Oleh: Achmad rois)*
Minggu, 25 April 2010. Kerinduan dan kejenuhan akhirnya mengantarkan saya pada sebuah ide; ide untuk pergi jalan-jalan. Sebuah pilihan tepat setelah beberapa bulan terakhir disibukkan oleh berbagai aktifitas yang cukup menguras tenaga, pikiran dan tentu saja biaya. Pagi itu saya teringat pada sebuah tempat di pesisir selatan, sekitar 35 kilometer dari pusat kota Tulungagung tempat kampus saya berdiri megah. Tempat ini biasa saya kunjungi bersama teman-teman hampir tiap hari minggu, namun kebiasaan tersebut sudah cukup lama saya tinggalkan sejak hampir empat tahun yang lalu. Kami dan pengunjung yang lain biasanya hanya duduk-duduk di tepi pantai menikmati derasnya ombak dan deruan angin laut yang sejuk. Meskipun cukup sering kesana, kami hampir tak pernah memutuskan untuk mandi di pantai atau sekedar bermain air di pinggiran ombaknya. Itu bukan karena kami tak bawa basahan atau baju ganti, tapi memang keadaan air dan lingkungan di sekitar pantainya mengurangi nafsu kami untuk bersenang-senang secara utuh seperti yang kami lakukan di pantai-pantai lain.
Pantai Sidem, begitu sebutan akrabnya di telinga. Pantai yang terletak di desa Sidem, kecamatan Besuki ini selalu ramai dikunjungi para rekreator, terutama pada hari sabtu dan minggu atau di hari-hari libur nasional lainnya. Apalagi dihari pergantian tahun, biasanya ribuan pengunjung datang kesana, entah dengan tujuan apa, tapi yang pasti bermacam-macam. Pantai ini termasuk salah satu warisan wisata bahari yang dimiliki kabupaten Tulungagung. Tidak jauh dari sana, kira-kira 2 kilometer juga terdapat sebuah pantai yang hampir mirip dengan Sidem, namun di sana keadaannya sangat jauh berbeda. Padahal secara geografis, letak kedua pantai tersebut sangat strategis jika dikelola secara maksimal. Jalan masuknya bisa dilalui oleh semua kendaraan, baik kendaraan wisata, travel atau kendaraan pengangkut hasil bumi dan laut. Namun kenapa keadaannya harus berbeda jauh dibanding pantai Popoh yang letaknya tidak begitu jauh dan jalan keluar masuknya juga berada dalam satu jalur.
Menurut pengamatan penulis, jika kedua pantai ini dikelola secara maksimal dan merata tentu akan menambah penghasilan daerah secara signifikan. Hal ini didukung oleh minat kunjung masyarakat sekitar ataupun luar kota tergolong stabil. Ditilik dari sudut tansportasi keluar masuk, jalur masuknya dibuat searah, terserah dari jalur selatan atau utara. Jalur masuk yang strategis adalah dari selatan karena jalur itu cukup mudah dijangkau dan dekat dengan pusat kota, sedangkan jalur keluarnya melalui jalur selatan. Kalupun pengunjung ingin berbalik dari utara keselatan setelah pintu keluar mereka juga akan menemui jalur yang sama, yah semacam jalur segitiga. Hal ini tentu mempermudah pengelola dalam mengoordinir kendaran yang masuk ataupun yang keluar. Singkat kata, tak akan ada kesulitan berarti dalam hal transportasi dan penertiban jalur keluar masuk.
Permasalahan lain yang justru perlu mendapatkan perhatian serius adalah mengenai lingkungan dan tata letak atribut wisata. Lingkungan di sekitar pantai Sidem ini tergolong kotor, kumuh dan tak sedap dipandang. Sebab itu diawal tadi saya katakan meski sering kesana, kami tak pernah memutuskan untuk mandi di pantai. Pesisir pantai ini cukup luas dan tergolong indah untuk ukuran pantai-pantai terisolir. Saya katakan terisolir karena saya prihatin dengan minimnya perhatian pemerintah dan masyarakat setempat terhadap lingkungan disekitar pantai. Padahal seharusnya mereka bisa menjadikan desa mereka menjadi desa wisata atau apalah sebutannya, selain sebagai masyarakat yang memiliki mata pencaharian utama sebagi nelayan. Toh bagaimanapun keuntungan apapun juga untuk masyarakat setempat.
