahami beberapa prinsip dasar Islam yang pada akhirnya kembali kepada Alqur’an dan Sunnah.
Alqur’an merupakan firman Allah yang dijadikan pedoman hidup (way of life) kaum muslimin. Di dalamnya terkandung prinsip-prinsip dasar yang menyangkut segala aspek kehidupan manusia. Prinsip-prinsip tersebut selanjutnya dapat dikembangkan sesuai dengan nalar masing-masing bangsa sampai kapanpun, karena ia hadir secara fungsional untuk memecahkan problem kemanusiaan. Lantas kenapa saat ini masih ada saja persoalan manusia yang seakan tak kunjung selesai? Jawabanya mudah, karena saat ini masyarakat lebih berpedoman kepada SUZUKI sebagai way of life, dan mengesampingan Alqur’an. Jadi, jangan salahkan Alqur’an dengan alasan tidak fungsional, tapi lihat pada diri kita, apa kita sudah cukup berhasil menjadikan Alqur’an sebagai way of life layaknya SUZUKI.
Setelah persoalan prinsip selesai atau paling tidak dianggap selesai, maka apa sebenarnya yang dicita-citakan Alqur’an dalam ruang aplikatif? Tentu saja sebuah tatanan kehidupan yang stabil dan kondusif menurut prinsip yang telah disediakan Alqur’an. Kita tentu sudah sering mendengar istilah “Masyarakat Madani”, lalu apa sebenarnya makna dari term ini. Mari kita sebutkan beberapa.
Kamaruzzaman dalam bukunya Islam Historis Dinamika Studi Islam di Indonesia menyebutkan “Masyarakat Madani” berasal dari term Madani. Kemudian Nurcholis Madjid memandang bahwa konsep Madaniyyah memiliki arti peradaban. Adapun Madinah adalah pola kehidupan sosial yang sopan yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh pada peraturan hukum.[1] Ini merupakan defenisi secara garis besar, karena itu defenisi ini masih memerlukan penjelasan yg lebih mudah dimengerti. Jadi biarkan saya memperjelasnya dalam istilah awam.
Masyarakat adalah sekelompok orang yang tinggal di wilayah tertentu. Sedangkan Madani dalam bahasa jawa diartikan Menyamai atau Menyerupai. Namun sebenarnya Madani diambil dari term Madinah yg berarti Kota. Jadi, katakan saja Masyarakat Madani adalah Masyarakat yang Menyerupai. Kemudian timbul pertanyaan, seperti apa yang harus diserupai? Sampai sini jelaslah sudah bahwa konsep masyarakat yang diinginkan Alqur’an adalah sebuah tatanan masyarakat yang ideal seperti yang pernah diukir Nabi Muhammad SAW dalam sejarah perkembangan Islam berabad-abad yang lalu. Adapun mengenai seperti apa tatanan masyarakat yang ideal itu akan kita bahas dalam kesempatan lain yang lebih berkualitas dan pas.
Allah SWT juga telah menyatakan bahwa Islam adalah agama fitrah atau agama yang sesuai dengan fitrah penciptaan manusia. Sedangkan yang dimaksud fitrah adalah roh atau nurani manusia. Dalam bahasa sehari-hari, barangkali bisa juga disebut dengan istilah “hati kecil”, fitrah ini telah ada jauh sebelum manusia lahir kedunia ini, yakni sejak zaman azali, saat itu semua janin yang ditiupkan kepadanya roh dari Tuhannya ditanya oleh-Nya “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka semua menjawab Betul (engkaulah Tuhan kami), kami bersaksi (QS. Al-Araf: 172)”.[2]
Fitrah manusia adalah bertauhid atau meng-Esa-kan Tuhan. Secara substansial, manusia adalah makhluk ber-Tuhan atau selalu tergantung kepada Tuhan. Karena itu, kenyamanan hati seorang manusia sangat bergantung kepada sebuah peredikat yaitu “hamba Tuhan”. Namun masalahnya, apakah kita yang dengan jelas pernah berikrar meng-Esa-kan Tuhan itu benar-benar mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan setelah kita keluar dari rahim ibu kita. Di sinilah mulai terjadi kesenjangan antara ikrar awal dan implementasinya dalam menjalani hidup. Ada banyak dari kita yang tidak lagi menghamba kepada Tuhan. Satu waktu kita menjadi hamba uang, wanita, pria, pekerjaan, perut dan bawahnya sedikit. Dari itu mulailah berdoa, semoga Tuhan memaklumi kekhilafan ini dan memberi ampunan pada kita yang hina ini. Tapi yang membuat kita lebih hina adalah ketidak sadaran akan kehinaan kita sendiri.
Sementara Syaikh Muhammad Abduh dalam bukunya Islam Ilmu Pengetahuan Dan Masyarakat Madani mengatakan bahwa prinsip dasar pertama yang terdapat dalam Islam adalah pertimbangan. Pertimbangan dalam Islam merupakan sarana mencapai keimanan yang murni. Kadang kita dapat membuktikan dengan dalil dan kadang dari akal.[3] Ini adalah bukti bahwa Islam sangat menghargai akal manusia yang normal dalam mempertimbangkan banyak hal dalam hidup. Namun yang perlu digaris bawahi adalah pertimbangan yang sesuai dengan yang diinginkan Islam itu sendiri, yaitu Alqur’an dan Sunnah.
Sampai di sini jelaslah sudah betapa pentingnya Alqur’an dan Sunnah dalam segala hal untuk melandasi sikap dan cara bertindak kita setiap hari. Kemuliaan cita-cita ideal Islam dalam membentuk sebuah peradaban yang berideologi Islami sudah sepatutnya menjadi prinsip yang dijalani para pemuka-pemuka Islam dalam memimpin masyarakat. Masyarakatnya pun harus menjadikan pengetahuan tentang peradaban Islam yang ideal menjadi sebuah wacana dan kajian-kajian sosial yang pada akhirnya bisa selesai dalam tataran aplikatif. Jadi, cita-cita membentuk peradaban Islami tidak hanya selesai pada masa Rasulullah SAW saat berada di Madinah, tapi lebih dari itu, sebuah peradaban Islam di seluruh belahan dunia.
Islam dalam kebesaran nama dan kuantitas tidak boleh kalah dengan Yahudi. Yahudi dengan mega proyeknya “novus ordo seclorum” sudah hampir, bahkan bisa dikatakan berhasil menciptakan sebuah new word order, yaitu sekularisasi dunia, dan generasi Islam harus tahu ini. Generasi Islam harus melawan semua pengaruh yang diciptakan Yahudi dengan ideologi Qur’ani. Masyaraat Islam harus mulai menyadari ini dan segera bergegas membuka, membaca, memahami dan mengamalkan The Way of Life-nya Islam, bukan way of life-nya SUZUKI.
)* Penulis adalah Pengkhawatir akut dalam perenungan yang sangat dangkal.
[1] Kamaruzzaman Bustaman-Ahmad, Islam Historis Dinamika Studi Islam di Indonesia, Yogyakarta, Galang Pres, 2002, hal. 87.

[2] Muhyidin Al barobis, Islam itu Mudah, Jakarta CV Artha Rivera, 2008, hal. 10.
[3] Syaikh Muhammad Abduh, Islam Ilmu Pengetahuan dan Masyarakat Madani, Jakarta PT Raya Grafindo Persada, 2005, hal 126.

No comments:
Write comments