Showing posts with label REFLEKSI. Show all posts
Showing posts with label REFLEKSI. Show all posts
THE POWERFULL OF AFNI

THE POWERFULL OF AFNI


Dengan situasi normal tanpa intervensi, tanpa pergerakan “money politics” dan tanpa kecurangan TSM, berkemungkinan besar Pasangan Calon Bupati - Wakil Bupati Siak Afni dan Syamsurizal berpeluang besar memenangkan Pertarungan Pilkada Siak tahun 2024 ini. 


Pertanyannya kenapa ? Ini adalah hal yang menarik untuk di bahas karena lawan Afni - Syamsurizal adalah incumbent yang sudah menjabat cukup lama di Siak. Jawabannya adalah karena Afni - Syamsurizal berhasil mengkapitalisasi tagline “Orang Kito dan Kito Gas” sangat baik dan tanpa celah. 


Memang jika di bandingkan dengan dua kandidat lainnya, Afni adalah satu-satu nya Calon Bupati yang berasal dari Siak (Lahir dan Besar di Siak) sedangkan yang dua lainnya, tidak lahir di Siak, tetapi besar hidupnya di Siak. Tagline “Orang Kito dan Kito Gas” inilah energi yang tak terbantahkan dan meresapi selung sanubari mayoritas masyarakat Siak. 


Di tambah posisi dua Mantan Bupati Siak yang sangat populer sebelumnya ( Red; Arwin dan Syamsuar) mendukung pasangan Afni - Syamsurizal plus ditambah posisi Suami Afni berasal dari Suku Jawa membuat pergerakan massive Calon Bupati dan Wakil Bupati Millenial ini begitu menarik untuk di nikmati. 


Masivenya Kekuatan civil society yang terjadi di Siak seperti sekarang ini merupakan hal langka yang terjadi dalam moment Pilkada dari waktu ke waktu. Karena, secara sadar masyarakat ingin berubah dan ingin kembali di pimpin oleh “orang kito” di kampungnya sendiri. Kebanggaan “orang kito” ini lah yang pada gilirannya menjadi tameng dari setiap pergerakan kecurangan dan atau ketidak adilan penyelenggaraan pemilu bisa di tindak lanjuti dan di viralkan. 


Dengan elektabilitas Afni - Syamsyrizal sudah mencapai 40,7% dan meninggalkan calon incumbent dan pemain baru lainnya, seperti nya dalam dua hari menjelang Pilkada ini rasa-rasanya tak mungkin elektabilitas tersebut terkejar kecuali dengan kejadian yang sangat luar biasa. 


Memang masih ada 18,4% masyarakat Siak yang belum menentukan pilihan, dan situasi masih bisa fluktuatif. Namun, kalau tidak ada situasi dahsyat terjadi di Kabupaten Siak, maka berkemungkinan besar Pasangan Kito Gas ini berpeluang besar memenangkan Pilkada Siak 27 November 2024 ini. 


Orang Kito ?

Pokoknyo Kito Gas !


Salam

#muehehehe


Muhammad Iqbal

Direktur Eksekutif Riau Gemilang Institute


REVOLUSI KESADARAN : RAKYAT SIAK BERDAULAT, Dr. AFNI Z - SYAMSURIZAL MENANG

REVOLUSI KESADARAN : RAKYAT SIAK BERDAULAT, Dr. AFNI Z - SYAMSURIZAL MENANG

 


Ibarat telur yang menetas dari dalam atau kepompong yang merobek dan keluar dari kungkungan membrannya, kesadaran kolektif rakyat perlahan - lahan mulai terlihat'semakin masif.

Kehadiran sosok pemimpin yang tak tersandera oleh modal besar dan politik 'dagang sapi' partai - partai menjadi kerinduan rakyat yang hari ini butuh pemimpin dengan kapasitas keilmuan cukup dan integritas yang jelas.

Ayo kawan...
Teruslah bergerak dan berserikat dalam SATU barisan yang mengajak rakyat untuk berjuang keras mempertahankan KEHORMATAN dan KEDAULATANNYA.

Menangkan Daulat Rakyat
Menangkan AFNI .Z - SYAMSURIZAL. 
Dilema Guru Masa Kini: Antara Tuntutan Digitalisasi dan Kesejahteraan Profesi

Dilema Guru Masa Kini: Antara Tuntutan Digitalisasi dan Kesejahteraan Profesi

Profesi guru kini menghadapi dilema baru seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi dan peningkatan tuntutan terhadap kualitas pendidikan. Di satu sisi, digitalisasi di sektor pendidikan membuka peluang pembelajaran yang lebih interaktif dan inovatif, sementara di sisi lain, beban kerja guru semakin bertambah karena harus terus beradaptasi dengan teknologi dan memenuhi standar yang terus meningkat.

Dengan beralihnya pembelajaran dari metode konvensional ke digital, para guru dituntut untuk menguasai platform-platform e-learning serta menghadirkan materi yang menarik bagi generasi digital. Tidak hanya itu, mereka juga perlu memastikan bahwa pembelajaran berlangsung efektif di tengah keterbatasan akses teknologi yang masih dialami di beberapa daerah.

Di banyak kesempatan, guru merasa tertekan dengan tuntutan tinggi untuk selalu mengikuti perkembangan kurikulum, menghadapi birokrasi administrasi, dan menjalankan tugas pengajaran di kelas. Dengan gaji yang masih dianggap belum memadai di beberapa wilayah, banyak guru merasa kurang dihargai dan kurang mendapat dukungan dari segi kesejahteraan. Sementara itu, tuntutan profesionalisme terus bertambah, mulai dari penguasaan teknologi hingga kemampuan menyampaikan pelajaran secara menarik.

Menanggapi tantangan ini, beberapa guru mengakui bahwa mereka sering kali merasa harus memilih antara meningkatkan kompetensi profesional dengan menjaga kesehatan mental dan fisik. Selain itu, banyak dari mereka mengaku harus meluangkan waktu ekstra di luar jam kerja untuk mempersiapkan materi pembelajaran berbasis digital, meskipun keterbatasan waktu dan tenaga menjadi kendala yang signifikan.

Ketua Persatuan Guru Indonesia, Andi Rudiansyah, menyampaikan bahwa saat ini perhatian yang lebih mendalam terhadap kesejahteraan guru harus diperkuat, termasuk dengan memberikan pelatihan teknologi secara berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan. “Kesejahteraan guru adalah investasi pendidikan yang esensial. Tanpa guru yang sejahtera, sulit bagi kita untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas,” ungkapnya.

Pemerintah diharapkan dapat menyediakan solusi, tidak hanya dari segi fasilitas teknologi dan pelatihan, tetapi juga melalui peningkatan tunjangan serta mengurangi beban administrasi yang kerap kali mengalihkan fokus guru dari pengajaran.

Dilema ini mencerminkan tantangan besar yang dihadapi pendidikan nasional saat ini. Dengan meningkatnya harapan masyarakat terhadap mutu pendidikan, penting bagi semua pihak, baik pemerintah, institusi pendidikan, maupun masyarakat, untuk lebih peduli terhadap kesejahteraan dan dukungan bagi guru demi tercapainya kualitas pendidikan yang lebih baik di masa mendatang.

Apakah anda simpatisan HTI ?

Apakah anda simpatisan HTI ?

Oleh : Ahmad Rois)*
Di tengah derasnya perbincangan soal Pilpres 2019, sahabat saya -yang juga jebolan pesantren- menampar saya dengan pertanyaan yang menohok di WA Group. "Is, kamu kok lembek soal pilpres ini, padahal prihal bendera tauhid kemaren, tulisanmu yang cadas banyak dibicarakan oleh konco-konco ?
Sontak saya sangat terpukul. Mereka yang dari dulu mengenal saya sebagai sosok yang tegas soal keberpihakan, meskipun dalam posisi yang sedang tidak diuntungkan. Namun kini dipandang lembek dan un-argumentatif.
Berangkat dari sana, tulisan ini sengaja saya sajikan dalam bentuk argumentatif sebagai jawaban atas pertanyaan yang mereka ajukan di group.

Karena diingatkan soal bendera tauhid, Pilpres 2019 sejatinya juga tidak jauh dari agenda itu. Pilpres tahun ini juga bukan hanya soal Jokowi dan Prabowo. Tapi soal pertarungan 2 kekuatan politik. Yang satu ingin menguasai secara radikal, baik secara ideologis ataupun struktural. Sedangkan yang satu -secara santun- ingin mempertahankan ideologi bangsa yang plural dan toleran demi menjaga kondusivitas hidup berbangsa dan bernegara.

Dua kekuatan tersebut sesungguhnya tidak sebanding secara basis masa, tapi karena kelompok yang berada di belakang Prabowo ini memainkan isu-isu populisme, populisme Islam tepatnya, maka kekuatan tersebut kelihatan sangat besar karena ditopang oleh kekuatan 'orang per orang' yang bahkan tidak mengerti tujuan politik populisme Islam itu sendiri.
Isu yang digoreng oleh gerakan populisme Islam pun sebenarnya merupakan isu-isu pasaran yang remeh temeh. Seperti isu penistaan agama, kriminalisasi ulama, pemerintahan yang pro-kafir, toghut dan sebagainya. Tapi, semua isu tersebut sesungguhnya mengarah pada satu isu besar yaitu tersisihnya 'umat Islam' dari sumber daya politik dan ekonomi sehingga kekuasaan harus direbut.
Jika anda adalah korban ketidak tahuan dari arah gerakan ini, anda tidak perlu repot-repot mencari arti kata 'populis' di KBBI atau kamus ilmiah. Anda cukup mempertanyakan kata 'umat Islam' dalam isu besar di atas. Umat Islam YANG MANA yang tersisih? Kecuali kalau anda seorang HTI, atau Mayat Hidup HTI dan atau Simpatisan -maaf- dungu HTI, maka 'ya', anda adalah 'umat Islam' yang tersisih itu.
Populisme Islam sendiri, sejatinya bukanlah gerakan ideologi. Populisme Islam hanyalah strategi komunikasi untuk merebut kekuasaan. Karena bukan ideologi, maka mereka bisa bergabung dengan siapa saja dan memusuhi siapa saja. Termasuk memusuhi NU sebagai organisasi Islam terbesar di dunia. Bahkan, mereka juga halal untuk berbohong dan bertindak apa saja -bahkan yang bertentangan dengan ajaran Islam- demi mulusnya agenda politik kekuasaan, termasuk bertindak un-toleran, memberikan klaim kafir, fasik, sesat dan lain-lain.
Mengapa saya sebut demikian, karena jangankan dengan rekan yang beda agama, dengan rekan seagamapun, jika berbeda pandangan dan pendapat, maka akan dianggap musuh Islam dan harus diperangi. Sungguh terlalu !!!
Bahkan, mereka sampai tega menyebut pemerintahan Jokowi sebagai Rezim Anti Islam. Menurut saya, ini merupakan tuduhan yang berlebihan. Apalagi, jika dasar Anti Islam itu hanya bertendensi pada momentum pembubaran HTI. Sebuah organisasi sampah yang sudah tidak diterima di dunia dan -mungkin- juga di akhirat.
Nah, momentum demi monentum dikelola sedemikian rupa sejak saat itu. Bangkai-bangkai HTI yang masih 'gentayangan', sangat jelas berdiri dibelakang salah satu calon. Padahal mereka dengan gamblang mengatakan bahwa demokrasi adalah toghut. Mereka juga sadar, bahwa hidup mati organisasinya bergantung pada demokrasi. Bahkan, mereka juga sadar, bahwa pasangan capres yang didukungnya adalah cermin dari keluarga yang pluralis, yang tidak Islam-islam banget seperti yang mereka harapkan. Dan hal tersebut jelas kontras dengan pasangan sebelah yang jelas-jelas ulama, yang alim dan pernah jadi petinggi yang diperhitungkan di sebuah organisasi Islam berskala Internasional. Tapi sekali lagi, karena populisme yang mereka usung bukanlah sebuah ideologi, maka menjadi munafik tidaklah masalah.
Jadi, capres yang mereka usung hanya akan dijadikan tumbal untuk membangkitan HTI atau minimal Ideologi Khilafah yang telah mati dibantai oleh rezim yang di klaim anti Islam. Atau dalam bahasa yang lebih kejam, pilpres ini adalah wahana balas dendam. Ironisnya, balas dendam semacam ini di wacanakan kepada publik dan diyakini sebagai bentuk jihad.
Jika hal ini sampai terjadi, maka kita yang ikut memilih capres yang diusung HTI akan terkena “kutukan” dari arwah para pahlawan, para Kiai dan Wali yang telah gugur berjuang untuk kemerdekaan NKRI. Mereka akan marah kepada kita karena telah ikut andil dalam 'ritual sesat' pembangkitan HTI.
Saya sendiri sebagai warga NU secara struktural dan kultural, berasumsi bahwa menjatuhkan pilihan kepada calon yang didukung oleh bangkai-bangkai HTI adalah bentuk pengkhianatan terhadap para Ulama NU dan para santri, yang mempunyai andil besar dalam berdirinya NKRI. Hal itu juga berarti merobek-robek panji kebesaran NU di hadapan para ulama pendiri NU.
Untuk itu, sebagai santri dan warga NU yang waras, bagi saya, pilpres 2019 ini adalah salah satu 'thoriqoh' untuk menyempurnakan “kematian” HTI agar arwah mereka tenang di alam sana. Kecuali jika anda adalah simpatisan dungu HTI yang tidak paham arah politik populisme Islam yang diusung oleh zombi-zombi ini, anda tidak perlu khawatir terhadap proyek un-toleran ini. Yang jelas, anda harus ikhlas dimanfaatkan sebagai tunggangan politik dan akhirnya dikhianati. Ups, selain itu, bersiaplah untuk mengangkat senjata, karena bisa jadi, Indonesia akan dibuat seperti negara-negara di Timur tengah.
)* Penulis adalah penggiat literasi di PP. Riyadus Sholihin.
AGAMA MEMAKNAI GLOBALISASI

AGAMA MEMAKNAI GLOBALISASI


Oleh: Achmad Rois)*
Di tengah kehidupan yang serba modern ini, globalisasi menjadi perbincangan menarik untuk diketengahkan dengan tema apapun. Globalisasi akrab disebut-sebut sebagai zaman dimana teknologi menjadi kebutuhan utama dalam menjalani aktifitas sehari-hari. Dari mulai memasak, mencuci pakaian, sampai dengan urusan agama pun terkait dengan teknologi. Bahkan globalisasi akan menjadi tema yang menarik jika dibahas dari kacamata dan fenomena-fenomena keagamaan. Agama sendiri memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan sosial dan kultural. Sedangkan globalisasi, khususnya teknologi informasi, memiliki dampak yang tidak kalah serius jika dibandingkan dengan Agama. Dampak dari globalisasi ini bisa berpengaruh terhadap budaya, sistem nilai dan tata hidup sehari-hari.
Faktanya, globalisasi memberikan banyak kemudahan pada masyarakat yang akrab dengan teknologi-teknologi mutahir seperti internet. Saat ini, internet sudah menjadi wahana utama bagi masyarakat global untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan mereka tentang apapun. Seluruh informasi pergumulan global tentang masalah sosial, budaya, politik, ekonomi bisa di akses dengan cepat dan mudah dari sini. Masalah agama, yang pada umumnya berisi doktrin-doktrin agama juga tidak luput dari kemudahan mengakses informasi; internet. Sehingga saat ini, orang lebih sering mendatangi WARNET (warung internet) ketimbang hadir dipengajian-pengajian atau bersilaturahmi ke rumah pemuka agama untuk mendapatkan pencerahan mengenai problem keagamaan dan kehidupan sehari-hari.
Wajah baru globalisasi dan kemudahan mengakses informasi agama ini tentu menimbulkan budaya baru dalam kehidupan sosial keagamaan. Jika dahulu masyarakat mendapatkan informasi keagamaan dari para Guru atau pemuka-pemuka agama melalui madrasah atau pengajian-pengajian umum, maka saat ini, setiap orang hanya perlu pergi ke warnet atau membuka laptop di dalam kamar untuk mendapatkan informasi keagamaan yang mereka butuhkan. Budaya semacam ini merupakan dampak globalisasi yang dimaknai dengan dangkal dan tanpa filter. Hingga akhirnya menghasilkan manusia-manusia bermental konsumeris atau cenderung menyukai sesuatu yang instan, siap saji.
Masalah lain yang timbul seiring dengan gencarnya teknologi informasi ini adalah masuknya wajah-wajah neo-liberalisme dan kapitalisme yang diejawantahkan pada budaya konsumerisme. Wajah-wajah ini hadir bersama karakteristiknya yang khas, yaitu memperjelas sistem hierarki sosial. Tujuan utama sistem ini adalah memperjelas defenisi mengenai kaya, miskin, bahagia, sukses, kehormatan dan hina dari kacamata duniawi. Semua kata tersebut menjadi sebuah sistem nilai baru dimana uang, kemewahan dan kepemilikan barang-barang tertentu menjadi barometer. Hingga akhirnya tercipta sebuah jurang pemisah yang amat dalam antara si Kaya dan si Miskin.
Pada awalnya mungkin hanya soal kepemilikan barang-barang seperti emas, mobil, deposito, hand phone, laptop, rumah mewah, perabot mahal atau semacamnya. Namun kemudian hal ini mulai meluas kepada terbentuknya komunitas tertentu dalam interaksi sosial. Misalnya komunitas arisan istri-istri pejabat, sekolah anak-anak orang kaya, komunitas car modification, dan komunitas-komunitas lain yang diskriminatif. Dengan begitu, anak-anak orang kaya mulai dilarang bergaul dengan anak-anak pedagang kaki lima, serta budaya pamer kemewahan dunia mulai dipupuk rata. Sehingga semakin jelaslah bahwa dualisme Kaya dan Miskin, Kuat dan Lemah, Besar dan Kecil adalah sesuatu yang wajib ada dalam pergaulan sosial masyarakat di era globalisasi. Jika sudah seperti ini teori Evolusi Darwin pun mulai tampak tidak bisa disangkal, karena sesungguhnya teori itu ingin berkata bahwa “yang kuat harus menindas yang lemah”.
Globalisasi sudah mereduksi banyak sistem nilai dalam interaksi sosial, misalnya nilai sopan santun dan kekeluargaan. Globalisasi mulai mengurangi volume silaturahmi, kekeluargaan dan perkumpulan-perkumpulan fisik. Kalaupun budaya berkunjung ke rumah teman, ngobrol-ngobrol dan diskusi itu masih ada, efektifitas pergaulan semacam itu sudah semakin berkurang. Bagaimana tidak, saat teman yang satu berbicara, yang lain lebih asyik membaca sms atau mengakses jejaring sosial. Mereka lebih suka berhubungan dengan khayalan ketimbang menghadapi kenyataan. Selain kurangnya sopan santun, hal ini juga berdampak pada melemahnya mental dalam berkomunikasi secara ekternal. Karena teknologi, khususnya internet sudah mampu menjajah waktu kita dan membuat kita semakin individualis.
Singkatnya, kita tidak lagi dijajah secara fisik, tapi sudah lebih parah dari itu. Globalisasi sudah menjajah kita dari banyak sisi. Mereka menjajah waktu kita dan mengeksploitasi otak kita untuk terus memikirkan hal-hal yang tidak nyata. Budaya dan cara kita bergaul yang kini semakin individual juga merupakan bentuk penjajahan. Globalisasi terus mencekoki kita dengan berbagai teknologi sehingga kita menjadi generasi yang manja dan tidak kreatif, karena kita mulai menyukai sesuatu yang gampang dari pada berjuang untuk mendapatkan sesuatu. Secara ekonomi kita dituntut untuk bekerja keras hanya untuk dapat membeli barang-barang baru dengan teknologi yang semakin canggih.
Globalisasi membuat kita lebih suka bergaul dalam kelompok atau komunitas-komunitas tertentu. Kelompok-kelompok tersebut mulai membuat group-group tertentu di internet. Fasilitas ini lah yang nantinya dijadikan ajang ngobrol-ngobrol tanpa muka dan senyum yang nyata. Jadi tidak heran jika saat ini banyak sekali modus kejahatan di internet, atau sering dikenal dengan istilah cyber crime. Karena orang tidak bisa lagi mengetahui apakah lawan bicaranya ini serius, bergurau atau bahkan berbohong. Globalisasi mulai menjadikan manusia-manusia pembual dan mudah dibohongi hanya dengan kata-kata sebait atau dua bait.
Dari sisi keagamaan, seperti yang sudah disinggung di atas, masyarakat yang kini terggelam dalam arus globalisasi sudah menjauhkan diri dari para pemuka agama dan pengajian-pengajian Agama. Kyai mulai disisihkan dengan berbagai pretensi, misalnya, Kyai dianggap sebagai sosok yang otoritatif dan tidak komunikatif. Dakwah-dakwahnya dianggap kuno karena melulu menggunakan metode ceramah dan sama sekali tidak dialogis. Bahkan sebagian Kyai dianggap cabul karena memiliki istri lebih banyak dari yang lain. Dari sisi kelembagaan misalnya, pesantren dianggap menjalankan sistem feodal seperti penjajah belanda pada masa itu. Para santri di pesantren-pesantren, khususnya di pulau Jawa, disuruh mengerjakan sawah, mencuci pakaian, menyapu rumah dan lain sebagainya seperti pembantu rumah tangga. Padahal itu semua adalah kemauan dari santri-santri itu sendiri untuk mendapatkan ridho Allah melalui ridho dan doa para Kyai.
Hal-hal yang berkaitan dengan wacana tersebut sudah marak kita jumpai di internet. Semua informasi tersebut dibesar-besarkan seakan-akan yang mereka katakan adalah sebuah kebenaran. Kemudian dalam sejam saja, informasi tersebut sudah dibaca oleh ribuan pengguna internet. Bisa kita bayangkan betapa cepatnya seseorang ingin merusak orang lain, paling tidak dari sisi pencitraan. Baik itu pencitraan personal, kelembagaan pesantren atau bahkan kebenaran Agama. Kebenaran dalam hal apapun, khususnya kebenaran Agama, saat ini sudah sangat mudah dimanipulasi oleh oknum beragama hanya dengan menggunakan media internet, televisi, radio dan lain-lain. Tujuan mereka yang beragam membuat mereka semakin kreatif dalam menjelek-jelekkan orang lain dan membenarkan diri atau kelompok mereka sendiri.
Jika dicermati, semua itu adalah usaha-usaha yang dilakukan oleh segelintir orang yang ingin meraup keuntungan duniawi dengan cara menjauhkan masyarakat, khususnya komunitas keagamaan, dari agama itu sendiri. Dengan berbagai jalan yang mereka tempuh, saat ini sudah dapat kita lihat keberhasilan mereka dalam menjauhkan manusia dari agama dan Tuhan. Jika pada zaman sebelum globalisasi bergulir, para pemimpin keagamaan menjadi sumber central dari nilai-nilai kebaikan dan pergaulan sehari-hari. Mereka selalu menjadi orang nomor satu yang ditemui dan dimintai pendapat untuk menyelesaikan problem-problem keagamaan atau bahkan non-keagamaan. Maka, di era ini, masyarakat lebih suka mencari solusi di internet untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga hal ini mempunyai konsekuensi bahwa posisi Agama dan pemimpin keagamaan sudah tergantikan oleh internet.
Akhirnya, kita harus mulai sadar bahwa sejak abad 20, semangat globalisasi yang diisi dengan kampanye sekularisasi dan modernisasi dalam bentuk apapun – baik itu kemajuan teknologi informasi, budaya, busana, makanan, dan lain-lain – hanya mengemban satu misi, yaitu menjauhkan Tuhan dan Agama dari kehidupan publik. WALLAHU A’LAM.
)* Penulis Adalah Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung
NEGARA SEKS-ISME

NEGARA SEKS-ISME


Oleh: Achmad Rois)*
Indonesia secara geografis dan kebudayaan merupakan Negara Timur. Kebanyakan Negara di belahan Timur tergolong sebagai bangsa yang sopan dan ramah, baik secara interaksi sosial maupun budaya. Budaya dapat diartikan dalam banyak hal, terserah dari sudut mana anda memandang kata budaya, bisa prilaku, tata bahasa, adat istiadat, karakter kebangsaan atau busana dan mode. Indonesia sendiri dianggap sebagai Negara yang tergolong “sopan” dalam banyak hal oleh Negara-negara lain dari seluruh belahan dunia. Dari sisi bahasa misalnya, Indonesia memiliki gaya bahasa yang santun dan menjunjung tinggi penghargaan terhadap orang lain sebagai lawan bicara. Secara adat dan prilaku masyarakat dalam interaksi sosial, Indonesia memiliki ciri khas “menyayangi yang muda dan menghormati yang lebih tua”. Dan dari sisi pakaian atau busana, Indonesia tergolong sebagai Negara yang santun dalam hal berpakaian. Meskipun ukuran “santun” dalam hal ini bisa bermakna berbeda di setiap daerah yang ditempatinya. Namun secara global, masyarakat Indonesia dapat dibilang “santun” dalam hal tata busana.
AGAMA SEBAGAI RUH PENDIDIKAN