Peluang ini yang tidak disikapi secara positif oleh masyarakat setempat dan pemerintah daerah. Padahal jika berbicara mengenai keuntungan financial, penghasilan masyarakat daerah wisata tentu tak kalah dengan penghasilan para nelayan, Bali sudah mencontohkannya. Lagi pula yang pergi melaut biasanya para suami dan pemuda, sedangkan para istri lebih banyak berdiam diri di rumah. Jika peluang seperti ini dimanfaatkan secara tepat dan positif, ibu-ibu dan anak gadisnya bisa berjualan cenderamata khas daerah atau makanan dan minuman sebagai bentuk pelayanan jasa terhadap para pengunjung. Penyediaan tempat-tempat mandi bagi para pengunjung setelah mandi di pantai, atau jasa-jasa lain yang membuat pengunjung lebih merasa nyaman dan betah seperti penginapan dan rumah makan. Kalau sudah demikian, peluang pengangguran akan semakin menipis dan perekonomian penduduk yang tadinya minim sedikit demi sedikit akan terangkat. Bukankah saat ini pengangguran masih menjadi pemicu utama tingginya rating kemiskinan di Negara kita?
Fenomena seperti ini justru jarang disikapi oleh masyarakat dan pemerintah setempat. Padahal dari sisi produktifitas, Tulungagung tergolong masyarakat yang memiliki kreatifitas dan produktifitas yang tinggi. Terbukti berbagai industri dari yang kecil, menengah sampai yang tingkatannya internasionalpun ada di Tulungagung seperti produksi marmer. Masyarakatnya yang ramah dan sopan akan menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung, terutama yang datang dari luar daerah (domestik) bahkan manca negara. Belum lagi keadaan lingkungan sekitar pantai yang masih alami, sejuk dan sangat menyegarkan.
Meskipun demikian, perbaikan disana-sini tetap harus diadakan. Seperti pengadaan sinyal telekomunikasi yang masih tergolong sulit. Pelebaran dan perbaikan jalan, penataan kota yang masih terlihat semrawut dan kumuh. Kebersihan lingkungan dan kesadaran masyarakat yang tergolong minim membuat masyarakat setempat cenderung apatis terhadap daerahnya. Menghadapi hal ini, pemerintah sebagai birokrasi yang paling bertanggung jawab harus lebih dekat dengan masyarakat. Penyuluhan-penyuluhan kebersihan, keamanan dan ketertiban daerah harus lebih gencar disosialisasikan. Aroma daerah wisata harus tercium oleh setiap pengunjung yang datang, meskipun hanya sekedar lewat. Atau kalau ingin maksimal, kenapa harus malu memasang iklan di radio, televisi atau surat kabar bahwa di desa Sidem, kecamatan besuki, Tulungagung ini ada sebuah daerah wisata yang tak kalah indahnya dengan pantai-pantai lain di Indonesia.
Untuk mencapai tujuan jangka panjang seperti ini tentu bukan hal yang mudah dan akan memakan waktu yang tidak sebentar. Peran serta serius dari seluruh lapisan masyarakat, dan (terutama) pemerintah tentu menjadi sesuatu yang penting untuk diperhatikan. Budaya Guyub Rukun sekaligus slogan kota Tulungagung harus benar-benar dipribumisasikan sampai ke akar. Kalau tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi? Mau sampai kapan daerah-daerah yang berpotensi wisata seperti ini terus dibiarkan terisolir, tanpa tindak lanjut yang jelas dan peluang yang sia-sia terbuang. Akhirnya, yang sedikit tadi adalah harapan kami dengan sangat sebagai masyarakat yang peduli dan prihatin terhadap lingkungan dan keadaan social. Kenapa harus dibiarkan terisolir jika sebenarnya ada peluang menciptakan daerah yang maju dengan masyarakatnya yang mapan. Toh, penulis sudah mengamatinya hampir empat tahun, tapi sama sekali tak ada yang berubah sampai sekarang.
)* Penulis adalah aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung.