Showing posts with label SASTRA. Show all posts
Showing posts with label SASTRA. Show all posts
KASIH IBU YANG TERLUPAKAN

KASIH IBU YANG TERLUPAKAN


(Sebuah Renungan untuk Anak Negeri)
Oleh: Ahmad Rois)*
Bulan Desember boleh dibilang sebagai bulan yang penuh dengan kenangan. Bagaimana tidak, bulan ini adalah bulan perpisahan antara satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang. Bulan ini memiliki beberapa moment penting yang biasa diperingati oleh berbagai golongan. Misalnya, Hari Anti Korupsi se-Dunia yang jatuh pada minggu kedua bulan Desember, tepatnya tanggal 9 Desember, selanjutnya Hari Ibu yang jatuh pada tanggal 22 Desember, dan Hari Natal bagi umat yang merayakannya pada tanggal 25 Desember.
Sebagai bulan terakhir, Desember menjadi bulan pengenang sebelas bulan yang telah berlalu. Sejarah yang lalu akan segera diukir dalam tumpukan arsip-arsip yang memiliki sedikit kemungkinan untuk dibuka lagi tahun depan. Lembaga-lembaga pemerintahan atau non-pemerintah sibuk menyiapkan laporan pertanggung jawaban mereka. Berbagai hal mereka lakukan, dari mulai rekapitulasi dana anggaran sampai menghabis-habiskan dana anggaran yang masih tersisa dengan mengadakan kegiatan fiksi atau kegiatan sungguhan yang sama sekali tidak ada manfaatnya. Lembaga pendidikan sibuk menyiapkan rancangan proposal anggaran baru untuk tahun depan, sementara anggaran tahun ini sudah habis entah dalam “perut” siapa. Lembaga pertanian, pertahanan, sosial bahkan keagamaan pun bernasib sama, kehabisan anggaran entah dalam “perut” siapa.
Fenomena di atas seakan sudah menjadi tradisi yang sangat lestari dalam dunia orang-orang berdasi dan berjas rapi. Jadi tidaklah mengherankan apabila berita mengenai korupsi, masih kita dengar setiap hari di televisi. Mereka terlalu sibuk dengan urusan ini dan itu, sehingga lupa dengan tugas mereka di pemerintahan, apalagi dengan peringatan-peringatan hari besar yang hanya diperingati sebagai formalitas belaka, tanpa isi tanpa esensi, semua hanya bualan fiksi dalam tradisi yang sudah usang dan basi.
JAWA ADALAH ISLAM

JAWA ADALAH ISLAM


Oleh: Achmad Rois)*
Pengantar Identitas
Minggu lalu, “penidur bodoh” ini sudah berbicara tentang peradaban yang kian mengurangi nilai adab itu sediri. Adalah ketika kemajuan zaman dimaknai sebagai ombak besar yang meng-erosikan nilai-nilai luhur budaya lokal dan religiusitas penduduknya. Pada kesempatan yang di-Rahmati Tuhan ini, penulis akan mengundang Anda menggunakan logika paling sederhana bahwa “lampu hanya akan diletakkan di tempat yang gelap atau paling gelap”. Tulisan ini akan berjalan cukup lama dan panjang, jadi jika Anda tidak siap untuk menerima konsekuensi ini, tinggalkan dan carilah tulisan lain untuk dibaca.



Hari ini, saat saya menulis, saya adalah orang Indonesia yang sedang sangat mencintai kewarganegaraan saya, meskipun saya sendiri tidak begitu yakin apakah Negara dan Bangsa ini pantas mendapatkan cinta saya. Kemudian, saya adalah orang Jawa (etnisitas) yang sangat menjunjung tinggi keluhuran budayanya secara filosofis maupun religius. Dan di sisi lain, agama saya adalah Islam, karena di KTP saya tertulis begitu.
Jawa dan Islam dalam Idealitas
Berbicara mengenai budaya Jawa, berarti mengarungi budaya penuh simbologi dan mitologi. Jawa memiliki sejuta, bahkan lebih, simbol-simbol dan mitos yang penuh dengan makna filosofis. Simbol-simbol dengan makna filosofis ini yang selanjutnya akan kita sebut dengan “Falsafah Jawa”. Falsafah Jawa ini juga terkait kepada budaya spiritual orang Jawa yang mulia, yang kemudian menjadi falsafah hidup mereka. Pada tulisan ini akan saya ketegahkan beberapa saja dari keluhuran falsafah Jawa, karena saya memang tidak tahu begitu banyak, tapi saya akan terus mencarinya, meskipun usaha saya tidak akan pernah selesai karena memang begitu kayanya falsafah hidup Jawa yang mulia ini.
Falsafah Jawa yang sangat terkenal dan menjadi landasan aksara Jawa adalah “HA-NA- CA-RA-KA”. Ha-na artinya ‘nyata ada’, mengiaskan ilmu kasunyatan. Dalam epistemologi modern pengetahuan ini dikenal dengan Realitas atau Pengalaman Empiris. “CA-RA-KA” mengandung aksara yang menyiratkan kata cipta-rasa-karsa, yakni salah satu sumber kelengkapan hidup manusia. “DA-TA-SA-WA-LA”, mengiaskan dzat yang data-sawala, yakni dzat yang tidak pernah salah dan tidak pernah bisa salah, yaitu Dzat Tuhan. Tuhan memberi manusia beberapa sifatnya, yaitu sifat baik dan buruk. Kedua sifat tersebut sama kuatnya, “PA-DHA-JA-YA-NYA”, sama jayannya. “MA-GA-BA.THA-NGA”, Ma, menyiratkan kata ‘sukma’, dan Ga, menyiratkan kata angga (badan). Maksudnya, jika Sukma masih bersatu dengan badan, manusia itu masih hidup, tetapi jika sukma telah meninggalkan badan, manusia itu mati, tinggal ba-tha-nga yaitu bangkainya, dan sukmanya kembali kepada Tuhan.
Falsafah Jawa selanjutnya adalah sikap mental atau keadaan batin yang ideal menurut orang Jawa. Orang jawa memahami bahwa unsur sentral cara bersikap dalam kehidupan mereka ada rila, nrimo dan sabar. Sikap ini yang akan melandasi sikap orang Jawa dalam menghadapi segala hal. Rila disebut juga dengan eklas, yaitu kesediaan menyerahkan segala milik, kemampuan, dan hasil karya kepada Tuhan. Nrima berarti merasa puas dengan nasib dan kewajiban yang telah ada, tidak memberontak, tetapi mengucapkan terima kasih. Sabar menunjukkan ketiadaan hasrat, ketiadaan ketak-sabaran, dan ketiadaan nafsu yang bergolak.
Sikap pertama, yaitu rila atau eklas, dalam Islam juga dikenal dengan sebutan Ikhlas. Ikhlas secara etimologi berasal dari kata Kholasho yang berarti bersih, tiada bercampur. Kemudian Khollasho dengan lam yang ditasydid berarti melepaskan, dan isim faa’ilnya adalah Khoolisun yang berarti yang bersih, yang murni. Defenisi etimologis ini mengantarkan kita kepada sebuah pemahaman bahwa dalam memberikan sesuatu kita harus “bersih”. Bersih yang pertama adalah bersih yang kita berikan. Artinya, yang kita berikan adalah sesuatu yang harus berada dalam keadaan baik dan halal, jika konteksnya Islam disebut dengan “halalan thoyyiba”. Kemudian bersih yang kedua berarti murni, yaitu melepaskan segala sesuatu yang membuat kita mengharapkan balasan dari orang yang kita beri. Jadi, Ikhlas adalah melakukan atau memberikan sesuatu hanya karena Tuhan, dan tidak mencampuri tujuan tersebut dengan tujuan lain seperti, penghargaan dari orang banyak, popularitas politik, penghormatan dan lain-lain. Dan implementasi falsafah ini dalam tradisi jawa disebut sepi ing pamrih.
Sikap selanjutnya adalah nrima, yaitu bentuk rasa syukur dan kepasrahan total terhadap apa yang telah ditakdirkan Tuhan. Dan dalam agama yang tertulis dalam KTP saya tadi diajarkan bahwa manusia harus percaya pada Takdir Tuhan (rukun Iman), kemudian harus bersyukur terhadap nikmat yang deberikan Tuhan. Perintah untuk bersyukur ini begitu seringnya saya dengar disetiap pembukaan Khutbah Jum’at, Ceramah-ceramah keagamaan dan dibanyak forum lain yang pernah saya ikuti. Saya tidak pernah bertanya kepada mereka kenapa kita harus bersyukur, tapi ketika saya mencoba untuk tidak bersyukur sehari saja, betapa sedikitnya keberkahan yang saya terima saat itu. Kemudian saya putuskan untuk mengambil kesimpulan bodoh bahwa “saya memang harus berterimakasih, meskipun saya tidak tahu atau bahkan tidak percaya bahwa ada yang memberi sesuatu untuk saya, dan saya nikmati itu”.
Dalam kaitanya dengan Tuhan, falsafah Jawa mengajarkan kita untuk bersikap nerima ing pandum, yakni menerima dengan sumeleh terhadap pemberian Tuhan. Tapi sikap ini tidak dapat digolongkan kedalam sikap fatalistik. Penganut fatalistik percaya bahwa semua kejadian sudah diputuskan dan ditetapkan oleh Tuhan pada permulaan wujud, sehingga usaha-usaha manusia tidak dapat mengubahnya. Dalam konteks Islam, “sesungguhnya Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka sendiri yang mengubahnya”. Ini berarti bahwa campur tangan atau usaha manusia tetap saja dibutuhkan dalam menjalani takdir yang sudah ditetapkan. Selain ayat ini, banyak lagi ayat lain yang menggunakan retorika tersirat bahwa manusia tetaplah harus berusaha, meskipun pada akhirnya Tuhan juga lah yang akan menentukan semuanya.
Masih senada dengan syukur atau nrima, Jawa mengenal istilah urip manungsa pinasthi ing Pangeran, hidup telah ditakdirkan, tapi tidak berarti kita hanya diam. Orang Jawa memaknai hidup adalah senantiasa bergerak, jika orang hidup hanya diam, berarti sama saja dengan mati. Adapun watak nrima sebenarnya tetap disertai usaha terlebih dahulu, baru kemudian pasrah dan sumarah. Pasrah adalah kondisi tunduk takluk pada takdir, ibaratnya tangan tengkurap, merunduk. Sedangkan sumarah adalah berserah diri dengan cara mengulurkan tangan. Dengan kata lain nrima tidak berarti hanya berdiam diri seperti menunggu datangnya embun pagi. Ini menjadi menarik ketika makna Islam itu sendiri juga berarti pasrah dan tunduk. Jadi, orang Jawa sebenarnya sudah Islam bahkan sebelum Islam itu sendiri datang ke Jawa.
Falsafah sabar tentu juga sudah sangat jelas, baik secara etimologi jawa maupun Islam. Sifat ini begitu mulianya, sampai Tuhan dengan sangat berani berfirman bahwa Dia bersama orang-orang yang sabar. Selain itu, Tuhan juga memerintahkan kita untuk meminta pertolongan dengan sabar dan sholat. Ada banyak tafsir mengenai hal ini, tapi secara garis besar, Tuhan menyayangi orang yang sabar, dan tanpa kesabaran, sholat hanya akan berada pada koridor yang formal, tanpa ruh dan tanpa penghayatan.
Falsafah lain yang juga penting dalam epistemologi Jawa adalah “sak bejha-bejhane wong luwih bejho wong kang eling lan waspodho”. Kalimat ini selalu mengingatkan saya pada sebuah stasiun radio swasta yang berada di daerah timur kota Tulungagung, Ngunut. Kalimat ini sering sekali saya dengar ketika ngopi di kantin PPHM. PPHM adalah tempat dimana saya sangat suka dan lebih memilih tidur pulas ketimbang ngaji kitab kuning. Tapi saya tetap mencintai tempat ini, karena saya pernah tinggal dan tidur di sana beberapa hari.
Kembali pada falsafah di atas, Eling menjadi perwujudan hidup yang berdimensi vertikal (transendental). Jadi yang dimaksud dengan eling ini adalah senantiasa ingat pada Tuhan sebagai Maha Pencipta, dan eling terhadap hakikat diri manusia itu sendiri. Dalam Islam, sholat juga berarti dzikir atau senantiasa mengingat dan berserah diri pada Tuhan. Dan dalam ayat yang lain, sering sekali kita dengar bahwa “man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa robbahu”. Waspada adalah watak kehati-hatian, yang berdimensi horizontal. Waspada mengindikasikan watak dasar manusia Jawa yang melaksanakan segala sesuatu berlandaskan situasi kontekstual. Hal ini juga akan merujuk pada pemikiran yang selalu tanggap pada kejadian-kejadian di sekelilingnya. Segala kejadian akan turut menentukan tanda-tanda hadirnya takdir, karena itulah perlu diwaspadai agar hidupnya aman, tenteram dan damai.
Dalam pengembaraan orang Jawa guna mencari Tuhan, mereka mengenal banyak istilah, seperti “mati sajroning urip, sangkan paraning dumadi, dan manunggaling kawulo Gusti”. Orang Jawa juga mempunyai pandangan bahwa hakikat Tuhan itu memiliki sifat dan afngal. Sifat Tuhan itu Esa, tak ada yang menciptakan. Ini senada dengan Surat Al-Ikhlas, Dialah Tuhan yang Maha Esa, Tidak beranak dan diperanakkan. Sedangkan Afngal berarti Tuhan itu tidak dapat dilihat dan tidak berwujud. Orang Jawa juga sangat percaya dan yakin bahwa ada Dzat di luar diri mereka yang lebih Kuasa di atas segalanya. Sama seperti orang Islam yang juga yakin bahwa Tuhan adalah Dzat dengan segala Kesempurnaanya.
Orang jawa juga mengenal istilah manungsa utama yang dalam Islam disebut dengan insan kamil. Untuk mencapai taraf ini, orang Jawa mengenal proses ajur ajer yang dalam istilah tasawuf disebut fana, yaitu menganggap diri ini tidak ada, hanya Tuhanlah yang Maha Ada. Karena itu orang Jawa selalu menyikapi hidup dengan penuh keyakinan bahwa hanya Tuhanlah yang kekal dan abadi. Dunia bathin ini dimanifestasikan dalam istilah “menyang donya mung mampir ngombe”. Meskipun demikian, hidup yang sementara ini tidak dijalani dengan hanya berpangku tangan, tapi dengan perjuangan dan proses. Mereka memahami bahwa hidup adalah perjalanan dari tiada, ada, ke tiada lagi. Kerena mereka memahami bahwa hidup sudah ditentukan, dan hidup hanya untuk sementara, maka orang Jawa tidak menjalani hidup ini dengan ngaya (ambisius). Hati mereka merasa tenang dan menyikapi hidup sebagai cakramanggilingan, yang artinya berputar dari waktu ke waktu, menuju kesempurnaan.
Catatan Akhir
Tulisan ini akan bertambah panjang jika saya terus menyebutkan lebih banyak lagi falsafah Jawa yang mulia dan relevan dengan ajaran Islam. Ada sejuta bahkan lebih banyak lagi mitologi dan simbologi jawa yang lain, dan yang sangat berharga dalam kajian ini. Namun itu menjadi tugas Anda untuk menggali kekayaan tradisi Jawa lebih lanjut, karena saya meletakkan kajian ini sebagai pengantar pengetahuan kita tentang mulianya produk manusia Jawa sebelum peradaban Islam datang ke Indonesia secara umum dan Jawa khususnya.
Kajian ini terlihat menyamaratakan antara Jawa dan Islam. Dan saya akan sangat tidak setuju dengan statemen tersebut. Jawa tetaplah etnis, dan budaya yang dilahirkannya tetap saja ciptaan manusia. Sedangkan Islam adalah Agama, dan segala sistem dan nilai yang diajarkannya berasal dari Keagungan Tuhan yang mempercayakan Agama tersebut disosialisasikan oleh Muhammad SAW. Muhammad sendiri bukan orang Jawa, beliau kita kenal berasal dari bangsa Arab dari keturunan suku Quraisy.
Melalui pengetahuan ini, akan saya tanamkan kepada Anda bahwa Anda sebagai orang Indonesia pada umumnya, dan khususnya orang Jawa, harus berbangga hati karena Nabi Muhammad SAW yang dimuliakan Tuhan itu tidak lahir dari suku Jawa atau bukan orang Indonesia. Mengapa ini perlu dipahami? Saya sangat prihatin ketika ada beberapa orang dari kita yang merasa minder memeluk Agama Islam hanya karena Nabi Muhammad SAW bukan orang Jawa. Perlu diketahui bahwa Islam bukan hanya milik orang Quraisy, Islam adalah rahmatal lil ‘alamin. Kitabnya, Alqur’an berlaku sepanjang masa dan untuk siapa saja, meskipun Tuhan terkadang diskrimintif dalam ayat-ayatnya, seperti ketika memanggil “hai orang-orang yang beriman, bertakwa, berpikir, kafir dan panggilan-panggilan lain yang secara spesifik ditujukan pada orang-orang tertentu yang Dia kehendaki”. Tapi dalam banyak ayat, secara tegas Tuhan memanggil “hai manusia”, yang berarti tanpa ada batasan suku, agama, kewarganegaraan, warna kulit, status sosial dan status-status lain.
Keprihatinan kedua adalah ketika saya mendengar begitu banyak orang mengagung-agungkan orang arab, bahasa arab dan Nabi Muhammad yang berasal dari arab. Sehingga seakan-akan hanya orang Islam dari arablah yang Islamnya paling sempurna. Sampai budayanya pun dibawa-bawa sebagai identitas Islam yang ada di jazirah selain Arab, termasuk Indonesia. Seperti jubahnya, surbannya, gaya bicaranya dan banyak lagi Arabisasi yang diberhalakan. Saya tidak terlalu suka dengan paham semacam ini, dan setelah saya menelusuri sedikit demi sedikit keluhuran budaya Jawa sebelum datangnya Islam ke Indonesia, saya justru lebih tidak suka lagi. Saya merasa bahwa Tuhan menetapkan saya sebagai orang Jawa yang mengenal Islam-nya Muhammad SAW, supaya saya menjadi orang Jawa yang Islam seperti Islam-nya Muhammad. Dan saya sangat yakin bahwa Tuhan memang menginginkan saya menjadi orang Islam Indonesia, bukan orang Islam Arab. Tapi kalaupun Tuhan menghendaki saya mempelajari budaya Arab dan Bahasa Arab, itu hanya untuk menjadikan saya sebagai manusia Indonesia, bukan menjadi orang Arab pula.
Selanjutnya, setelah kita cermati keluhuran materi-materi Jawa dengan segala mitologi dan simbolnya. Secara kasar, dapat kita simpulkan bahwa orang Jawa secara umum memiliki kesadaran yang sama dalam hal pencarian Tuhan, seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS dalam usahanya mencari Sang Pencipta. Dan orang Jawa melakukan itu dengan sangat hati-hati dan penuh kesungguhan. Dari sisi Akhlak, kemuliaan akhlak orang Jawa banyak sekali dicerminkan dari cara orang Jawa menyikapi kehidupan. Dan kepercayaanya terhadap hal-hal ghaib, termasuk hari akhir atau hari setelah mati juga digambarkan dalam banyak persepsi falsafah Jawa.
Sebagai pembanding, mari kita kenang kembali pengetahuan kita mengenai sejarah pra-Islam di jazirah Arab yang sering dibangga-banggakan orang itu. Singkatnya, peradaban masa itu sangat-sangat buruk dan keji. Barulah ketika Islam datang dan membawa pencerahan dimasa kegelapan itu, peradaban mulai berangsur membaik dan kian membaik sampai pada klaim Makkah al Mukarromah dan Madinah al Munawwaroh.
Sampai di sini, jelaslah sudah bahwa keadaan pra-Islam di Jawa sangat berbeda dengan keadaan pra-Islam di Arab. Untuk sekedar mengingatkan, sering sekali kita dengar puji-pujian terhadap Nabi Muhammad, “anta samsun anta badrun”, yang mengindikasikan bahwa Muhammad adalah Cahaya Peradaban. Sampai di sini sudahkan Anda mampu menangkap pesan yang ingin saya sampaikan bahwa “Lampu hanya diletakkan di tempat yang gelap, atau paling gelap”. Maka dengan sangat percaya diri saya katakan bahwa orang Jawa sebelum Islam tidak seburuk orang Arab sebelum Islam. Jadi, kita sebagai orang Jawa khususnya, dan orang Indonesia umumnya, harus bangga karena Nabi Muhammad tidak lahir dari Rahim orang Jawa dan tidak berkewarganegaraan Indonesia.
Tapi perlu saya tegaskan sekali lagi, bahwa Jawa tetaplah Jawa, dan Islam tetaplah Islam. Peradaban Jawa secara Akhlak dan Aqidah sudah hampir sempurna, tapi tanpa Wahyu dari Tuhan dan Ajaran yang disampaikan Muhammad, kesempurnaan itu tidak akan pernah tercapai sampai kapanpun.
Pendukung Kajian:
FALSAFAH HIDUP JAWA, oleh Suwardi Endraswara, (Yogyakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2010).
Kawruh Basa Jawa Pepak, oleh Daryanto, (Surabaya: APOLLO, 1999)
Kamus Ilmiah Populer, oleh Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, (Surabaya: ARKOLA, 1994)
Kamus Arab-Indonesia, oleh Mahmud Yunus, (Jakarta: PT Hidakarya Agung)
SIGARET KRETEK, oleh DJI SAM SOE (Surabaya: PT HM Sampoerna Tbk.)
)* Penulis adalah Aktifis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung
TOILET PENYADARAN

TOILET PENYADARAN

Oleh: Achmad Rois)*
GAE OPO SEKOLAH DUWUR-DUWUR LEK HASILE MEK GAE PERADABAN SOYO MUNDUR

Dunia dengan berbagai kemajuannya sudah sampai di setiap pelosok Negeri ini. Pengaruhnya yang beragam seringkali menjadi perbincangan banyak orang. Setiap sisi selalu mengundang pembahasan berbeda dari sudut pandang yang berbeda pula. Kemajuan zaman sering dinamai dengan globalisasi. Mereka menyebutnya seiring dengan istilah modern yang hampir tiap detik kita dengar di televisi, radio, dan media lain. Seakan dunia benar-benar harus memiliki pandangan yang sama dengan mereka, yaitu pembangunan, globalisasi atau modernisasi.
Sebuah bangsa dikatakan maju jika memiliki peradaban yang beradab, karena memang asal kata peradaban adalah adab. Kita sering memahami istilah Negara maju dari sisi yang justru sebenarnya bukan hakikat. Karena yang kita lihat hanyalah sisi secara empiris yang sepi kearifan. Misalnya hanya dari sisi teknologi, pembangunan infrastruktur, system ekonomi atau politik yang diberlakukan disebuah Negara. Itu hanyalah sebuah sisi dimana peradaban sebenarnya belum termasuk di dalamnya sebagai kemajuan atau kemapanan.
SAJAK MENGENANG

SAJAK MENGENANG


Oleh: Achmad Rois)*
“BIARKAN MEREKA MENGENALMU SECARA WAJAR, TAPI PERKENALKAN DIRIMU DALAM KETIDAKWAJARAN YANG LOGIS”
Aku, seorang laki-laki yang meninggalkan banyak kenangan kira-kira hampir enam tahun yang lalu. Beberapa hari yang lalu kenangan itu muncul begitu deras, menjadikan aktifitasku penuh dengan keceriaan yang sudah tidak kutemui sejak lima tahun yang lalu. Aku sendiri sebenarnya tidak begitu mengerti, mengapa kebanyakan orang harus berselisih paham terhadap masa lalu yang diciptakannya sendiri. Padahal aku dalam beberapa hari ini begitu banyak menikmati betapa posotifnya energy yang kudapatkan lantaran aku terlanjur berdamai dengan semua yang sudah pernah terjadi waktu itu.
Aku waktu itu adalah remaja yang tidak begitu tampan, namun sebagian orang berkata bahwa ada banyak hal menawan yang senantiasa tanpa kusadari tampil kepermukaan. Apapun itu, semua kusadari bukan karena ketampananan, tapi menurut psikiater terakhir yang aku hubungi, dia bilang aku sedang dalam zona rawat jalan. Aku lebih suka hidup dalam prilaku yang oleh banyak orang dianggap tak wajar, namun lambat laun ketidak wajaran itu menjadi sesuatu yang indah dan tak pernah mereka temukan tanpa kehadiranku di sekeliling mereka. Kemudian pada akhirnya ketidak wajaran itu mereka sukai sebagai sebuah prilaku yang mesti direnungkan.
Hidup ini tak perlu banyak kenangan, cukuplah beberapa saja. Kenangan seperti buaian angan dalam mimpi yang berayun bergelantung di awan. Mereka muncul terkadang dari sebab yang tak pernah kita duga dan kira-kirakan. Suatu waktu mereka hadir bersama nada dering, tetapi untuk zaman ini, mereka lebih sering muncul di situs-situs social. Sebelum tidur meracau, bangun tidur begitu dan mau makan kadang-kadang begitu juga. Tanpa lelah sepertinya mereka mengganguku dengan kebahagiaan. Kebahagiaan yang lambat laun menjadi sesuatu yang kuat dan tidak bisa dihitung dalam takaran yang sulit.
Saat persepsi menjadi sulit sekali dimengerti, aku kemudian kembali dalam jurang mimpi yang lama sudah kubangun dari balik jeruji. Ada banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi secara bertubi, sementara reaksinya belum diperhitungkan sama sekali. Lantas kenapa kita harus mempersulit diri dan hidup ini. Hidup ini terlalu indah untuk disakiti, jadi biarkan dia memilih jalan-jalan yang dia sukai. Tak perlu riskan pada kebebasannya memilih, karena hari ini, kebebasan lebih sering membelenggu dan meyakiti. Lagipula, sebenarnya kebebasan itu hanya wacana, tak pernah ada walau sekeping dalam realita.
Sahabatku yang saat ini banyak dan dimana-mana, berdamailah dengan masa lalumu dan jangan pernah sesalkan apa yang sudah terjadi. Kebahagiaanmu hari ini adalah hasil deklarasi perdamaianmu dengan masa lalu. Jadi patuhi perjanjian itu sebagai sesuatu yang mesti kau jalani dalam keadaan apapun yang nanti kau temui. Kebersamaanmu waktu itu adalah jalan penuh duri yang tidak berada ditengah jalan untuk dihindari. Karena terkadang sesuatu yang indah itu dimulai dari rasa sakit, keburukan, kerusakan atau apapun yang tidak kita inginan terjadi.
Kemudian suatu pagi aku terbangun karena sengitnya gigitan nyamuk lantaran Tuhan tidak memberi mereka pilihan lain, selain menghisap darah penidur pulas. Aku bangkit menyisihkan keluhan di atas jemuran kawat yang berada tidak jauh dari kamar mandi. Kubiarkan rasa kantukku tetap di atas karpet karena aku khawatir sesaat lagi aku ingin kembali kesana. Kubasuh muka berdosa ini dengan air keruh, lalu kucaci secara sadar hati gemuruh yang berguncang dalam setiap pengaruh. Tapi ternyata, ini rindu ntah pada siapa. Namun yang pasti, topik kita hari ini adalah masa lalu dalam banyak hitungan tragedy.
Ada banyak nama yang sulit kuingat setiapa saat, namun ada beberapa yang tak mungkin kulupa. Mereka sering hadir disela-sela tombol hand phone, di bawah karpet, ensel lemari, tumpukan buku-buku, jemuran, dan pintu. Suara mereka terdengar tiap kali aku menutup pintu dan menyapu halaman rumah penuh dedaunan dan debu. Kemudian wajahnya hadir saat mata terkilir setir menimpa semilir angin seperti kincir yang diplintir. Kemudian ternyata, aku mulai merindukan kalian yang dalam sedikit sekali kesempatan untuk bisa bertemu. Dari itu, dengarkanlah ini, biarkan aku mengenang kalian dalam kehangatan mentari dan keseragaman pelangi. Salam rindu selalu, untuk saat yang tempatnya selalu bergantung pada waktu.
)* Penulis adalah Peziarah Ghaib yang saat ini kesepian menanti kelelahan jiwanya pergi dalam bayang kerinduan, meskipun itu bukan cinta kasih.
Tuhankah pemicu pertikaian ?

Tuhankah pemicu pertikaian ?

Oleh: Achmad Rois)*


Ketahuilah, bahwa hidup dengan sepenuhnya ikhlas dalam kebaikan, adalah persiapan bagi kehidupan abadi yang indah dan mulia bersama semua jiwa terkemuka di surga nanti. (Mario Teguh)
Indonesia adalah Negara dengan penduduk yang tidak sedikit. Terdiri dari ribuan pulau dengan segala keindahan alam dan budayanya masing-masing. Keragamannya pernah terlihat indah bersama keagungan namanya dibelahan dunia yang lain. Pesona alamnya mampu meningkatkan income masyarakat sekitar sekaligus Negara dengan hak territorial dan perpajakannya. Keramahan penduduknya menjadi kepuasan dan keyamanan tersendiri bagi para wisatawan. Kesejukan alamnya adalah nikmat dan anugrah Tuhan yang sulit sekali disyukuri tanpa kesadaran akan manfaat yang diberi.
SEBUAH RENUNGAN

SEBUAH RENUNGAN

Oleh: Achmad Rois)*


Kehidupan adalah serangkaian perjalanan tak terduga. Seperti selubung bintang dalam gemerlapnya kesemuan. Sedangkan hidup adalah segerombol pilihan yang tidak sulit namun harus dipilih secara tepat. Keduanya menjadi tempaan pengalaman dalam substantifitas prinsip. Salah satunya selalu menjadi awal meniti langkah kepastian hidup yang kadang dan seringkali senjang. Kesenjangan tersebut seharusnya menjadi tantangan menyenangkan, bukan menjadi jalan yang selalu dihindari langkah. 

