MENCARI JALAN PULANG


Oleh: Achmad rois)*
Ahad itu disebuah Pondok Pesantren, saya bersama salah seorang teman berkunjung kesana dengan perasaan yang tak terkatakan. Hari itu seperti setiap tahun yang tak pernah lupa untuk diulang, seperti para santri yang tak pernah lupa siapa nama pendiri pondok yang kini mereka tempati sekedar untuk berteduh diharapan Ridho Ilahi. KH. Ali Shodiq Umman; Kyai Ali, begitu sapaan akrab yang begitu dikenal para santri sejak puluhan tahun lalu saat beliau masih berkesempatan untuk hidup dalam naungan safaat dan manfaat. Masyarakat yang berdomisili disekitar pondok atau para wali santri yang hanya berkunjung ke pondok mungkin satu atau dua bulan sekali sangat mengenal sosok Kyai Ali yang ramah dan memang sangat penyayang. Hal ini menjadi sebuah kepercayaan tersendiri bagi setiap wali santri untuk menitipkan anaknya dalam penimbaan ilmu ukhrawi di Pondok Ngunut, Tulungagung ini.
Setelah sekian lama berdiri sejak tahun 60-an, Pondok Ngunut yang memiliki nama asli Hidayatul Mubtadi-ien ini menjadi sebuah pondok yang cakap terhadap kebutuhan manusia di era modern. Pondok yang pada awalnya kecil dan hanya di isi dengan pelajaran kitab kuning, nahwu dan shorof, kini menjadi lembaga pendidikan yang siap bersaing ditengah “gilanya” era modern. Hal ini sudah barang tentu menjadi suatu kebaggaan tersendiri bagi para santrinya, santri yang tak mengenal kata Alumni. Sampai kapan dan dimanapun, santri tetap saja santri, tak ada sebuatan alumni untuk seorang santri.
Pendidikan agama pastinya penting bagi siapa dan dengan agama apapun, namanya juga pendidikan agama. Tak ada agama yang mengajarkan kepada penganutnya yang taat tentang saling melempar batu, saling membunuh, mencaci satu sama lain atau mencari-cari kesalahan. Setiap agama, tak peduli penganut aqidahnya siapa selalu mengajarkan tentang kedamaian, cita dan cinta kasih, tolong menolong, sopan santun dan nilai-nilai moral yang karimah. Pelajaran seperti ini sebenarnya hampir setiap hari kita dengar dari setiap sudut ruangan yang luas; baca jagat raya. Himbauan demi himbauan tak selang gayung bersambut, tapi hasilnya hanyalah kabut, tak urung melekat dan tak mampu disambut. Itulah kita, kita yang hanya suka mendengar dengan akut, sebentar mungkin terasa takut, tapi dua jam kemudian semua hanyalah angin laut, besar tapi sama sekali tak membuat kening kita berkerut; berfikir/untuk refleksi.
Haul ke XI kali ini seperti sumber petuah berharga bagi saya pribadi dan seharusnya untuk ribuan jama’ah haul yang hadir. Peringatan yang diadakan setahun sekali oleh keluarga besar Pondok Ngunut layaknya sebuah wadah dimana semua hikmah sebenarnya ada dan tertuang disana. Bagaimana tidak, akhlak yang diajarkan beliau; Kyai Ali sangat bertentangan dengan akhlak pemimpin kita yang kini ntah lupa atau sengaja melupakan kita sebagai rakyat kecil dan tugasnya sebagai pemimpin. Meskipun dari hanya biografi, ulasan sejarah dalam lembar lembar hari yang tentu tak sempat beliau tulis, sampai kini dan nanti akan terus menjelma sebagai pemandu jalan menuju kebenaran yang hakiki, Insya Allah.
Negara kita hari ini mungkin sedang diuji oleh Tuhan. Ujiannya begitu banyak dan tentu saja tentang soal-soal. Menyoal bagaimana menyelesaikan konflik antar suku? Bagaimana menyelesaikan politik bisu; baca uang? Pertikaian saudara Perak dan Satpol PP, apa solusinya? Belum lagi ribuan pertanyaan tentang gempa, kelaparan, penggusuran rumah, biaya pendidikan dan biaya berobat yang mahal, perawan-perawan yang hoby aborsi, pejabat yang selingkuh dengan istri polisi, mahasiswa yang semakin gila ekstasi, klub malam penuh prostitusi, orang-orang tua yang tega membuang bayi, anak-anak mengamen demi sesuap nasi, pembohong-pembohong berdasi, tikus-tikus selokan yang hobinya gonta-ganti istri, artis yang sekarang lagi marak mencalonkan diri sebagai bupati, korban lapindo yang belum mendapat ganti rugi, termasuk juga pertanyaan tentang uang Negara yang “katanya” hilang dicuri. Maaf, saya terpaksa menulis kalimatnya terlalu panjang.
Dengan momen yang tak se-wah Hari Kartini atau HUT RI sekalipun sebenarnya mampu membuat kita tidak sekedar melakukan refleksi. Kita kadang sering terlena oleh kepentingan-kepentingan duniawi yang hanya sesaat dan kadang-kadang sekaligus sesat. Pribadi kita lebih sering memikirkan untung terhadap diri sendiri yang tak seberapa. Hawa nafsu menjadikan kita lupa terhadap sesuatu yang fana dan membuat kita terlena oleh gemerlapnya dunia. Jiwa-jiwa apatis dan pesimis seringkali membuat kita tak berguna dihadapan orang-orang disekitar kita. Padahal, jika sedikit kita cermati, apalah arti hidup jika selamanya kita jalani tanpa arti, bagi sesama ataupun bagi diri sendiri.


Sesaat di tempat duduk yang belum juga sempat untuk beranjak, perbincangan terpaksa saya dengan salah seorang wali membuat saya kagum dan berpikir keras. Usianya yang bau tanah membuatnya pantas berkata “saya kagum dengan Kyai Ali, saya ngak pernah nyangka kalau beliau bisa punya pondok dengan jamaah sebanyak ini”, tuturnya dengan bahasa jawa yang halus. Otak saya mulai berpikir, mungkinkah ini semua kebetulan? Kalau ini kebetulan, lalu apa sebenarnya tugas Tuhan? Hati saya berusaha mempercayainya, tapi keyakinan saya tetap menjawab “TIDAK”, ini semua bukan kebetulan. Kebetulan berhasil itu sama sekali tak mungkin, apalagi dalam waktu yang sedemikian panjang. Saya jadi teringat ungkapan Mario Teguh, seorang motivator kelas profesional di Indonesia, beliau mengatakan kira-kira begini “sebuah keberhasilan hanya bisa disebut keberhasilan jika sebelumnya terdapat rencana”. Lagipula yang saya tahu, kebetulan tak mungkin terjadi berulang sampai dua atau tiga kali dan berlangsung dalam waktu yang sedemikian lama, toh kebetulan bagaimanapun tak akan sehakiki proses yang diciptakan Tuhan melalui wasilah situasi.

Diyakini atau tidak, dunia adalah alamnya amal dan bakti sedangkan akhirat (kata kyai-kyai) adalah tempat segala sesuatunya dipertanggung jawabkan dihadapan Ilahi. Tuhan sama sekali tak mengekang kita masuk surga melalui pintu yang mana, meskipun semuanya tergantung pada kehendak Beliau. Tapi Tuhan memberi kita kebebasan seluas-luasnya untuk memilih setiap pintu yang kita mau. Ini artinya, kita berhak memilih jalan hidup manapun sesuai intensitas keridhoan Beliau, meskipun harus kita akui bahwa ada jalan-jalan yang sengaja Beliau ciptakan untuk menguji kapasitas keimanan kita terhadap Beliau. Paling tidak kita tahu mengapa ritual lima waktu itu harus diawali dengan Takbiratul Ikhram dan diakhiri dengan Salam, kalau belum tahu ya jangan coba-coba shalat apalagi masih mengharapkan pahala dari Beliau. Tidak-tidak, saya hanya sedang bergurau (supaya otakmu berfikir tentang seberapa tinggi nilai diri dan ibadahmu dihadapan Tuhan yang terlalu sering kau gugat itu). Disisi lain kita juga harus cermat melihat Kitab Sucinya, kalaupun tafsirnya tak sempat kita pelajari, paling tidak kenapa pembuka mushafnya diawali dengan Basmalah dan diakhiri dengan An-Nas. Wah wah, alangkah lancangnya saya sampe berani-beraninya ngomongin tafsir, emangnya saya siapa? Mujtahid bukan, Kyai juga bukan. Maaf, saya memaksa.


Yang sedikit tadi adalah representasi manusia yang mengaku hidup di era-kekinian atau lebih akrab disebut Kaum Masakini. Sebutanya lumayan bagus dan cukup elegan, tapi entah dengan maknanya. Mungkin mereka lupa menyebutnya didepan siapa, mereka juga lupa kalau saya bisa sedikit ilmu nahwu dan shorof. Maaf, lagi-lagi saya terpaksa, kali ini saya terpaksa mengaku sedikit sombong dari anda yang mengklaim diri anda Kaum Masakini.
Kaum dalam bahasa arab bisa berarti Umat, Masyarakat atau secara inklusif bisa saja anda maknai peradaban. Sedangkan Masakini adalah jama’ dari kata miskin yang artinya miskin. Jadi secara keseluruhan arti Kaum Masakini menurut saya adalah masyarakat yang miskin atau peradaban yang miskin. Lalu pertanyaan yang seharusnya anda ajukan kemudian adalah; miskin dari apa peradaban kita sekarang? Jawabanya tentu banyak dan sangat kompleks. Dengan terpaksa lagi saya katakan bahwa peradaban kita saat ini secara keseluruhan adalah peradaban yang miskin. Kalau soal miskin nilai saya kurang sepakat, tapi kalau miskin nilai baik, itu baru saya sepakat. Miskin moral, miskin panutan, miskin petunjuk, miskin integritas, miskin iman, miskin harta yang membuat semua orang menjadi kufur terhadap nikmat yang sedemikian banyak sudah kita terima dari Beliau dan banyak lagi kemiskinan-kemiskinan lain yang hanya akan membuat kita bertambah prihatin jika terus saya sebutkan.
Akhirnya, maaf harus saya akhiri dulu. Maaf untuk segala kesombongan dan kelancangan saya. Maaf, untuk segala sesuatu yang saya klaim dengan sangat emosional. Dan terimakasih, untuk anda yang sudi mengantarkan saya menuju “jalan pulang”. Semoga bermanfaat dan Salam Pergerakan.
)* Penulis adalah seseorang yang kadang bisa menjadi kejam manakala diperlukan dan sangat baik hati disaat yang tepat. Tapi dilain waktu, penulis adalah Seorang Iblis berbalut daging dalam pakaian pengelana.