Wednesday, September 6, 2017

Pendidikan dalam Kacamata Buruh


Oleh: Achmad Rois)*
Pendidikan hampir selalu menjadi topik yang menarik sekaligus menantang untuk dibicarakan. Mulai dari citra sampai pada wacana filosofis, kultural, psikologis dan metodologis pendidikan, semua menjadi hal yang hangat dan selalu aktual untuk diketengahkan sebagai menu obrolan sehari-hari. Pembicaraan tentang pendidikan tidak hanya seru saat dibahas oleh mereka yang berasal dari kalangan akademis, tapi juga menarik diketengahkan saat topik tentang pendidikan ramai dibicarakan oleh mereka dari kalangan masyarakat yang berada dalam skala mayoritas.
Masyarakat dalam skala mayoritas ini kami sebut sebagai masyarakat buruh yang memang ada dalam jumlah yang sangat besar. Kebesaran jumlahnya bukan justru menjadi perhatian tetapi lebih sering dimarginalkan dan mendapat perlakuan yang timpang dari kalangan birokrasi atau golongan lain yang berstatus sosial lebih tinggi dari mereka. Hal ini dibuktikan dengan seringnya pemberitaan tentang diskriminasi buruh, baik dari sisi honor, hak memanfaatkan fasilitas Negara sampai dengan pelecehan seksual.
Berangkat dari fakta-fakta di atas, penulis mencoba menelisik lebih lanjut tentang apa sebenarnya pertimbangan mereka sehingga tega memperlakukan buruh dengan perlakuan yang tidak sepantasnya. Salah satu penyebab utama mengapa masyarakat buruh terlampau sering mendapat diskriminasi perlakuan adalah karena komunitas ini dianggap lemah dari sisi edukasi. Kebiasaan ini menjadi membudaya saat kaum edukasi merasa diri mereka lebih pantas dihormati dari yang lain. Asumsi ini kian menjadi parah ketika output pendidikan justru membentuk kaum-kaum elite baru di lingkungannya masing-masing. Hal ini mungkin saja lahir karena minimnya pemahaman tentang pendidikan yang humanis dikalangan para praktisi pendidikan itu sendiri.
Fenomena yang memprihatinkan ini tentu tidak sepenuhnya menjadi kesalahan pihak birokrasi atau mereka yang berada dalam status sosial yang setara dengan birokrasi. Tetapi akan lebih evaluatif jika kita juga menilik bagaimana pandangan para buruh terhadap pentingnya pendidikan jika salah satu penyebab mereka dikesampingkan adalah karena pendidikan itu sendiri. Hal ini diharapkan menjadi sebuah pemahaman yang nantinya bisa menjadi motivasi mereka untuk menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan pokok, tentunya bagi anak-anak mereka sebagai generasi mendatang.
Dr. Muhaimin dalam banyak literaturnya tentang pengembangan kurikulum pendidikan Islam memetakan pandangan masyarakat tentang pendidikan menjadi empat tipologi, antara lain:
1. Masyarakat yang tidak paham pentingnya pendidikan dan biaya pendidikan.

2. Masyarakat yang paham terhadap pentingnya pendidikan, tetapi tidak paham biaya pendidikan.
3. Masyarakat yang paham terhadap pentingnya pendidikan dan biaya pendidikan.
4. Masyarakat yang menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan pokok.


Berdasarkan pemetaan di atas dapatlah kita klasifikasikan bahwa masyarakat buruh cenderung berada pada pemahaman poin satu dan dua terhadap pendidikan. Meskipun demikian, penulis tidak serta merta mengasumsikan bahwa klasifikasi ini berlaku secara keseluruhan. Atau dengan kata lain, penulis tidak terlalu berani memberikan klaim secara general, karena pada kenyataannya sudah banyak kami jumpai orang-orang tua yang berstatus buruh sudah menempati tipologi ketiga, meskipun jumlahnya lebih sedikit dari yang pertama dan kedua.
Kenyataan ini adalah hal yang sangat menggembirakan bagi para investor peradaban. Karena maju atau mundurnya sebuah tatanan sosial selalu bergantung dari pemahaman dan tingkat keberhasilan proses pendidikan. Itupun jika pendidikan masih berada pada rel idealitas yang tertuang dalam tujuan pendidikan. Sedangkan realitasnya tujuan pendidikan sudah jarang sekali dituangkan secara maksimal dalam proses aktualisasi pembelajaran di kelas.
Untuk tipologi keempat masih cenderung didominasi oleh para penguasa dan kaum kaya yang menyadari keberhasilan mereka dikarnakan pendidikan yang mereka tempuh. Karena sebab itulah mereka menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan pokok melebihi urusan perut mereka. Berbeda halnya dengan masyarakat buruh, sebagian dari mereka mungkin berada dalam pemahaman yang baik tentang pendidikan (2 dan 3, atau bahkan 4), tetapi kendalanya ada dari sisi ekonomi mereka yang tergolong pada kelas menengah ke bawah. Ini menjadi ironis saat idealitas ternyata timpang dengan realitas sebagai faktor penghambat utama.
Berdasarkan pemaparan ini, harapan utama kembali tertumpu pada birokrasi dan penguasa, baik penguasa politis atau penguasa moneter. Pemerintah memegang peranan strategis terhadap fenomena ini. Langkah awal adalah penyadaran akan pentingnya pendidikan. Ini bisa dilakukan secara komunal atau individual, semisal dengan penyuluhan-penyuluhan dan menggencarkan arti pentingnya pendidikan melalui media. Setelah itu, pendidikan harus didukung dengan kekuatan yuridis dalam implementasi yang realistis. Pencanangan program-program merakyat dan menampung serta merealisasikan aspirasi masyarakat juga menjadi jalan lain yang harus dilakukan dalam upaya implementasi kebijakan. Dari sisi buruh sendiri, pemahaman ini harus ternanam kokoh dalam segenap aktifitas sehari-hari bahwa dengan pendidikan yang memadahi semuanya akan menjadi mudah, pada akhirnya. Sekian, semoga bermanfaat dan salam pergerakan.
)* Masalah ekonomi yang tidak memadahi tentu bukan pilihan siapapun, tetapi berpendidikan adalah pilihan yang bisa diambil oleh siapapun.

No comments:
Write comments