AGAMA SEBAGAI RUH PENDIDIKAN

Oleh: Achmad Rois)*

Peran sosial agama telah ditutupi oleh tangan-tangan angkuh pendusta agama. Tidak sepantasnya tangan-tangan angkuh itu mengklaim kebenaran agama atas nama Tuhan.
(Dr. Ahmad Ali Riyadi, M.A)
Pendidikan secara umum mempunyai peran yang luhur dan agung. Hal ini sudah menjadi konsensus atau kesepakatan yang sudah disepakati semua pihak dan elemen masyarakat. Pendidikan selalu saja menjadi perbincangan yang menarik untuk diketengahkan dengan tema apapun. Meskipun di beberapa tempat, pendidikan menjadi sesuatu yang asing bahkan tidak menarik lagi untuk diperhatikan. Pendidikan saat ini mulai dipandang dari sudut yang sangat sempit. Misalnya, pendidikan oleh sebagian orang dianggap sebagai peramal dan penentu masa depan yang pasti. Maksudnya, jika seseorang belajar ilmu kedokteran, maka dipastikan atau diramalkan dia akan menjadi seorang dokter, dan begitu seterusnya.
Apakah paradigma ini salah?  Cari tahu jawabannya disini !!!
KASIH IBU YANG TERLUPAKAN

KASIH IBU YANG TERLUPAKAN


(Sebuah Renungan untuk Anak Negeri)
Oleh: Ahmad Rois)*
Bulan Desember boleh dibilang sebagai bulan yang penuh dengan kenangan. Bagaimana tidak, bulan ini adalah bulan perpisahan antara satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang. Bulan ini memiliki beberapa moment penting yang biasa diperingati oleh berbagai golongan. Misalnya, Hari Anti Korupsi se-Dunia yang jatuh pada minggu kedua bulan Desember, tepatnya tanggal 9 Desember, selanjutnya Hari Ibu yang jatuh pada tanggal 22 Desember, dan Hari Natal bagi umat yang merayakannya pada tanggal 25 Desember.
Sebagai bulan terakhir, Desember menjadi bulan pengenang sebelas bulan yang telah berlalu. Sejarah yang lalu akan segera diukir dalam tumpukan arsip-arsip yang memiliki sedikit kemungkinan untuk dibuka lagi tahun depan. Lembaga-lembaga pemerintahan atau non-pemerintah sibuk menyiapkan laporan pertanggung jawaban mereka. Berbagai hal mereka lakukan, dari mulai rekapitulasi dana anggaran sampai menghabis-habiskan dana anggaran yang masih tersisa dengan mengadakan kegiatan fiksi atau kegiatan sungguhan yang sama sekali tidak ada manfaatnya. Lembaga pendidikan sibuk menyiapkan rancangan proposal anggaran baru untuk tahun depan, sementara anggaran tahun ini sudah habis entah dalam “perut” siapa. Lembaga pertanian, pertahanan, sosial bahkan keagamaan pun bernasib sama, kehabisan anggaran entah dalam “perut” siapa.
Fenomena di atas seakan sudah menjadi tradisi yang sangat lestari dalam dunia orang-orang berdasi dan berjas rapi. Jadi tidaklah mengherankan apabila berita mengenai korupsi, masih kita dengar setiap hari di televisi. Mereka terlalu sibuk dengan urusan ini dan itu, sehingga lupa dengan tugas mereka di pemerintahan, apalagi dengan peringatan-peringatan hari besar yang hanya diperingati sebagai formalitas belaka, tanpa isi tanpa esensi, semua hanya bualan fiksi dalam tradisi yang sudah usang dan basi.
JAWA ADALAH ISLAM

JAWA ADALAH ISLAM


Oleh: Achmad Rois)*
Pengantar Identitas
Minggu lalu, “penidur bodoh” ini sudah berbicara tentang peradaban yang kian mengurangi nilai adab itu sediri. Adalah ketika kemajuan zaman dimaknai sebagai ombak besar yang meng-erosikan nilai-nilai luhur budaya lokal dan religiusitas penduduknya. Pada kesempatan yang di-Rahmati Tuhan ini, penulis akan mengundang Anda menggunakan logika paling sederhana bahwa “lampu hanya akan diletakkan di tempat yang gelap atau paling gelap”. Tulisan ini akan berjalan cukup lama dan panjang, jadi jika Anda tidak siap untuk menerima konsekuensi ini, tinggalkan dan carilah tulisan lain untuk dibaca.



Hari ini, saat saya menulis, saya adalah orang Indonesia yang sedang sangat mencintai kewarganegaraan saya, meskipun saya sendiri tidak begitu yakin apakah Negara dan Bangsa ini pantas mendapatkan cinta saya. Kemudian, saya adalah orang Jawa (etnisitas) yang sangat menjunjung tinggi keluhuran budayanya secara filosofis maupun religius. Dan di sisi lain, agama saya adalah Islam, karena di KTP saya tertulis begitu.
Jawa dan Islam dalam Idealitas
Berbicara mengenai budaya Jawa, berarti mengarungi budaya penuh simbologi dan mitologi. Jawa memiliki sejuta, bahkan lebih, simbol-simbol dan mitos yang penuh dengan makna filosofis. Simbol-simbol dengan makna filosofis ini yang selanjutnya akan kita sebut dengan “Falsafah Jawa”. Falsafah Jawa ini juga terkait kepada budaya spiritual orang Jawa yang mulia, yang kemudian menjadi falsafah hidup mereka. Pada tulisan ini akan saya ketegahkan beberapa saja dari keluhuran falsafah Jawa, karena saya memang tidak tahu begitu banyak, tapi saya akan terus mencarinya, meskipun usaha saya tidak akan pernah selesai karena memang begitu kayanya falsafah hidup Jawa yang mulia ini.
Falsafah Jawa yang sangat terkenal dan menjadi landasan aksara Jawa adalah “HA-NA- CA-RA-KA”. Ha-na artinya ‘nyata ada’, mengiaskan ilmu kasunyatan. Dalam epistemologi modern pengetahuan ini dikenal dengan Realitas atau Pengalaman Empiris. “CA-RA-KA” mengandung aksara yang menyiratkan kata cipta-rasa-karsa, yakni salah satu sumber kelengkapan hidup manusia. “DA-TA-SA-WA-LA”, mengiaskan dzat yang data-sawala, yakni dzat yang tidak pernah salah dan tidak pernah bisa salah, yaitu Dzat Tuhan. Tuhan memberi manusia beberapa sifatnya, yaitu sifat baik dan buruk. Kedua sifat tersebut sama kuatnya, “PA-DHA-JA-YA-NYA”, sama jayannya. “MA-GA-BA.THA-NGA”, Ma, menyiratkan kata ‘sukma’, dan Ga, menyiratkan kata angga (badan). Maksudnya, jika Sukma masih bersatu dengan badan, manusia itu masih hidup, tetapi jika sukma telah meninggalkan badan, manusia itu mati, tinggal ba-tha-nga yaitu bangkainya, dan sukmanya kembali kepada Tuhan.
Falsafah Jawa selanjutnya adalah sikap mental atau keadaan batin yang ideal menurut orang Jawa. Orang jawa memahami bahwa unsur sentral cara bersikap dalam kehidupan mereka ada rila, nrimo dan sabar. Sikap ini yang akan melandasi sikap orang Jawa dalam menghadapi segala hal. Rila disebut juga dengan eklas, yaitu kesediaan menyerahkan segala milik, kemampuan, dan hasil karya kepada Tuhan. Nrima berarti merasa puas dengan nasib dan kewajiban yang telah ada, tidak memberontak, tetapi mengucapkan terima kasih. Sabar menunjukkan ketiadaan hasrat, ketiadaan ketak-sabaran, dan ketiadaan nafsu yang bergolak.
Sikap pertama, yaitu rila atau eklas, dalam Islam juga dikenal dengan sebutan Ikhlas. Ikhlas secara etimologi berasal dari kata Kholasho yang berarti bersih, tiada bercampur. Kemudian Khollasho dengan lam yang ditasydid berarti melepaskan, dan isim faa’ilnya adalah Khoolisun yang berarti yang bersih, yang murni. Defenisi etimologis ini mengantarkan kita kepada sebuah pemahaman bahwa dalam memberikan sesuatu kita harus “bersih”. Bersih yang pertama adalah bersih yang kita berikan. Artinya, yang kita berikan adalah sesuatu yang harus berada dalam keadaan baik dan halal, jika konteksnya Islam disebut dengan “halalan thoyyiba”. Kemudian bersih yang kedua berarti murni, yaitu melepaskan segala sesuatu yang membuat kita mengharapkan balasan dari orang yang kita beri. Jadi, Ikhlas adalah melakukan atau memberikan sesuatu hanya karena Tuhan, dan tidak mencampuri tujuan tersebut dengan tujuan lain seperti, penghargaan dari orang banyak, popularitas politik, penghormatan dan lain-lain. Dan implementasi falsafah ini dalam tradisi jawa disebut sepi ing pamrih.
Sikap selanjutnya adalah nrima, yaitu bentuk rasa syukur dan kepasrahan total terhadap apa yang telah ditakdirkan Tuhan. Dan dalam agama yang tertulis dalam KTP saya tadi diajarkan bahwa manusia harus percaya pada Takdir Tuhan (rukun Iman), kemudian harus bersyukur terhadap nikmat yang deberikan Tuhan. Perintah untuk bersyukur ini begitu seringnya saya dengar disetiap pembukaan Khutbah Jum’at, Ceramah-ceramah keagamaan dan dibanyak forum lain yang pernah saya ikuti. Saya tidak pernah bertanya kepada mereka kenapa kita harus bersyukur, tapi ketika saya mencoba untuk tidak bersyukur sehari saja, betapa sedikitnya keberkahan yang saya terima saat itu. Kemudian saya putuskan untuk mengambil kesimpulan bodoh bahwa “saya memang harus berterimakasih, meskipun saya tidak tahu atau bahkan tidak percaya bahwa ada yang memberi sesuatu untuk saya, dan saya nikmati itu”.
Dalam kaitanya dengan Tuhan, falsafah Jawa mengajarkan kita untuk bersikap nerima ing pandum, yakni menerima dengan sumeleh terhadap pemberian Tuhan. Tapi sikap ini tidak dapat digolongkan kedalam sikap fatalistik. Penganut fatalistik percaya bahwa semua kejadian sudah diputuskan dan ditetapkan oleh Tuhan pada permulaan wujud, sehingga usaha-usaha manusia tidak dapat mengubahnya. Dalam konteks Islam, “sesungguhnya Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka sendiri yang mengubahnya”. Ini berarti bahwa campur tangan atau usaha manusia tetap saja dibutuhkan dalam menjalani takdir yang sudah ditetapkan. Selain ayat ini, banyak lagi ayat lain yang menggunakan retorika tersirat bahwa manusia tetaplah harus berusaha, meskipun pada akhirnya Tuhan juga lah yang akan menentukan semuanya.
Masih senada dengan syukur atau nrima, Jawa mengenal istilah urip manungsa pinasthi ing Pangeran, hidup telah ditakdirkan, tapi tidak berarti kita hanya diam. Orang Jawa memaknai hidup adalah senantiasa bergerak, jika orang hidup hanya diam, berarti sama saja dengan mati. Adapun watak nrima sebenarnya tetap disertai usaha terlebih dahulu, baru kemudian pasrah dan sumarah. Pasrah adalah kondisi tunduk takluk pada takdir, ibaratnya tangan tengkurap, merunduk. Sedangkan sumarah adalah berserah diri dengan cara mengulurkan tangan. Dengan kata lain nrima tidak berarti hanya berdiam diri seperti menunggu datangnya embun pagi. Ini menjadi menarik ketika makna Islam itu sendiri juga berarti pasrah dan tunduk. Jadi, orang Jawa sebenarnya sudah Islam bahkan sebelum Islam itu sendiri datang ke Jawa.
Falsafah sabar tentu juga sudah sangat jelas, baik secara etimologi jawa maupun Islam. Sifat ini begitu mulianya, sampai Tuhan dengan sangat berani berfirman bahwa Dia bersama orang-orang yang sabar. Selain itu, Tuhan juga memerintahkan kita untuk meminta pertolongan dengan sabar dan sholat. Ada banyak tafsir mengenai hal ini, tapi secara garis besar, Tuhan menyayangi orang yang sabar, dan tanpa kesabaran, sholat hanya akan berada pada koridor yang formal, tanpa ruh dan tanpa penghayatan.
Falsafah lain yang juga penting dalam epistemologi Jawa adalah “sak bejha-bejhane wong luwih bejho wong kang eling lan waspodho”. Kalimat ini selalu mengingatkan saya pada sebuah stasiun radio swasta yang berada di daerah timur kota Tulungagung, Ngunut. Kalimat ini sering sekali saya dengar ketika ngopi di kantin PPHM. PPHM adalah tempat dimana saya sangat suka dan lebih memilih tidur pulas ketimbang ngaji kitab kuning. Tapi saya tetap mencintai tempat ini, karena saya pernah tinggal dan tidur di sana beberapa hari.
Kembali pada falsafah di atas, Eling menjadi perwujudan hidup yang berdimensi vertikal (transendental). Jadi yang dimaksud dengan eling ini adalah senantiasa ingat pada Tuhan sebagai Maha Pencipta, dan eling terhadap hakikat diri manusia itu sendiri. Dalam Islam, sholat juga berarti dzikir atau senantiasa mengingat dan berserah diri pada Tuhan. Dan dalam ayat yang lain, sering sekali kita dengar bahwa “man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa robbahu”. Waspada adalah watak kehati-hatian, yang berdimensi horizontal. Waspada mengindikasikan watak dasar manusia Jawa yang melaksanakan segala sesuatu berlandaskan situasi kontekstual. Hal ini juga akan merujuk pada pemikiran yang selalu tanggap pada kejadian-kejadian di sekelilingnya. Segala kejadian akan turut menentukan tanda-tanda hadirnya takdir, karena itulah perlu diwaspadai agar hidupnya aman, tenteram dan damai.
Dalam pengembaraan orang Jawa guna mencari Tuhan, mereka mengenal banyak istilah, seperti “mati sajroning urip, sangkan paraning dumadi, dan manunggaling kawulo Gusti”. Orang Jawa juga mempunyai pandangan bahwa hakikat Tuhan itu memiliki sifat dan afngal. Sifat Tuhan itu Esa, tak ada yang menciptakan. Ini senada dengan Surat Al-Ikhlas, Dialah Tuhan yang Maha Esa, Tidak beranak dan diperanakkan. Sedangkan Afngal berarti Tuhan itu tidak dapat dilihat dan tidak berwujud. Orang Jawa juga sangat percaya dan yakin bahwa ada Dzat di luar diri mereka yang lebih Kuasa di atas segalanya. Sama seperti orang Islam yang juga yakin bahwa Tuhan adalah Dzat dengan segala Kesempurnaanya.
Orang jawa juga mengenal istilah manungsa utama yang dalam Islam disebut dengan insan kamil. Untuk mencapai taraf ini, orang Jawa mengenal proses ajur ajer yang dalam istilah tasawuf disebut fana, yaitu menganggap diri ini tidak ada, hanya Tuhanlah yang Maha Ada. Karena itu orang Jawa selalu menyikapi hidup dengan penuh keyakinan bahwa hanya Tuhanlah yang kekal dan abadi. Dunia bathin ini dimanifestasikan dalam istilah “menyang donya mung mampir ngombe”. Meskipun demikian, hidup yang sementara ini tidak dijalani dengan hanya berpangku tangan, tapi dengan perjuangan dan proses. Mereka memahami bahwa hidup adalah perjalanan dari tiada, ada, ke tiada lagi. Kerena mereka memahami bahwa hidup sudah ditentukan, dan hidup hanya untuk sementara, maka orang Jawa tidak menjalani hidup ini dengan ngaya (ambisius). Hati mereka merasa tenang dan menyikapi hidup sebagai cakramanggilingan, yang artinya berputar dari waktu ke waktu, menuju kesempurnaan.
Catatan Akhir
Tulisan ini akan bertambah panjang jika saya terus menyebutkan lebih banyak lagi falsafah Jawa yang mulia dan relevan dengan ajaran Islam. Ada sejuta bahkan lebih banyak lagi mitologi dan simbologi jawa yang lain, dan yang sangat berharga dalam kajian ini. Namun itu menjadi tugas Anda untuk menggali kekayaan tradisi Jawa lebih lanjut, karena saya meletakkan kajian ini sebagai pengantar pengetahuan kita tentang mulianya produk manusia Jawa sebelum peradaban Islam datang ke Indonesia secara umum dan Jawa khususnya.
Kajian ini terlihat menyamaratakan antara Jawa dan Islam. Dan saya akan sangat tidak setuju dengan statemen tersebut. Jawa tetaplah etnis, dan budaya yang dilahirkannya tetap saja ciptaan manusia. Sedangkan Islam adalah Agama, dan segala sistem dan nilai yang diajarkannya berasal dari Keagungan Tuhan yang mempercayakan Agama tersebut disosialisasikan oleh Muhammad SAW. Muhammad sendiri bukan orang Jawa, beliau kita kenal berasal dari bangsa Arab dari keturunan suku Quraisy.
Melalui pengetahuan ini, akan saya tanamkan kepada Anda bahwa Anda sebagai orang Indonesia pada umumnya, dan khususnya orang Jawa, harus berbangga hati karena Nabi Muhammad SAW yang dimuliakan Tuhan itu tidak lahir dari suku Jawa atau bukan orang Indonesia. Mengapa ini perlu dipahami? Saya sangat prihatin ketika ada beberapa orang dari kita yang merasa minder memeluk Agama Islam hanya karena Nabi Muhammad SAW bukan orang Jawa. Perlu diketahui bahwa Islam bukan hanya milik orang Quraisy, Islam adalah rahmatal lil ‘alamin. Kitabnya, Alqur’an berlaku sepanjang masa dan untuk siapa saja, meskipun Tuhan terkadang diskrimintif dalam ayat-ayatnya, seperti ketika memanggil “hai orang-orang yang beriman, bertakwa, berpikir, kafir dan panggilan-panggilan lain yang secara spesifik ditujukan pada orang-orang tertentu yang Dia kehendaki”. Tapi dalam banyak ayat, secara tegas Tuhan memanggil “hai manusia”, yang berarti tanpa ada batasan suku, agama, kewarganegaraan, warna kulit, status sosial dan status-status lain.
Keprihatinan kedua adalah ketika saya mendengar begitu banyak orang mengagung-agungkan orang arab, bahasa arab dan Nabi Muhammad yang berasal dari arab. Sehingga seakan-akan hanya orang Islam dari arablah yang Islamnya paling sempurna. Sampai budayanya pun dibawa-bawa sebagai identitas Islam yang ada di jazirah selain Arab, termasuk Indonesia. Seperti jubahnya, surbannya, gaya bicaranya dan banyak lagi Arabisasi yang diberhalakan. Saya tidak terlalu suka dengan paham semacam ini, dan setelah saya menelusuri sedikit demi sedikit keluhuran budaya Jawa sebelum datangnya Islam ke Indonesia, saya justru lebih tidak suka lagi. Saya merasa bahwa Tuhan menetapkan saya sebagai orang Jawa yang mengenal Islam-nya Muhammad SAW, supaya saya menjadi orang Jawa yang Islam seperti Islam-nya Muhammad. Dan saya sangat yakin bahwa Tuhan memang menginginkan saya menjadi orang Islam Indonesia, bukan orang Islam Arab. Tapi kalaupun Tuhan menghendaki saya mempelajari budaya Arab dan Bahasa Arab, itu hanya untuk menjadikan saya sebagai manusia Indonesia, bukan menjadi orang Arab pula.
Selanjutnya, setelah kita cermati keluhuran materi-materi Jawa dengan segala mitologi dan simbolnya. Secara kasar, dapat kita simpulkan bahwa orang Jawa secara umum memiliki kesadaran yang sama dalam hal pencarian Tuhan, seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS dalam usahanya mencari Sang Pencipta. Dan orang Jawa melakukan itu dengan sangat hati-hati dan penuh kesungguhan. Dari sisi Akhlak, kemuliaan akhlak orang Jawa banyak sekali dicerminkan dari cara orang Jawa menyikapi kehidupan. Dan kepercayaanya terhadap hal-hal ghaib, termasuk hari akhir atau hari setelah mati juga digambarkan dalam banyak persepsi falsafah Jawa.
Sebagai pembanding, mari kita kenang kembali pengetahuan kita mengenai sejarah pra-Islam di jazirah Arab yang sering dibangga-banggakan orang itu. Singkatnya, peradaban masa itu sangat-sangat buruk dan keji. Barulah ketika Islam datang dan membawa pencerahan dimasa kegelapan itu, peradaban mulai berangsur membaik dan kian membaik sampai pada klaim Makkah al Mukarromah dan Madinah al Munawwaroh.
Sampai di sini, jelaslah sudah bahwa keadaan pra-Islam di Jawa sangat berbeda dengan keadaan pra-Islam di Arab. Untuk sekedar mengingatkan, sering sekali kita dengar puji-pujian terhadap Nabi Muhammad, “anta samsun anta badrun”, yang mengindikasikan bahwa Muhammad adalah Cahaya Peradaban. Sampai di sini sudahkan Anda mampu menangkap pesan yang ingin saya sampaikan bahwa “Lampu hanya diletakkan di tempat yang gelap, atau paling gelap”. Maka dengan sangat percaya diri saya katakan bahwa orang Jawa sebelum Islam tidak seburuk orang Arab sebelum Islam. Jadi, kita sebagai orang Jawa khususnya, dan orang Indonesia umumnya, harus bangga karena Nabi Muhammad tidak lahir dari Rahim orang Jawa dan tidak berkewarganegaraan Indonesia.
Tapi perlu saya tegaskan sekali lagi, bahwa Jawa tetaplah Jawa, dan Islam tetaplah Islam. Peradaban Jawa secara Akhlak dan Aqidah sudah hampir sempurna, tapi tanpa Wahyu dari Tuhan dan Ajaran yang disampaikan Muhammad, kesempurnaan itu tidak akan pernah tercapai sampai kapanpun.
Pendukung Kajian:
FALSAFAH HIDUP JAWA, oleh Suwardi Endraswara, (Yogyakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2010).
Kawruh Basa Jawa Pepak, oleh Daryanto, (Surabaya: APOLLO, 1999)
Kamus Ilmiah Populer, oleh Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, (Surabaya: ARKOLA, 1994)
Kamus Arab-Indonesia, oleh Mahmud Yunus, (Jakarta: PT Hidakarya Agung)
SIGARET KRETEK, oleh DJI SAM SOE (Surabaya: PT HM Sampoerna Tbk.)
)* Penulis adalah Aktifis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung
TOILET PENYADARAN

TOILET PENYADARAN

Oleh: Achmad Rois)*
GAE OPO SEKOLAH DUWUR-DUWUR LEK HASILE MEK GAE PERADABAN SOYO MUNDUR

Dunia dengan berbagai kemajuannya sudah sampai di setiap pelosok Negeri ini. Pengaruhnya yang beragam seringkali menjadi perbincangan banyak orang. Setiap sisi selalu mengundang pembahasan berbeda dari sudut pandang yang berbeda pula. Kemajuan zaman sering dinamai dengan globalisasi. Mereka menyebutnya seiring dengan istilah modern yang hampir tiap detik kita dengar di televisi, radio, dan media lain. Seakan dunia benar-benar harus memiliki pandangan yang sama dengan mereka, yaitu pembangunan, globalisasi atau modernisasi.
Sebuah bangsa dikatakan maju jika memiliki peradaban yang beradab, karena memang asal kata peradaban adalah adab. Kita sering memahami istilah Negara maju dari sisi yang justru sebenarnya bukan hakikat. Karena yang kita lihat hanyalah sisi secara empiris yang sepi kearifan. Misalnya hanya dari sisi teknologi, pembangunan infrastruktur, system ekonomi atau politik yang diberlakukan disebuah Negara. Itu hanyalah sebuah sisi dimana peradaban sebenarnya belum termasuk di dalamnya sebagai kemajuan atau kemapanan.