MENCARI JALAN PULANG

MENCARI JALAN PULANG


Oleh: Achmad rois)*
Ahad itu disebuah Pondok Pesantren, saya bersama salah seorang teman berkunjung kesana dengan perasaan yang tak terkatakan. Hari itu seperti setiap tahun yang tak pernah lupa untuk diulang, seperti para santri yang tak pernah lupa siapa nama pendiri pondok yang kini mereka tempati sekedar untuk berteduh diharapan Ridho Ilahi. KH. Ali Shodiq Umman; Kyai Ali, begitu sapaan akrab yang begitu dikenal para santri sejak puluhan tahun lalu saat beliau masih berkesempatan untuk hidup dalam naungan safaat dan manfaat. Masyarakat yang berdomisili disekitar pondok atau para wali santri yang hanya berkunjung ke pondok mungkin satu atau dua bulan sekali sangat mengenal sosok Kyai Ali yang ramah dan memang sangat penyayang. Hal ini menjadi sebuah kepercayaan tersendiri bagi setiap wali santri untuk menitipkan anaknya dalam penimbaan ilmu ukhrawi di Pondok Ngunut, Tulungagung ini.
Setelah sekian lama berdiri sejak tahun 60-an, Pondok Ngunut yang memiliki nama asli Hidayatul Mubtadi-ien ini menjadi sebuah pondok yang cakap terhadap kebutuhan manusia di era modern. Pondok yang pada awalnya kecil dan hanya di isi dengan pelajaran kitab kuning, nahwu dan shorof, kini menjadi lembaga pendidikan yang siap bersaing ditengah “gilanya” era modern. Hal ini sudah barang tentu menjadi suatu kebaggaan tersendiri bagi para santrinya, santri yang tak mengenal kata Alumni. Sampai kapan dan dimanapun, santri tetap saja santri, tak ada sebuatan alumni untuk seorang santri.
Pendidikan agama pastinya penting bagi siapa dan dengan agama apapun, namanya juga pendidikan agama. Tak ada agama yang mengajarkan kepada penganutnya yang taat tentang saling melempar batu, saling membunuh, mencaci satu sama lain atau mencari-cari kesalahan. Setiap agama, tak peduli penganut aqidahnya siapa selalu mengajarkan tentang kedamaian, cita dan cinta kasih, tolong menolong, sopan santun dan nilai-nilai moral yang karimah. Pelajaran seperti ini sebenarnya hampir setiap hari kita dengar dari setiap sudut ruangan yang luas; baca jagat raya. Himbauan demi himbauan tak selang gayung bersambut, tapi hasilnya hanyalah kabut, tak urung melekat dan tak mampu disambut. Itulah kita, kita yang hanya suka mendengar dengan akut, sebentar mungkin terasa takut, tapi dua jam kemudian semua hanyalah angin laut, besar tapi sama sekali tak membuat kening kita berkerut; berfikir/untuk refleksi.
Haul ke XI kali ini seperti sumber petuah berharga bagi saya pribadi dan seharusnya untuk ribuan jama’ah haul yang hadir. Peringatan yang diadakan setahun sekali oleh keluarga besar Pondok Ngunut layaknya sebuah wadah dimana semua hikmah sebenarnya ada dan tertuang disana. Bagaimana tidak, akhlak yang diajarkan beliau; Kyai Ali sangat bertentangan dengan akhlak pemimpin kita yang kini ntah lupa atau sengaja melupakan kita sebagai rakyat kecil dan tugasnya sebagai pemimpin. Meskipun dari hanya biografi, ulasan sejarah dalam lembar lembar hari yang tentu tak sempat beliau tulis, sampai kini dan nanti akan terus menjelma sebagai pemandu jalan menuju kebenaran yang hakiki, Insya Allah.
Negara kita hari ini mungkin sedang diuji oleh Tuhan. Ujiannya begitu banyak dan tentu saja tentang soal-soal. Menyoal bagaimana menyelesaikan konflik antar suku? Bagaimana menyelesaikan politik bisu; baca uang? Pertikaian saudara Perak dan Satpol PP, apa solusinya? Belum lagi ribuan pertanyaan tentang gempa, kelaparan, penggusuran rumah, biaya pendidikan dan biaya berobat yang mahal, perawan-perawan yang hoby aborsi, pejabat yang selingkuh dengan istri polisi, mahasiswa yang semakin gila ekstasi, klub malam penuh prostitusi, orang-orang tua yang tega membuang bayi, anak-anak mengamen demi sesuap nasi, pembohong-pembohong berdasi, tikus-tikus selokan yang hobinya gonta-ganti istri, artis yang sekarang lagi marak mencalonkan diri sebagai bupati, korban lapindo yang belum mendapat ganti rugi, termasuk juga pertanyaan tentang uang Negara yang “katanya” hilang dicuri. Maaf, saya terpaksa menulis kalimatnya terlalu panjang.
Dengan momen yang tak se-wah Hari Kartini atau HUT RI sekalipun sebenarnya mampu membuat kita tidak sekedar melakukan refleksi. Kita kadang sering terlena oleh kepentingan-kepentingan duniawi yang hanya sesaat dan kadang-kadang sekaligus sesat. Pribadi kita lebih sering memikirkan untung terhadap diri sendiri yang tak seberapa. Hawa nafsu menjadikan kita lupa terhadap sesuatu yang fana dan membuat kita terlena oleh gemerlapnya dunia. Jiwa-jiwa apatis dan pesimis seringkali membuat kita tak berguna dihadapan orang-orang disekitar kita. Padahal, jika sedikit kita cermati, apalah arti hidup jika selamanya kita jalani tanpa arti, bagi sesama ataupun bagi diri sendiri.


Sesaat di tempat duduk yang belum juga sempat untuk beranjak, perbincangan terpaksa saya dengan salah seorang wali membuat saya kagum dan berpikir keras. Usianya yang bau tanah membuatnya pantas berkata “saya kagum dengan Kyai Ali, saya ngak pernah nyangka kalau beliau bisa punya pondok dengan jamaah sebanyak ini”, tuturnya dengan bahasa jawa yang halus. Otak saya mulai berpikir, mungkinkah ini semua kebetulan? Kalau ini kebetulan, lalu apa sebenarnya tugas Tuhan? Hati saya berusaha mempercayainya, tapi keyakinan saya tetap menjawab “TIDAK”, ini semua bukan kebetulan. Kebetulan berhasil itu sama sekali tak mungkin, apalagi dalam waktu yang sedemikian panjang. Saya jadi teringat ungkapan Mario Teguh, seorang motivator kelas profesional di Indonesia, beliau mengatakan kira-kira begini “sebuah keberhasilan hanya bisa disebut keberhasilan jika sebelumnya terdapat rencana”. Lagipula yang saya tahu, kebetulan tak mungkin terjadi berulang sampai dua atau tiga kali dan berlangsung dalam waktu yang sedemikian lama, toh kebetulan bagaimanapun tak akan sehakiki proses yang diciptakan Tuhan melalui wasilah situasi.

Diyakini atau tidak, dunia adalah alamnya amal dan bakti sedangkan akhirat (kata kyai-kyai) adalah tempat segala sesuatunya dipertanggung jawabkan dihadapan Ilahi. Tuhan sama sekali tak mengekang kita masuk surga melalui pintu yang mana, meskipun semuanya tergantung pada kehendak Beliau. Tapi Tuhan memberi kita kebebasan seluas-luasnya untuk memilih setiap pintu yang kita mau. Ini artinya, kita berhak memilih jalan hidup manapun sesuai intensitas keridhoan Beliau, meskipun harus kita akui bahwa ada jalan-jalan yang sengaja Beliau ciptakan untuk menguji kapasitas keimanan kita terhadap Beliau. Paling tidak kita tahu mengapa ritual lima waktu itu harus diawali dengan Takbiratul Ikhram dan diakhiri dengan Salam, kalau belum tahu ya jangan coba-coba shalat apalagi masih mengharapkan pahala dari Beliau. Tidak-tidak, saya hanya sedang bergurau (supaya otakmu berfikir tentang seberapa tinggi nilai diri dan ibadahmu dihadapan Tuhan yang terlalu sering kau gugat itu). Disisi lain kita juga harus cermat melihat Kitab Sucinya, kalaupun tafsirnya tak sempat kita pelajari, paling tidak kenapa pembuka mushafnya diawali dengan Basmalah dan diakhiri dengan An-Nas. Wah wah, alangkah lancangnya saya sampe berani-beraninya ngomongin tafsir, emangnya saya siapa? Mujtahid bukan, Kyai juga bukan. Maaf, saya memaksa.


Yang sedikit tadi adalah representasi manusia yang mengaku hidup di era-kekinian atau lebih akrab disebut Kaum Masakini. Sebutanya lumayan bagus dan cukup elegan, tapi entah dengan maknanya. Mungkin mereka lupa menyebutnya didepan siapa, mereka juga lupa kalau saya bisa sedikit ilmu nahwu dan shorof. Maaf, lagi-lagi saya terpaksa, kali ini saya terpaksa mengaku sedikit sombong dari anda yang mengklaim diri anda Kaum Masakini.
Kaum dalam bahasa arab bisa berarti Umat, Masyarakat atau secara inklusif bisa saja anda maknai peradaban. Sedangkan Masakini adalah jama’ dari kata miskin yang artinya miskin. Jadi secara keseluruhan arti Kaum Masakini menurut saya adalah masyarakat yang miskin atau peradaban yang miskin. Lalu pertanyaan yang seharusnya anda ajukan kemudian adalah; miskin dari apa peradaban kita sekarang? Jawabanya tentu banyak dan sangat kompleks. Dengan terpaksa lagi saya katakan bahwa peradaban kita saat ini secara keseluruhan adalah peradaban yang miskin. Kalau soal miskin nilai saya kurang sepakat, tapi kalau miskin nilai baik, itu baru saya sepakat. Miskin moral, miskin panutan, miskin petunjuk, miskin integritas, miskin iman, miskin harta yang membuat semua orang menjadi kufur terhadap nikmat yang sedemikian banyak sudah kita terima dari Beliau dan banyak lagi kemiskinan-kemiskinan lain yang hanya akan membuat kita bertambah prihatin jika terus saya sebutkan.
Akhirnya, maaf harus saya akhiri dulu. Maaf untuk segala kesombongan dan kelancangan saya. Maaf, untuk segala sesuatu yang saya klaim dengan sangat emosional. Dan terimakasih, untuk anda yang sudi mengantarkan saya menuju “jalan pulang”. Semoga bermanfaat dan Salam Pergerakan.
)* Penulis adalah seseorang yang kadang bisa menjadi kejam manakala diperlukan dan sangat baik hati disaat yang tepat. Tapi dilain waktu, penulis adalah Seorang Iblis berbalut daging dalam pakaian pengelana.

ASU BERUSAHA MENGENAL-MU

ASU BERUSAHA MENGENAL-MU

Oleh: Achmad Rois)*
Hampir satu minggu penuh kota yang kadang-kadang aku cintai diguyur hujan. Pemandangan yang tadinya indah menjadi semrawut karena angin-anginnya bertiup kencang. Halaman-halaman rumahnya dipenuhi daun dan sampah plastik berserakan. Lantai serambinya berpasir, dindingnya basah, rumput dan lumutnya merambat naik. Sawah-sawahnya dipenuhi air tak bersahabat karena padi-padinya baru ditanam. Sebagian ambruk yang sebagian lagi terendam membusuk. Pupuknya membaur, namun pengaruhnya tak timbul. Air kali ini sungguh tak menjadi sahabat. Memang tak ada yang baik, untuk sesuatu yang berlebihan.
Semua terjadi begitu saja. Harus ada yang mengeluh, kasihan pasukan pengeluh hampir penuh. Sebagaian menuntut keadilan seakan keadilan Tuhan sedang diragukan. Padahal selalu ada hikmah dari setiap kejadian. Tuhan tak mungkin tak adil, itu sudah jadi sifatnya. Tuhan selalu bisa subjektif, tapi Tuhan juga pasti punya pertimbangan untuk kadang-kadang bersikap objektif. Karena itu mulailah berdoa agar semuanya baik, baik menurut Tuhan, bukan kita. Tuhan memang menjawab semua doa, tapi kita juga perlu tau bahwa kadang-kadang jawabannya adalah “tidak”. Mintalah beliau mengabulkan doamu, bukan hanya menjawabnya. Tapi tenang saja, Beliau memang selalu mengabulkan semua doa, yakinilah!
Jika suatu saat kita harus terjebak pada beberapa pilihan. Kita tetap harus dan akan memilih. Meskipun sebenarnya memilih pada akhirnya hanya menjadi sebuah beban. Tapi dalam hidup, tak ada sama sekali yang dapat kita lakukan selain “memilih”. Tekanan kehidupan selalu mengharuskan kita demikian, mengharuskan kita untuk tetap memilih. Meskipun bila akhirnya kita memutuskan untuk tidak memilih. Itu adalah sebuah pilihan, pilihan untuk tidak memilih. Tapi yang jelas, setiap sesuatu yang kita pilih adalah sebuah jalan penuh misteri yang mengantarkan kita pada tanggung jawab.
Kehidupan kadang menjadi sesuatu yang sulit dimengerti. Entah dengan alasan apa seseorang tiba-tiba berlaku baik pada kita, padahal se-jam yang lalu dia baru saja meludahi wajah kita dengan teriakan keras; “anjing”. Tapi anjing bukanlah simbol terburuk, bahkan di Amerika lebih dari sepertiga penduduknya lebih menyukai anjing daripada pasangannya sendiri. Tapi disini aku tak kenal anjing, aku hanya kenal ‘asu’, kata yang memiliki arti sama, namun harus diucapkan dalam bahasa jawa yang kasar. Tak bermakna banyak jika diucapkan tanpa intonasi tinggi. Tanpa ekspresi serius atau raut muka yang sulit ditebak. Kadang sapaan lembut, kadang amarah yang terpaksa ditahan. Aku sangat menyukai kata ini, jadi tak heran jika hampir setiap hari aku tak lupa menyebutnya. Apa kata orang tentangku sama sekali tak akan merubah pendirianku, pendirian bahwa aku benar-benar sangat menyukai kata ini; ‘asu’.
Habitnya – asu yang kurang baik memang cukup saya mengerti. Memakan mangsa tanpa membunuhnya terlebih dahulu, tak seperti binatang pemburu yang lain. Digerogoti satu persatu anggota tubuhnya, tergantung mana yang dia sukai. Tapi bukan berarti manusia seperti kita lebih baik dari ‘asu’. Kita kadang lebih suka merusak tatanan yang rapi, bukan justru menjaganya. Memang, sebenarnya kita yang membuatnya, tapi bukan berarti kita boleh merusak apa yang kita buat begitu saja. Selalu lebih mudah membuat daripada menjaga.
Tak lengkap rasanya tulisan ini tanpa kritik. Sosial diciptakan berkelas-kelas bukan berarti untuk didiskriminasi. Aturan diciptakan begitu rumit memang tidak sepenuhnya untuk ditaati. Tapi paling tidak aturan dibuat harus untuk dihargai, tapi saya sedang tidak berbicara tentang aturan Tuhan. Terlalu absurd dan terlalu dangkal pemikiran saya tentang aturan Beliau. Beliau menciptakan semua yang teratur, kita hanya menemukan aturan itu. Jadi jangan pernah terlalu sombong berkata “saya yang menciptakan aturan itu”. Karena tak mungkin kita mampu menciptaan aturan mata yang melihat, pergelangan bisa berputar, sendi-sendi bergerak, rumput-rumput tumbuh dan cabe matang lambat laun berwarna merah. Hakikatnya kita hanya menemukan aturan, bukan menciptakannya. Karena itu kita sering temui kata karunia. Karunia adalah kasih sayang Tuhan yang diberikan kepada makhluk. Seperti memberikan mata sekaligus fungsi-fungsinya; untuk melihat. Tuhan Maha Penyayang, karena itu Tuhan juga Maha Memberi, dan kitapun (dalam kapasitas sebagai makhluk) tak mampu menyayangi sesama makhluk tanpa memberi. “Subhanallah”.


)* Penulis adalah aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

SUARA KEBOHONGAN

SUARA KEBOHONGAN


Oleh: Achmad Rois)*

Kadang kala kegelisahan hidup menjadikan semua yang kita jalani menjadi beban tak terlaksanakan. Seperti ketika beberapa gelintir orang sedang duduk dalam sebuah rapat atau perdiskusian penting yang membahas masalah-masalah penting pula. Beberapa dari mereka duduk tenang dengan pandangan-pandangan dan pikiran yang kosong tak mengerti, tetapi yang mereka tampilkan adalah ekspresi-ekspresi yang seakan-akan mereka sedang memikirkan ide-ide penting yang sangat berpengaruh dan mampu mempengaruhi peserta yang lain. Topeng seperti ini adalah sesuatu yang tidak jarang kita jumpai pada setiap perkumpulan. Dan kadang-kadang secara jujur harus berani kita katakan bahwa mereka adalah orang-orang yang sama setiap kali kita jumpai demikian.

Ternyata ada bahasa-bahasa yang bisa dimengerti tanpa harus diucapkan penuturnya. Seseorang tak perlu mengatakan mengantuk dalam keadaan mata merah menahan dan menguap dalam tempo yang hampir seiring dengan kedipan. Tak perlu mengatakan capek jika tiba diperaduan dengan keadaan terlentang pasrah meluruskan tulang. Tak perlu mengatakan “saya mengerti apa yang anda maksud” jika apa yang kita katakan sesuai alur dan aturan pembicaraan. Ada aturan-aturan tertentu untuk sebuah fungsi dan hubungan komunikasi yang secara otomatis sebenarnya tak perlu dipelajari dibangku sekolah atau perkuliahan. Jadi sebenarnya ada aturan-aturan tak ditentukan namun telah ditulis dan ditetapkan begitu saja oleh alam.

Suatu ketika kita mungkin akan menemui teman kita sedang menanti bus di perempatan. Tak harus kita tanyakan apa yang sedang dia lakukan disana, toh setiap hari kita menemuinya dalam keadaan dan waktu hampir bersamaan disana. Di jam-jam akhir perkuliahan atau waktu istirahat menjelang pulang. Penunggu angkutan tak perlu berteriak-teriak untuk menghentikan laju bus yang melaju dengan kecepatan tinggi, yang bahkan peyebrang jalan pun akan mati. Tak perlu lagi ada ayunan tangan karena mereka memang akan berhenti menjadikan kita sebagai penumpang. Bahkan saat kita sama sekali tak butuh bantuan.

Ada bahasa dengan jawaban tak semestinya sering kita ucapkan. Seseorang tiba-tiba mengetuk pintu rumah kita dengan nafas terengah-engah kelelahan. Tanpa diminta, kita akan memberinya segelas air putih untuk diminum. Ini bukan tentang kebiasaan, tapi tentang ke-ilmu-an. Sepele saja misalnya, dalam ilmu kesehatan, seseorang dengan nafas terengah-engah adalah mereka yang butuh bantuan. Entah itu nafas buatan atau memberinya segelas air putih untuk ditelan. Ini tentang ke-ilmuan, diketahui bahwa air putih dan tarikan nafas teratur adalah proses penenangan. Tanpa sadar kita sebenarnya telah melakukan tindakan sederhana tersebut dengan begitu banyak pertimbangan. Namun bukan berarti dengan banyak pertimbangan kita mejadi lambat untuk melakukan tindakan.
Sebagian orang kadang merasa resah dengan suara tikus pada tumpukan sampah disamping atau dibelakang rumah. Suara gorden atau gantungan foto kenangan yang pecah jatuh kelantai karena angin bertiup tak wajar. Atau teriakan suara tetangga yang tadi pagi baru selesai melakukan Ijab Qabul pernikahan. Dan jendela kamarnya bersebrangan, dengan jarak tak terlalu jauh dengan jendela rumah kita. Sulit membedakan itu suara maling atau penjarah. Itu gempa bumi atau angin topan. Itu kenikmatan atau penyiksaan. Tak perlu terlalu jauh diungkapkan. Ini kenyataan.

Suatu hari kita akan berpikir bahwa kita akan semakin tua. Tanda-tanda ketuaan seperti memutihnya warna rambut dan kening yang berkerut legam sudah tak lagi bisa disembunyikan. Suatu hari kita hanya mampu berbaring diranjang dengan bau keringat dan liur yang hampir sama sekali sulit untuk dibedakan. Untuk pergi kekamar mandi pun tak akan terlaksana jika tanpa bantuan, entah itu kursi roda atau beberapa teman. Dengan terpaksa saya katakan bahwa ini adalah tentang kebaikan hubungan sosial.

Suatu hari tak ada lagi yang mengatakan kata-kata indah seperti pujian, bahkan istri atau suami kita. Padahal pada tahun pertama pernikahan kita hampir mendengarnya setiap kali memulai persetubuhan. Lebih sering bersetubuh pada tahun pertama, sedikit berkurang pada tahun kedua dan pada tahun ketiga kita hanya akan memikirkan tentang persetubuhan dalam dua kali seminggu dan melakukannya satu kali dalam dua minggu. Pasangan hidup tak lebih jauh dari hubungan pertemanan. Pada tahun itu istri kita hamil dan menjadi sering punya anak. Tak kan ada penampilan seksi untuk disajikan. Tak ada lagi perbincangan menarik. Bahkan untuk sebuah iklan teh, mereka harus menampilkan dua sosok tubuh tua tanpa perbincangan berjam-jam sehari.

Ini tak harus membuat kita ketakutan, karena ini adalah kenyataan pasti. Mungkin nanti tetapi pasti suasana seperti ini harus berani kita jalani dengan keberanian. Tak akan lagi ada ibu atau mertua dalam suasana demikian. Yang ada hanya tangisan anak-anak yang tak bisa dihentikan untuk beberapa lembar uang jajan. Tak perlu khawatir jika tetangga kita yang begitu baik, pada awalnya, menjadi lebih sering tak peduli atau lebih jarang berkunjung. Padahal suara detak jam malam tak bisa dilepaskan dari pendengaran. Hal-hal yang tak patut disepelekan ternyata justru sesuatu yang penting terabaikan.

Tak pernahkah kita lihat disuatu tempat bersama ibu atau bapak kita dipasar. Tak ada penjual emas dengan teriakan-teriakan kasar, sepert penjual roti atau celana dalam. Mereka hanya duduk tapi tak diam, karena yang mereka jajakan adalah kewibawaan. Kadang menjadi simbol keagungan dan kemegahan. Ini bukan sesuatu yang mengherankan, karena tak sedikit ibu-ibu yang kecopetan, bahkan dalam angkutan. Tak ada kemewahan yang pantas untuk dipertontonkan. Hanya mala petaka yang pantas disajikan. Bahkan tanpa sajian, semua bisa jadi santapan.

Hari, bahasa, symbol dan kejadian. Tak ada yang saling berkait. Tapi semuanya bertautan. Bahasa keindahan dari tubuh tak berbalut. Kenistaan dari rambut yang terpaut rentetan kejadian. Leher berduri tanpa hati kerendahan. Betis yang tak mampu menepis tragadi pencabulan. Perut tentang bahasa yang memaksakan. Kehendak yang harus berakhir di Meja Pengadilan. Bibir pengundang pertentangan. Bahkan kelamin yang harus dipaksa mencapai klimaks pun tak lepas dari kajian.

Semua mengatakan artinya dengan bahasa-bahasa yang tak pernah diucapkan, bahkan untuk memulai persetubuhan hanya cukup dengan satu kali kecupan. Pencurian dengan siulan tanda semua keadaan aman. Tapi dengan pemerintah mereka terus bermain dalam kebijakan. Undang-undang yang amanahnya sengaja dilupakan. Aparat keamanan yang hak asasinya dibunuh dengan perintah. Karena mereka memang hanya dibayar unuk menaati perintah. Bukan untuk berfikir atau bertindak lebih bijak.

Buat saya, tak ada lagi bahasa tentang ketulusan yang dikumandangkan. Karena diakui atau tidak, tak ada orang seperti kita yang mungkin mampu melakukan sesuatu untuk orang lain. Kita hanya lahir dari bahasa yang alasanya syiar dan sunnah keagamaan. Tapi hakikatnya kita adalah korban kenikmatan. Jadi tak heran jika harus begitu banyak bayi dibuang dalam koran ataupun kaca tontonan. Ini adalah Fenomena yang tak mungkin dilupakan tapi sengaja dilupa-lupakan.

)*  Penulis adalah aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung.

PERJALANAN TAK SIA-SIA

PERJALANAN TAK SIA-SIA


Oleh: Achmad rois)*
Sunyi seperti sabda,
Begitu nyata tentang ada,
Begitu hampa tanpa tanda,
Alampun tak jua ada tanpa tiada,
Api juga tak membara meski air telah kehilangan makna,
Betapa jeram, betapa tak dalam tentang hampa tanpa ketudukan dan kearifan segala.
Hari itu langkah pasti terayun turuti kemauan hati. Tak ada kata terindah selain “aku harus pergi”, ini bukan untuk guru atau siapapun yang pernah melantunkan beberapa tuntutannya padaku. Ini adalah tentang kebutuhan jiwa dan hati. Bukan tentang cinta yang saat ini hampir telah kehilangan makna suci dan basi. Kerikil dan aspal penuh duri kembali menuntun kami pada keringat busuk tak peduli. Kejenuhan dating namun tak hirau oleh kami. Satu persatu kata terucap untuk sekedar menghibur diri. Tapi biarlah, kadang-kadang kelaparan bukan kita yang hanya sandang. Letih menyelinap diantara roda-roda jeruji dari lempeng yang entah apa, aku tak tahu. Kubiarkan semuanya hanya terlarut seperti debu. Juga kalbu dan hantu, ku biarkan mereka mengelilingi seluruh lapisan keras didalam kepalaku, tapi tak urung aku punya niat untuk mengusirnya, agar terlihat syahdu.
Kicauan burung sering kali dijadikan pertanda bagi mereka yang percaya itu ada, tapi bagi mereka yang tidak, biarlah, keduanya bukan masalah kita. Ada atau tidak itu adalah masalah yang sangat sulit untuk selesai dibahas. Tapi yang jelas sesuatu yang ada pasti berasal dari yang ada pula. Kelembaban tahah barangkali adalah sebuah pertanda becek. Keluarnya semut dari lorong-lorong tuanya mungkin sebuah pertanda. Peranda tentang hujan yang sebetar lagi akan turun. Lalu apa pedulinya bagi mereka yang sedang duduk-duduk santai ditaman kota atau beberapa tempat rekreasi lainnya di kota dan musim yang sama pula. Sama sekali tak ada. Hujan pun mereka tak akan risau, toh atap mobil cukup untuk mereka berteduh. Tapi tidak dengan hati mereka yang terus saja gaduh. Kenapa harus hujan padahal kesenanganku adalah kecerahan, katanya. Kakekku seorang petani yang bergantung sepenuhnya terhadap musim dan matahari. Jauh sekali bedanya dengan mereka yang sengaja menggantung dirinya dengan dasi. Membebani diri tanpa kesenangan, sampai mati.
Aku kadang-kadang suka mencari, apa pun, apa saja yang ku cari. Tapi kusadari semuanya bukanlah jalan, melainkan kebuntuan. Aku pernah berkenalan dengan mereka yang suka mencuri, mereka bilang itu adalah hal yang paling menyenangkan, bayangkan saja jika mengambil mainan kunci dari sebuah toko accessories kemudian keluar tanpa mendengar alarm berbunyi. Aku melupakan sesuatu bahwa perjalanan adalah keinginan untuk secepat mungkin berhenti. Dan perjuangan adalah cara tercepat untuk segera mati. Kuncinya adalah tentang jati diri. Menjadi selesai akan membuat kita berhenti sampai disini. Seperti saat seorang penulis mengakhiri puluhan kata-katanya dengan titik dan huruf yang dibaca mati.
Aku kadang sering bertanya pada diriku sendiri kenapa dan apa pentingnya mengaji. Aku sering melihat keanehan tak terpecahkan dan tak ku mengerti, bahkan sampai saat ini. Tapi aku tahu, aku memang masih terlalu bodoh dan dini untuk hal sesulit ini. Kadang aku melihat didalam kitab suci hanya tumpukan kata tanpa arti. Tapi mungkin susunannya membuat kita sedikit mengerti.
Mengapa harus “bismi” awalnnya, dan mengapa pula harus “an-nass”. Ah… aku benar benar semakin tak mengerti. Atau barang kali hubungan sepenuhnya adalah tentang ilahi dan insani. Mengawalinya dengan penyerahan diri, dan melegitimasikannya dengan tindakan manusiawi. Ini benar-benar hal paling masuk akal menurutku. Baiklah kalau begitu, tapi masih ada yang lain.
Seperti ritual suci yang kadang pernah juga aku langgar. Mengangkat tangan tanda menyerah dan meletakkan dahi ditanah. Kemudian mengakhirinya dengan ucapan selamat. Apa aku terlalu jarang berfikir sehingga aku harus mengucap kata “tak tahu”. Untuk makna yang tak urung membuat begitu banyak makhluk terharu. Ternyata hubungan manusia terbaik adalah pada pencipta dan makhluknya. Diawali dengan ketundukan dan dibarengi dengan pengamalan.
Tak ada ternyata yang paling pantas disebut Tuhan. Kecuali yang sering kita namai Tuhan itu sendiri. Terlalu banyak tuhan yang saat ini harus rela disembah, tunduk pada Negara berarti menyembah Negara, tunduk pada Aturanya kadang berarti tak mengerti kenapa hal rumit itu harus dipatuhi. Kita yang muda dan nakal ini terlalu sering berkata lancang karena memang itulah tabiat kami. Mereka yang mahasiswa itu mengangap semua tema aturan termasuk Negara adalah Musuh besar yang harus dimusuhi. Kata mereka yang suka demo itu mereka tak ingin potensi individunya diburu lalu dibunuh. Karena mereka adalah musuh seragam lusuh yang tak pernah dicuci bahkan untuk sekali seminggu. Ini juga adalah perjalanan untuk berhenti.
Perjalanan juga kadang diartikan pembacaan. Membaca situasi yang akhirnya harus dilaksanakan dalam bentuk program oleh organ-organ. Terlalu sistematis, aku tak suka. Aku lebih suka ngawur dan semauku karena itu memang dasar dari tabiat dari keseharianku. Membaca pasar untuk dagangan agar cepat laku, membaca buku untuk ujian, membaca peta untuk bepergian, membaca tindakan untuk sebuah bahasa yang tak begitu saja mudah diartikan. Tapi semuanya tetap saja namanya membaca.
Tentang tanda, tentang ada, tentang kemaren dan esok seperti dalah kitab suci saja. Tapi benar semuanya memang ada disana. Nabi terakhir itu dulu tak bisa membaca tulisan. Tapi mambu membaca situasi dengan baik sehingga berhasil menciptakan peradaban yang baik pula. Kita saja kan yang sebenarnya telah merusaknya. Dengan emosi dan amukan-amukan yang sebenarnya tak pernah pantas dikatakan berarti.
Berarti orang punya alasan khusus masing-masing untuk dapat mengerti. Ya…seperti membaca contohnya. Aku adalah pembenci matematika. Alajabar terutama. Tapi disisi lain aku sering memberikan motivasi terhadap mereka yang sehati denganku, juga pembenci matematika. Aku katakan bahwa belajar aljabar adalah untuk sebuah perburuan binatang liar. Menatap soal adalah mulai masuk kehutan yang lebat, tapi bukan berarti tak bisa ditaklukkan. Yah…seperti berburu binatang liar yang kita bahkan tak tahu namanya. Maka dari itu mungkin pencipta rumus-rumus memberinya nama “x” yang artinya “belum diketahui”, bukan tidak diketahui. Lalu setelah perburuan selesai kita dapat melihat binatang itu kemudian kita memberinya nama yang tepat.
Ternyata menjalani hidup adalah tentang bagaimana menbaca. Hidup juga kumpulan dari banyak kata-kata yang secara tepat harus segera kita ketahui maknanya. Kata kuncinya “Hidup adalah tentang Kata dan Makna”. Membaca membuat kita tahu apa yang kita inginkan. Membuat kita mengikuti keinginan yang kita butuhkan. Dan mendapatkan apa yang kita butuhkan. Simple saja konsepnya. Tapi tak jarang orang sering lupa apa isinya kehidupan. Kalau begitu, hidup adalah tentang Demi dan Untuk. Demi siapa? Dan untuk siapa? Atau apa?
Begitulah jika hidup adalah untuk sebuah kata. Sebuah perjalanan. Sebuah pertanyaan yang jawabanya tak ada. Temukan saja paku yang tadi terjatuh dan bengkok kemudian luruskan kembali dan tancapkan lagi. Jika gagal, ulanglah lagi. Tapi jangan dengan cara yang sama Karena jika tetap dengan cara yang sama, engkau akan tahu hasilnya terlebih dahulu sebelum engkau melakukannya lagi. Gagal.
Bosan aku setiap hari mengaturmu, padahal aku bukan orang tuamu. Pemerintah ataupun aparat aroganmu. Biarlah apapun yang ku tulis ini menjadi saksi bahwa nanti pada akhirnya aku tetap harus mati. Pedasnya cabe, manisnya gula hanya akan terasa saat kedunya tersiksa. Wanita pencinta tak lupa setiap hari mengirim surat untuk kekasihnya. Setiap saat membaca surat dari kekasihnya. Dalam hitungan hari jika kekasihnya mati. Dia sudah melupakan bahkan namanya.
Tak ada ternyata yang sempurna. Yang sempurna ternya hanyalah kesempurnaan itu sendiri. Tak ada yang abadi. Yang abadi hanya perubahan. Tak ada yang sunyi. Karena kesunyian adalah diam dalam keramaian. Tak ada yang gelap meskipun kata itu disebut. Yang ada hanya kekurangan cahaya sehingga redup dan akhirnya menggelap, tapi sekali lagi tak ada yang gelap.
Pada akhirnya hidup adalah tentang memaknai kesendirian. Karena hidup adalah sendiri. Dalam kandungan kita sendiri. Dalam kubur kita sendiri . Dan harus bertanggung jawab kepada Tuhan dari apa yang kita perbuat juga sendiri. Oh…lebih baik sendiri.
)* Penulis adalah Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung.