PERCETAKAN MANUSIA

Oleh: Achmad Rois)*

Manusia adalah makhluk yang paling sempurna, begitu mitos yang kita kenal dan amini. Sebagian dari kita menarik kesimpulan yang berbeda tentang kalimat ini. Yaitu, kesempurnaan dari sisi bentuk, hanya bentuk (fisik). Namun sebenarnya tak ada satupun makhluk ciptakan Tuhan yang cacat atau tak sempurna dari sisi bentuk, apapun. Lantas apa kemudian Tuhan tak punya alasan untuk menjadikan manusia sebagai khalifah diatas muka bumi. Tentu tidak mungkin tidak, pasti ada alasan. Tapi sebenarnya, manusia adalah makhluk yang masih dipertanyakan sisi kesempurnaannya. Maaf, saya sedang tidak berbicara tentang kualitas penciptaan, tapi tentang ketidak sempurnaan manusia itu sendiri dalam memperlakukan ciptaan yang sempurna. Ciptaan yang sempurna disini dapat berupa perlakuan kita terhadap diri sendiri ataupun terhadap orang lain.


Dalam kesempatan kali ini sebenarnya penulis ingin berbicara tentang citra pendidikan di Negeri yang lumayan saya cintai ini. Sedikit saya akan berbicara mengenai moral pendidikan, bangsa yang penduduknya mengalir seperti air – tak lagi memiliki karakter. Dan sedikit tentang jenjang pendidikan baru yang mulai dilegal-formalkan seperti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Taman Kanak-kanak (TK). Lalu petanyaan apa yang seharusnya timbul dari benak kita? Benarkah semua itu adalah usaha serius untuk menopang sistem pendidikan supaya hasilnya optimal atau sekedar wahana pemenuhan ekonomi para pendidik yang kebetulan kurang beruntung dalam ujian PNS. Yang pertama bisa saja benar, tapi yang kedua mungkin juga tak akan salah.

Dari sisi sistem pendidikan, Negara kita tentu bukan termasuk kedalam Negara yang terbelakang. Sejumlah lembaga pendidikan dasar seperti SD, SMP dan SMA terbukti sudah resmi berstandar internasional, meskipun terlihat seperti hanya sebuah lebel untuk menarik simpati wali murid. Puluhan Universitas pun demikian maju dan memiliki hubungan baik dengan beberapa Universitas ternama di dunia. Tapi siapa yang tak bersedih jika birbicara mengenai “hasil cetakannya”. Penjaja hukum, maniak seks, miras dan narkoba, penjual kelamin, makhluk anarkis bermental hewan, pemenang namun berjiwa pecundang dan masih banyak lagi potret mengerikan mengenai hasil percetakan manusia dilembaga-lembaga pendidikan.

Setiap tahun tercatat ada sekitar 400 anak didik baru diseluruh universitas dan 100 dari setiap lembaga pendidikan dasar. Lalu jika dibandingkan dengan lapangan kerja setelah selesai menempuh pendidikan, mungkin hanya 10% yang tertampung dan memiliki pekerjaan yang layak. Lantas kemana yang lainnya? Yah, mereka semua berkumpul sebagai produk yang gagal dan menjadi sampah masyrakat. Menjadi pencopet, pencuri dan manusia-manusia lemah tanpa harapan dan rencana masa depan. Sangat memprihatinkan bukan, tapi kita tak harus berhenti sampai disini. Kenyataan seperti ini sebenarnya secara langsung menyadarkan kita bahwa mengenyam pendidikan bukan semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan, ini sisi yang realistis. Tapi seharusnya, mengenyam pendidikan adalah untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Dari sisi ideologisnya, berpendidikan sebenarnya menjadikan kita mengenal siapa diri kita yang sebenarnya.

Hal yang sesungguhnya lebih esensial terkait dengan persoalan pendidikan, tetapi justru kurang banyak mendapatkan perhatian, adalah tentang hasil atau produk pendidikan dalam pengertian yang lebih dalam. Orang biasanya belum peduli terhadap makna pendidikan yang sesungguhnya. Jika pendidikan yang dimaksudkan adalah sebagai upaya melakukan perubahan pada diri seseorang, maka ternyata belum banyak pihak yang mempertanyakan sesungguhnya apa yang sudah berubah pada diri seorang anak tatkala telah menyelesaikan program pendidikan pada jenjang tertentu. Sebagai contoh yang sudah menjadi kebiasaan, bahwa setelah dinyatakan lulus, para siswa melakukan pesta, dengan cara yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai pendidikan yang diembannya, misalnya dengan melakukan kebut-kebutan di jalan raya, melakukan corat-coret di baju seragam dan lain-lain yang kurang pantas dilakukan oleh manusia-manusia terdidik.

Keadaan seperti itu tak kuasa dicegah, bahkan oleh lembaga pendidikan itu sendiri. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan hanyalah mengurangi terjadinya gejala yang tidak bisa dianggap pantas ini. Misalnya dengan mengirim laporan hasil ujian ke rumah masing-masing siswa atau menyerahkannya langsung kepada orang tua. Selain itu, sekolah terpaksa meminta bantuan pihak kepolisian untuk mengamankan berbagai kegiatan para siswa yang sekiranya dianggap merugikan dan tidak mencerminkan bahwa mereka baru saja lulus dari sebuah lembaga pendidikan. Cukup memalukan sampai melibatkan pihak keamanan segala. Tapi pertimbangan tersebut juga bukan tanpa sebab. Hal ini dilakukan karena tidak jarang efek dari ekspresi kegembiraan para siswa yang baru dinyatakan lulus ini akan membahayakan orang lain.

Hal seperti itu sesungguhnya sangat kontradiktif dari makna pendidikan yang susungguhnya. Pendidikan dimaksudkan untuk mengantarkan para siswa memiliki akhlak yang luhur, cerdas, trampil, percaya pada diri sendiri. Tetapi dengan wujud ekspresi kegembiraan yang melebihi batas itu justru menunjukkan bahwa esensi pendidikan menjadi hilang, tidak membekas. Pendidikan seolah-olah hanya mengantarkan para anak didik mendapatkan selembar ijazah. Padahal ijazah tersebut semestinya hanya dijadikan sebatas petunjuk atau simbol bahwa tujuan pendidikan telah selesai.

Persoalan lainnya, dapat dilihat dan dirasakan tatkala para siswa dihadapkan pada kehidupan nyata di tengah-tengah masyarakat yang ternyata masih gagap. Setelah lulus, tidak sedikit dari mereka yang belum mampu beradaptasi dan menjawab persoalan kehidupannya sendiri di tengah masyarakat. Sekalipun sudah lulus perguruan tinggi, sementara mereka masih harus menganggur, kesulitan mencari pekerjaan dan terjebak dijalan-jalan tercela. Sebagai alternatif yang bisa dipilih, mereka bekerja apa saja yang bisa dilakukan, walaupun sesungguhnya tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan yang diperolehnya. Atau jika ada jalan lain, mereka ikut pergi ke luar negeri dan mencari pekerjaan di sana sebagai buruh migran.

Dari selintas gambaran itu, seolah-olah masih ada jarak yang sedemikian jauh antara apa yang diprogram di sekolah dengan tuntutan di tengah masyarakat. Di sekolah diajarkan tentang biologi, fisika, kimia, bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan ilmu sosial, tetapi ternyata seolah-olah mata pelajaran tersebut belum ada relevansinya dengan kehidupan nyata di masyarakat. Para siswa telah dinyatakan lulus ujian, baik ujian sekolah atau ujian nasional. Tetapi, apa yang didapat itu ternyata belum bisa dijadikan bekal hidupnya di tengah-tengah masyarakat.

Pendidikan kemudian menjadi sebatas agenda atau jadwal kehidupan yang harus dilalui oleh setiap anak bangsa, tetapi masih minus makna atau esensi yang sebenarnya. Pendidikan terasa belum berhasil mengantarkan siswa untuk mampu hidup di tengah masyarakat. Akhirnya, pendidikan baru sebatas sebagai pemenuhan kewajiban, dan sebaliknya belum benar-benar berhasil mengantarkan siswa menjalani hidupnya secara mandiri dan bertanggung jawab.

Persoalan-persoalan tersebut, rasanya belum mendapatkan perhatian yang cukup dari mereka yang berwenang, apalagi masyarakat luas. Pendidikan yang seharusnya mengantarkan peserta didik menjadi warga negara yang baik, berakhlak mulia, berwawasan luas dan memiliki ketrampilan dan seterusnya, ternyata rumusan indah itu belum semua berhasil dicapai. Sayangnya, kegagalan dari aspek yang justru bersifat esensial tersebut belum banyak dirasakan oleh kalangan luas. Pada umumnya orang masih sedemikian percaya dengan ijazah, sekalipun selembar kertas yang dianggap penting itu sesunguhnya belum tentu bermakna apa-apa.

Tulisan singkat dan sederhana ini bukan dimaksudkan mengajak para pembaca untuk tidak mempercayai lembaga pendidikan yang sudah ada, melainkan ingin menyampaikan kembali pada pembaca tentang pesan pendidikan yang sesungguhnya. Tatkala berbicara pendidikan, semestinya dipahahami secara kritis dan mendalam makna pendidikan yang paling dalam itu, sehingga selanjutnya menjadi kekuatan pendorong terhadap peningkatan kualitas pendidikan yang sebenarnya.

Pendidikan sesungguhnya bukan hanya sebatas kegiatan mempelajari mata pelajaran biologi, kimia, fisika, bahasa dan lain-lain, lebih dari itu dimaksudkan adalah untuk memperkaya, menumbuhkan dan bahkan mengubah jiwa, pikiran dan keterampilan si terdidik. Pendidikan bukan hanya sebatas rangkaian program yang harus dilewati oleh semua warga negara. Tetapi pendidikan memiliki tujuan terkait dengan kehidupan anak manusia pada masa depannya. Setelah melewati dan mengikuti program yang disebut dengan istilah pendidikan itu, maka yang seharusnya dipertanyakan adalah dampak apa, atau apa sesungguhnya yang telah berubah pada diri si terdidik setelah mengikuti proses pendidikan, serta apa makna apa yang telah diperolehnya dari serangkaian proses itu untuk kehidupan mereka itu. Pertanyaan seperti ini penting untuk dijawab bersama tatkala kita memikirkan tentang esensi pendidikan yang sesungguhnya.


)* Penulis adalah aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung