Mendaur Ulang Makna Teknologi; Sebuah upaya untuk menciptakan Pembelajaran yang Menyenangkan

Mendaur Ulang Makna Teknologi; Sebuah upaya untuk menciptakan Pembelajaran yang Menyenangkan

Oleh:  Ahmad Rois, M.Pd.I

Penulis adalah Kepala Madrasah Tsanawiyah Riyadus Sholihin Delima Jaya, Kec. Kerinci Kanan, Kab. Siak


Belakangan ini, istilah teknologi menjadi sering diperbincangkan. Terutama yang berkaitan dengan kegiatan pembelajaran. Istilah tersebut meroket karena munculnya trend baru dalam dunia Pendidikan selama musim pandemi Covid 19. Ada banyak istilah yang muncul, seperti new normal, daring (dalam jaringan) atau luring (luar jaringan). Di lingkungan Pendidikan sendiri, kajian mengenai Teknologi mulai mendapat tempat prioritas sekitar tahun 1960-an. Terutama pembahasan yang erat kaitannya dengan Teknologi Pendidikan. Lalu apa sesungguhnya Teknologi Pendidikan itu sendiri ?



Sebelum sampai pada istilah Teknologi Pendidikan, kita perlu memisahkan kedua variable tersebut agar keduanya gamblang, yakni Teknologi dan Pendidikan. Teknologi, oleh kebanyakan orang dimaknai sebagai peralatan elektronik. Padahal, sesungguhnya, teknologi tidaklah melulu soal peralatan elektronik. 


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Teknologi dimaknai sebagai metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis; ilmu pengetahuan terapan. Jadi, sesungguhnya teknologi lebih menekankan pada upaya manusia dalam menggunakan ilmu pengetahuan untuk memecahkan masalah-masalah kemanusiaan, termasuk masalah Pendidikan itu sendiri.


Sedangkan Pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. 


Berangkat dari dua terminologi di atas, dapat disimpulkan bahwa Teknologi Pendidikan adalah metode bersistem untuk merencanakan, menggunakan dan menilai seluruh kegiatan pengajaran dan pembelajaran dengan memperhatikan sumber teknis maupun manusia dan interaksi antara keduanya, sehingga mendapatkan bentuk Pendidikan yang lebih efektif. 


Pada titik ini, istilah baru muncul, yakni pembelajaran. Apakah kemudian istilah Teknologi Pendidikan dapat dimaknai persis sama dengan Teknologi Pembelajaran. Tentu saja tidak. Ada titik tekan yang berbeda dari keduanya, meskipun keduanya berada dalam rumpun yang sama. Secara singkat, perbedaan antara keduanya terletak pada substansi yang dilakukan. Apabila Teknologi Pendidikan memiliki cakupan yang sangat luas, karena mencakup apapun yang berkaitan  dengan Pendidikan. Sedangkan Teknologi Pembelajaran memiliki cakupan yang cenderung lebih sempit, karena hanya focus pada kegiatan belajar mengajar (KBM) atau proses pembelajaran. 


Lalu, apakah semua Teknologi yang dimaksud dalam kegiatan Pembelajaran harus selalu menggunakan alat elektronik? Tentu saja tidak. Misalnya, dalam menyampaikan materi pelajaran Fiqih tentang Wudlu. Teknologi Pembelajaran yang dipakai adalah Air dan Tempat Wudlu, bukan alat elektronik. Meskipun dalam materi atau pelajaran lain, misalnya IPA, IPS dan Matematika, penggunaan media elektronik sebagai Teknologi Pembelajaran mungkin saja diperlukan. 


Selama masa pandemi, dalam kaitannya dengan Teknologi Komunikasi dan Informasi, kita harus menggunakan peralatan elektronik seperti Handphone, Laptop dan Internet untuk berkomunikasi. Karena selama pandemi ini, pertemuan tatap muka sangat tidak dianjurkan. Tapi dalam kegiatan belajarnya sendiri (selain cara berkomunikasi), kita dapat menggunakan media apa saja untuk meningkatkan minat belajar dan internalisasi materi pembelajaran. Hal tersebut diperlukan untuk mengatasi kejenuhan peserta didik dalam menghadapi zoom meeting atau tugas-tugas yang disampaikan secara monoton melaui aplikasi e-learning. 


Belum lagi masalah lain, yakni pola belajar peserta didik yang berbeda-beda. Anak dengan pola belajar Kinestetik, yang lebih mudah menangkap informasi melalui sentuhan dan gerakan, tentu tidak bisa disamakan daya serapnya dengan anak Visual, yang lebih mudah menyerap melalui indra penglihatan. Begitu pula anak dengan pola belajar Auditorial, yang lebih mudah menyerap informasi melalui pendengaran, juga tidak bisa disamakan dengan anak dengan pola belajar Kinestetik dan Visual. 


Oleh karena itu, pemilihan media belajar yang tepat sebagai Teknologi Pembelajaran merupakan sebuah keniscayaan. Hal ini tentu saja merujuk pada fungsi Teknologi Pendidikan itu sendiri, yakni menyelesaikan masalah kemanusian yang berkaitan dengan pembelajaran. Pada titik ini, pembelajaran jarak jauh (daring) sesungguhnya memiliki sisi positif yang perlu digali dan dikembangkan. Apabila selama ini media pembelajaran yang kita gunakan hanya terbatas terhadap apa yang ada di sekolah, maka dengan adanya e-learning dan pembelajaran dari rumah, kita bisa lebih leluasa mengarahkan peserta didik untuk mencari dan menggunakan media belajar sesuai kecenderungan pola belajar masing-masing peserta didik. 


Dalam hal ini, kreatifitas Guru sebagai fasilitator memegang peranan yang signifikan. Guru tidak lagi dicitrakan sebagai sosok yang membosankan karena hanya bicara di depan kelas atau layar monitor, melainkan menjadi tokoh penggerak yang mampu mempengaruhi peserta didik dalam menciptakan pembelajaran yang menyenangkan. Dengan begitu, peserta didik dapat kita arahkan dan kita dorong untuk lebih giat dalam menggali kreatifitas dan potensinya selama belajar di rumah. 


Bila hal tersebut dapat dilakukan, maka distance learning akan berdampak positif bagi dunia Pendidikan. Model pembelajaran yang menyenangkan di rumah ini akan memberikan efektifitas dalam hal waktu dan tempat. Bahkan bila model ini mampu didukung oleh sebuah system yang memadahi serta dikelola secara maksimal, maka tidak menutup kemungkinan, model distance learning akan mampu meningkatkan kualitas Pendidikan. 


Kesimpulan


Terminologi Teknologi Pendidikan dapat digunakan berdampingan dengan istilah Teknologi Pembelajaran, karena keduanya mengandung pengertian yang sama, namun memiliki focus yang berbeda. Pembedanya adalah ruang lingkup pemecahan masalah. Teknologi Pendidikan mencakup skala yang lebih luas, sedangkan Teknologi Pembelajaran memiliki cakupan yang cenderung lebih sempit, karena hanya focus pada kegiatan belajar mengajar (KBM) atau proses pembelajaran pada aspek-aspek di dalam kelas (aspek masalah perorangan). 


Akhirnya, inti dari Teknologi sebagai upaya untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan adalah Guru (manusia) itu sendiri. Guru dituntut untuk menjadi solusi penyelesaian masalah belajar pada setiap peserta didik. Oleh karena itu, disiplin ilmu yang mutlak dikuasai oleh seorang Guru dan paling berpengaruh terhadap Teknologi Pembelajaran adalah ilmu psikologi, baru kemudian dikolaborasi dengan disiplin ilmu yang lain, termasuk skill dalam menggunakan media pembelajaran, baik yang sifatnya elektronik maupun non-elektronik. Hal tersebut akan sangat menunjang terciptanya pembelajaran yang menyenangkan. Apabila model pembelajaran semacam ini dapat di akomodasi dalam sebuah system yang komprehensif, maka tidak menutup kemungkinan mutu Pendidikan akan meningkat secara signifikan. 



#PGRI #KOGTIK #EPSON #KSGN http://gurupenggerakindonesia.com/


Mengupload: 135322 dari 135322 byte diupload.





Apakah anda simpatisan HTI ?

Apakah anda simpatisan HTI ?

Oleh : Ahmad Rois)*
Di tengah derasnya perbincangan soal Pilpres 2019, sahabat saya -yang juga jebolan pesantren- menampar saya dengan pertanyaan yang menohok di WA Group. "Is, kamu kok lembek soal pilpres ini, padahal prihal bendera tauhid kemaren, tulisanmu yang cadas banyak dibicarakan oleh konco-konco ?
Sontak saya sangat terpukul. Mereka yang dari dulu mengenal saya sebagai sosok yang tegas soal keberpihakan, meskipun dalam posisi yang sedang tidak diuntungkan. Namun kini dipandang lembek dan un-argumentatif.
Berangkat dari sana, tulisan ini sengaja saya sajikan dalam bentuk argumentatif sebagai jawaban atas pertanyaan yang mereka ajukan di group.

Karena diingatkan soal bendera tauhid, Pilpres 2019 sejatinya juga tidak jauh dari agenda itu. Pilpres tahun ini juga bukan hanya soal Jokowi dan Prabowo. Tapi soal pertarungan 2 kekuatan politik. Yang satu ingin menguasai secara radikal, baik secara ideologis ataupun struktural. Sedangkan yang satu -secara santun- ingin mempertahankan ideologi bangsa yang plural dan toleran demi menjaga kondusivitas hidup berbangsa dan bernegara.

Dua kekuatan tersebut sesungguhnya tidak sebanding secara basis masa, tapi karena kelompok yang berada di belakang Prabowo ini memainkan isu-isu populisme, populisme Islam tepatnya, maka kekuatan tersebut kelihatan sangat besar karena ditopang oleh kekuatan 'orang per orang' yang bahkan tidak mengerti tujuan politik populisme Islam itu sendiri.
Isu yang digoreng oleh gerakan populisme Islam pun sebenarnya merupakan isu-isu pasaran yang remeh temeh. Seperti isu penistaan agama, kriminalisasi ulama, pemerintahan yang pro-kafir, toghut dan sebagainya. Tapi, semua isu tersebut sesungguhnya mengarah pada satu isu besar yaitu tersisihnya 'umat Islam' dari sumber daya politik dan ekonomi sehingga kekuasaan harus direbut.
Jika anda adalah korban ketidak tahuan dari arah gerakan ini, anda tidak perlu repot-repot mencari arti kata 'populis' di KBBI atau kamus ilmiah. Anda cukup mempertanyakan kata 'umat Islam' dalam isu besar di atas. Umat Islam YANG MANA yang tersisih? Kecuali kalau anda seorang HTI, atau Mayat Hidup HTI dan atau Simpatisan -maaf- dungu HTI, maka 'ya', anda adalah 'umat Islam' yang tersisih itu.
Populisme Islam sendiri, sejatinya bukanlah gerakan ideologi. Populisme Islam hanyalah strategi komunikasi untuk merebut kekuasaan. Karena bukan ideologi, maka mereka bisa bergabung dengan siapa saja dan memusuhi siapa saja. Termasuk memusuhi NU sebagai organisasi Islam terbesar di dunia. Bahkan, mereka juga halal untuk berbohong dan bertindak apa saja -bahkan yang bertentangan dengan ajaran Islam- demi mulusnya agenda politik kekuasaan, termasuk bertindak un-toleran, memberikan klaim kafir, fasik, sesat dan lain-lain.
Mengapa saya sebut demikian, karena jangankan dengan rekan yang beda agama, dengan rekan seagamapun, jika berbeda pandangan dan pendapat, maka akan dianggap musuh Islam dan harus diperangi. Sungguh terlalu !!!
Bahkan, mereka sampai tega menyebut pemerintahan Jokowi sebagai Rezim Anti Islam. Menurut saya, ini merupakan tuduhan yang berlebihan. Apalagi, jika dasar Anti Islam itu hanya bertendensi pada momentum pembubaran HTI. Sebuah organisasi sampah yang sudah tidak diterima di dunia dan -mungkin- juga di akhirat.
Nah, momentum demi monentum dikelola sedemikian rupa sejak saat itu. Bangkai-bangkai HTI yang masih 'gentayangan', sangat jelas berdiri dibelakang salah satu calon. Padahal mereka dengan gamblang mengatakan bahwa demokrasi adalah toghut. Mereka juga sadar, bahwa hidup mati organisasinya bergantung pada demokrasi. Bahkan, mereka juga sadar, bahwa pasangan capres yang didukungnya adalah cermin dari keluarga yang pluralis, yang tidak Islam-islam banget seperti yang mereka harapkan. Dan hal tersebut jelas kontras dengan pasangan sebelah yang jelas-jelas ulama, yang alim dan pernah jadi petinggi yang diperhitungkan di sebuah organisasi Islam berskala Internasional. Tapi sekali lagi, karena populisme yang mereka usung bukanlah sebuah ideologi, maka menjadi munafik tidaklah masalah.
Jadi, capres yang mereka usung hanya akan dijadikan tumbal untuk membangkitan HTI atau minimal Ideologi Khilafah yang telah mati dibantai oleh rezim yang di klaim anti Islam. Atau dalam bahasa yang lebih kejam, pilpres ini adalah wahana balas dendam. Ironisnya, balas dendam semacam ini di wacanakan kepada publik dan diyakini sebagai bentuk jihad.
Jika hal ini sampai terjadi, maka kita yang ikut memilih capres yang diusung HTI akan terkena “kutukan” dari arwah para pahlawan, para Kiai dan Wali yang telah gugur berjuang untuk kemerdekaan NKRI. Mereka akan marah kepada kita karena telah ikut andil dalam 'ritual sesat' pembangkitan HTI.
Saya sendiri sebagai warga NU secara struktural dan kultural, berasumsi bahwa menjatuhkan pilihan kepada calon yang didukung oleh bangkai-bangkai HTI adalah bentuk pengkhianatan terhadap para Ulama NU dan para santri, yang mempunyai andil besar dalam berdirinya NKRI. Hal itu juga berarti merobek-robek panji kebesaran NU di hadapan para ulama pendiri NU.
Untuk itu, sebagai santri dan warga NU yang waras, bagi saya, pilpres 2019 ini adalah salah satu 'thoriqoh' untuk menyempurnakan “kematian” HTI agar arwah mereka tenang di alam sana. Kecuali jika anda adalah simpatisan dungu HTI yang tidak paham arah politik populisme Islam yang diusung oleh zombi-zombi ini, anda tidak perlu khawatir terhadap proyek un-toleran ini. Yang jelas, anda harus ikhlas dimanfaatkan sebagai tunggangan politik dan akhirnya dikhianati. Ups, selain itu, bersiaplah untuk mengangkat senjata, karena bisa jadi, Indonesia akan dibuat seperti negara-negara di Timur tengah.
)* Penulis adalah penggiat literasi di PP. Riyadus Sholihin.
AGAMA MEMAKNAI GLOBALISASI

AGAMA MEMAKNAI GLOBALISASI


Oleh: Achmad Rois)*
Di tengah kehidupan yang serba modern ini, globalisasi menjadi perbincangan menarik untuk diketengahkan dengan tema apapun. Globalisasi akrab disebut-sebut sebagai zaman dimana teknologi menjadi kebutuhan utama dalam menjalani aktifitas sehari-hari. Dari mulai memasak, mencuci pakaian, sampai dengan urusan agama pun terkait dengan teknologi. Bahkan globalisasi akan menjadi tema yang menarik jika dibahas dari kacamata dan fenomena-fenomena keagamaan. Agama sendiri memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan sosial dan kultural. Sedangkan globalisasi, khususnya teknologi informasi, memiliki dampak yang tidak kalah serius jika dibandingkan dengan Agama. Dampak dari globalisasi ini bisa berpengaruh terhadap budaya, sistem nilai dan tata hidup sehari-hari.
Faktanya, globalisasi memberikan banyak kemudahan pada masyarakat yang akrab dengan teknologi-teknologi mutahir seperti internet. Saat ini, internet sudah menjadi wahana utama bagi masyarakat global untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan mereka tentang apapun. Seluruh informasi pergumulan global tentang masalah sosial, budaya, politik, ekonomi bisa di akses dengan cepat dan mudah dari sini. Masalah agama, yang pada umumnya berisi doktrin-doktrin agama juga tidak luput dari kemudahan mengakses informasi; internet. Sehingga saat ini, orang lebih sering mendatangi WARNET (warung internet) ketimbang hadir dipengajian-pengajian atau bersilaturahmi ke rumah pemuka agama untuk mendapatkan pencerahan mengenai problem keagamaan dan kehidupan sehari-hari.
Wajah baru globalisasi dan kemudahan mengakses informasi agama ini tentu menimbulkan budaya baru dalam kehidupan sosial keagamaan. Jika dahulu masyarakat mendapatkan informasi keagamaan dari para Guru atau pemuka-pemuka agama melalui madrasah atau pengajian-pengajian umum, maka saat ini, setiap orang hanya perlu pergi ke warnet atau membuka laptop di dalam kamar untuk mendapatkan informasi keagamaan yang mereka butuhkan. Budaya semacam ini merupakan dampak globalisasi yang dimaknai dengan dangkal dan tanpa filter. Hingga akhirnya menghasilkan manusia-manusia bermental konsumeris atau cenderung menyukai sesuatu yang instan, siap saji.
Masalah lain yang timbul seiring dengan gencarnya teknologi informasi ini adalah masuknya wajah-wajah neo-liberalisme dan kapitalisme yang diejawantahkan pada budaya konsumerisme. Wajah-wajah ini hadir bersama karakteristiknya yang khas, yaitu memperjelas sistem hierarki sosial. Tujuan utama sistem ini adalah memperjelas defenisi mengenai kaya, miskin, bahagia, sukses, kehormatan dan hina dari kacamata duniawi. Semua kata tersebut menjadi sebuah sistem nilai baru dimana uang, kemewahan dan kepemilikan barang-barang tertentu menjadi barometer. Hingga akhirnya tercipta sebuah jurang pemisah yang amat dalam antara si Kaya dan si Miskin.
Pada awalnya mungkin hanya soal kepemilikan barang-barang seperti emas, mobil, deposito, hand phone, laptop, rumah mewah, perabot mahal atau semacamnya. Namun kemudian hal ini mulai meluas kepada terbentuknya komunitas tertentu dalam interaksi sosial. Misalnya komunitas arisan istri-istri pejabat, sekolah anak-anak orang kaya, komunitas car modification, dan komunitas-komunitas lain yang diskriminatif. Dengan begitu, anak-anak orang kaya mulai dilarang bergaul dengan anak-anak pedagang kaki lima, serta budaya pamer kemewahan dunia mulai dipupuk rata. Sehingga semakin jelaslah bahwa dualisme Kaya dan Miskin, Kuat dan Lemah, Besar dan Kecil adalah sesuatu yang wajib ada dalam pergaulan sosial masyarakat di era globalisasi. Jika sudah seperti ini teori Evolusi Darwin pun mulai tampak tidak bisa disangkal, karena sesungguhnya teori itu ingin berkata bahwa “yang kuat harus menindas yang lemah”.
Globalisasi sudah mereduksi banyak sistem nilai dalam interaksi sosial, misalnya nilai sopan santun dan kekeluargaan. Globalisasi mulai mengurangi volume silaturahmi, kekeluargaan dan perkumpulan-perkumpulan fisik. Kalaupun budaya berkunjung ke rumah teman, ngobrol-ngobrol dan diskusi itu masih ada, efektifitas pergaulan semacam itu sudah semakin berkurang. Bagaimana tidak, saat teman yang satu berbicara, yang lain lebih asyik membaca sms atau mengakses jejaring sosial. Mereka lebih suka berhubungan dengan khayalan ketimbang menghadapi kenyataan. Selain kurangnya sopan santun, hal ini juga berdampak pada melemahnya mental dalam berkomunikasi secara ekternal. Karena teknologi, khususnya internet sudah mampu menjajah waktu kita dan membuat kita semakin individualis.
Singkatnya, kita tidak lagi dijajah secara fisik, tapi sudah lebih parah dari itu. Globalisasi sudah menjajah kita dari banyak sisi. Mereka menjajah waktu kita dan mengeksploitasi otak kita untuk terus memikirkan hal-hal yang tidak nyata. Budaya dan cara kita bergaul yang kini semakin individual juga merupakan bentuk penjajahan. Globalisasi terus mencekoki kita dengan berbagai teknologi sehingga kita menjadi generasi yang manja dan tidak kreatif, karena kita mulai menyukai sesuatu yang gampang dari pada berjuang untuk mendapatkan sesuatu. Secara ekonomi kita dituntut untuk bekerja keras hanya untuk dapat membeli barang-barang baru dengan teknologi yang semakin canggih.
Globalisasi membuat kita lebih suka bergaul dalam kelompok atau komunitas-komunitas tertentu. Kelompok-kelompok tersebut mulai membuat group-group tertentu di internet. Fasilitas ini lah yang nantinya dijadikan ajang ngobrol-ngobrol tanpa muka dan senyum yang nyata. Jadi tidak heran jika saat ini banyak sekali modus kejahatan di internet, atau sering dikenal dengan istilah cyber crime. Karena orang tidak bisa lagi mengetahui apakah lawan bicaranya ini serius, bergurau atau bahkan berbohong. Globalisasi mulai menjadikan manusia-manusia pembual dan mudah dibohongi hanya dengan kata-kata sebait atau dua bait.
Dari sisi keagamaan, seperti yang sudah disinggung di atas, masyarakat yang kini terggelam dalam arus globalisasi sudah menjauhkan diri dari para pemuka agama dan pengajian-pengajian Agama. Kyai mulai disisihkan dengan berbagai pretensi, misalnya, Kyai dianggap sebagai sosok yang otoritatif dan tidak komunikatif. Dakwah-dakwahnya dianggap kuno karena melulu menggunakan metode ceramah dan sama sekali tidak dialogis. Bahkan sebagian Kyai dianggap cabul karena memiliki istri lebih banyak dari yang lain. Dari sisi kelembagaan misalnya, pesantren dianggap menjalankan sistem feodal seperti penjajah belanda pada masa itu. Para santri di pesantren-pesantren, khususnya di pulau Jawa, disuruh mengerjakan sawah, mencuci pakaian, menyapu rumah dan lain sebagainya seperti pembantu rumah tangga. Padahal itu semua adalah kemauan dari santri-santri itu sendiri untuk mendapatkan ridho Allah melalui ridho dan doa para Kyai.
Hal-hal yang berkaitan dengan wacana tersebut sudah marak kita jumpai di internet. Semua informasi tersebut dibesar-besarkan seakan-akan yang mereka katakan adalah sebuah kebenaran. Kemudian dalam sejam saja, informasi tersebut sudah dibaca oleh ribuan pengguna internet. Bisa kita bayangkan betapa cepatnya seseorang ingin merusak orang lain, paling tidak dari sisi pencitraan. Baik itu pencitraan personal, kelembagaan pesantren atau bahkan kebenaran Agama. Kebenaran dalam hal apapun, khususnya kebenaran Agama, saat ini sudah sangat mudah dimanipulasi oleh oknum beragama hanya dengan menggunakan media internet, televisi, radio dan lain-lain. Tujuan mereka yang beragam membuat mereka semakin kreatif dalam menjelek-jelekkan orang lain dan membenarkan diri atau kelompok mereka sendiri.
Jika dicermati, semua itu adalah usaha-usaha yang dilakukan oleh segelintir orang yang ingin meraup keuntungan duniawi dengan cara menjauhkan masyarakat, khususnya komunitas keagamaan, dari agama itu sendiri. Dengan berbagai jalan yang mereka tempuh, saat ini sudah dapat kita lihat keberhasilan mereka dalam menjauhkan manusia dari agama dan Tuhan. Jika pada zaman sebelum globalisasi bergulir, para pemimpin keagamaan menjadi sumber central dari nilai-nilai kebaikan dan pergaulan sehari-hari. Mereka selalu menjadi orang nomor satu yang ditemui dan dimintai pendapat untuk menyelesaikan problem-problem keagamaan atau bahkan non-keagamaan. Maka, di era ini, masyarakat lebih suka mencari solusi di internet untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga hal ini mempunyai konsekuensi bahwa posisi Agama dan pemimpin keagamaan sudah tergantikan oleh internet.
Akhirnya, kita harus mulai sadar bahwa sejak abad 20, semangat globalisasi yang diisi dengan kampanye sekularisasi dan modernisasi dalam bentuk apapun – baik itu kemajuan teknologi informasi, budaya, busana, makanan, dan lain-lain – hanya mengemban satu misi, yaitu menjauhkan Tuhan dan Agama dari kehidupan publik. WALLAHU A’LAM.
)* Penulis Adalah Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung
NEGARA SEKS-ISME

NEGARA SEKS-ISME


Oleh: Achmad Rois)*
Indonesia secara geografis dan kebudayaan merupakan Negara Timur. Kebanyakan Negara di belahan Timur tergolong sebagai bangsa yang sopan dan ramah, baik secara interaksi sosial maupun budaya. Budaya dapat diartikan dalam banyak hal, terserah dari sudut mana anda memandang kata budaya, bisa prilaku, tata bahasa, adat istiadat, karakter kebangsaan atau busana dan mode. Indonesia sendiri dianggap sebagai Negara yang tergolong “sopan” dalam banyak hal oleh Negara-negara lain dari seluruh belahan dunia. Dari sisi bahasa misalnya, Indonesia memiliki gaya bahasa yang santun dan menjunjung tinggi penghargaan terhadap orang lain sebagai lawan bicara. Secara adat dan prilaku masyarakat dalam interaksi sosial, Indonesia memiliki ciri khas “menyayangi yang muda dan menghormati yang lebih tua”. Dan dari sisi pakaian atau busana, Indonesia tergolong sebagai Negara yang santun dalam hal berpakaian. Meskipun ukuran “santun” dalam hal ini bisa bermakna berbeda di setiap daerah yang ditempatinya. Namun secara global, masyarakat Indonesia dapat dibilang “santun” dalam hal tata busana.
AGAMA SEBAGAI RUH PENDIDIKAN

AGAMA SEBAGAI RUH PENDIDIKAN

Oleh: Achmad Rois)*

Peran sosial agama telah ditutupi oleh tangan-tangan angkuh pendusta agama. Tidak sepantasnya tangan-tangan angkuh itu mengklaim kebenaran agama atas nama Tuhan.
(Dr. Ahmad Ali Riyadi, M.A)
Pendidikan secara umum mempunyai peran yang luhur dan agung. Hal ini sudah menjadi konsensus atau kesepakatan yang sudah disepakati semua pihak dan elemen masyarakat. Pendidikan selalu saja menjadi perbincangan yang menarik untuk diketengahkan dengan tema apapun. Meskipun di beberapa tempat, pendidikan menjadi sesuatu yang asing bahkan tidak menarik lagi untuk diperhatikan. Pendidikan saat ini mulai dipandang dari sudut yang sangat sempit. Misalnya, pendidikan oleh sebagian orang dianggap sebagai peramal dan penentu masa depan yang pasti. Maksudnya, jika seseorang belajar ilmu kedokteran, maka dipastikan atau diramalkan dia akan menjadi seorang dokter, dan begitu seterusnya.
Apakah paradigma ini salah?  Cari tahu jawabannya disini !!!
KASIH IBU YANG TERLUPAKAN

KASIH IBU YANG TERLUPAKAN


(Sebuah Renungan untuk Anak Negeri)
Oleh: Ahmad Rois)*
Bulan Desember boleh dibilang sebagai bulan yang penuh dengan kenangan. Bagaimana tidak, bulan ini adalah bulan perpisahan antara satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang. Bulan ini memiliki beberapa moment penting yang biasa diperingati oleh berbagai golongan. Misalnya, Hari Anti Korupsi se-Dunia yang jatuh pada minggu kedua bulan Desember, tepatnya tanggal 9 Desember, selanjutnya Hari Ibu yang jatuh pada tanggal 22 Desember, dan Hari Natal bagi umat yang merayakannya pada tanggal 25 Desember.
Sebagai bulan terakhir, Desember menjadi bulan pengenang sebelas bulan yang telah berlalu. Sejarah yang lalu akan segera diukir dalam tumpukan arsip-arsip yang memiliki sedikit kemungkinan untuk dibuka lagi tahun depan. Lembaga-lembaga pemerintahan atau non-pemerintah sibuk menyiapkan laporan pertanggung jawaban mereka. Berbagai hal mereka lakukan, dari mulai rekapitulasi dana anggaran sampai menghabis-habiskan dana anggaran yang masih tersisa dengan mengadakan kegiatan fiksi atau kegiatan sungguhan yang sama sekali tidak ada manfaatnya. Lembaga pendidikan sibuk menyiapkan rancangan proposal anggaran baru untuk tahun depan, sementara anggaran tahun ini sudah habis entah dalam “perut” siapa. Lembaga pertanian, pertahanan, sosial bahkan keagamaan pun bernasib sama, kehabisan anggaran entah dalam “perut” siapa.
Fenomena di atas seakan sudah menjadi tradisi yang sangat lestari dalam dunia orang-orang berdasi dan berjas rapi. Jadi tidaklah mengherankan apabila berita mengenai korupsi, masih kita dengar setiap hari di televisi. Mereka terlalu sibuk dengan urusan ini dan itu, sehingga lupa dengan tugas mereka di pemerintahan, apalagi dengan peringatan-peringatan hari besar yang hanya diperingati sebagai formalitas belaka, tanpa isi tanpa esensi, semua hanya bualan fiksi dalam tradisi yang sudah usang dan basi.
WAJAH PARA PEMIMPIN

WAJAH PARA PEMIMPIN

Oleh: Ahmad Rois)*
Tahun 2013 menjadi tahun transisi kepemimpinan, khususnya bagi provinsi Riau. Tanah melayu ini akan dihadapkan kepada sebuah pesta penuh janji dan pertanggungjawaban yang dinanti-nanti. Surat-surat pertanggungjawaban akan segera digelar di banyak sidang, baik yang digelar secara terbuka atau tertutup. Hiruk-pikuk kampanye BALON atau Calon gubernurpun akan segera kita temui diseluruh penjuru Negeri Gurindam 12 ini. Meskipun sebenarnya asap dari kobaran api politik ini sudah banyak merebak di pinggir-pinggir jalan dalam wujud baleho-baleho wajah para Calon Pemimpin Riau yang akan datang, paling tidak di sana tertulis 2013-2018. Sebagian visi dan misi mereka ada di sana, meskipun kebanyakan masih berbunyi seperti slogan yang penuh semangat, namun kosong sama sekali dari harapan masyarakat.
PENDIDIKAN DAN KERETA API (Sebuah Refleksi Tentang Proses)

PENDIDIKAN DAN KERETA API (Sebuah Refleksi Tentang Proses)


Oleh: Achmad Rois)*
Beberapa waktu yang lalu, pemuda bodoh yang pendidikan formalnyanya tidak selesai-selesai ini melakukan pencarian tentang sebuah makna kata yang memang tidak ia ketahui sejak lama, bahkan tanpa disadarinya. Pendidikan, itulah sebuah kata yang ingin ia tahu maknanya. Dia mulai membuka-buka beberapa buku lusuh koleksinya di almari buruk, berayap. Ditemukannya beberapa karya yang dia cari, milik orang-orang terkenal yang pemikirannya sudah lebih dahulu dikenal kebanyakan orang, terutama educative civilizations. Pencarian tersebut menghasilkan beberapa hal yang coba diringkasnya di setiap paragraph dalam tulisan ini.
Terminologi pendidikan merupakan terjemahan dari istilah Pedagogi. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani Kuno “Paidos” dan “Agoo”. Paidos artinya “budak” dan Agoo berarti “membimbing”. Akhirnya, pedagogie diartikan sebagai “budak yang mengantarkan anak majikan untuk belajar”. Dalam perkembangannya, pedagogie dimaksudkan sebagai “ilmu mendidik”. Dalam khazanah teorisasi pendidikan, ada yang membedakan secara tegas antara pendidikan dan pengajaran. Perbedaan tersebut umumnya didasarkan karena hasil akhir yang dicapai serta cakupan rambahan yang dibidik oleh kegiatan tersebut. Dinamakan pendidikan apabila dalam kegiatan tersebut mencakup hasil yang rambahannya (dimensi) pengetahuan sekaligus kepribadian, sedangkan pengajaran membatasi kegiatan pada transfer of knowledge yang kawasannya tidak membentuk kepribadian.1
Dalam bahasa Inggris, pendidikan berasal dari kata educate (verb) yang berarti “mendidik”, kemudian menjadi education (noun) yang diartikan sebagai process of teaching, training and learning.2 Jadi, pendidikan dalam istilah ini menekankan pada tiga proses, yaitu mengajar, melatih (latihan) dan belajar. Mengapa proses begitu ditekankan dalam defenisi ini. Kata ‘proses’ mungkin saja merupakan isyarat bahwa pendidikan adalah sesuatu yang tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat atau secara instan. Karena itu pendidikan menuntut ketelatenan, keuletan, kesungguhan dan tanpa mengenal lelah sampai kapanpun. Sementara itu dapat kita simpulkan bahwa bagian penting dari pendidikan adalah “proses”, bukan “hasil”, karena hasil akan selalu mengikuti proses.
Sebenarnya, ada satu hal yang membuat pemuda penidur ini meneruskan pemikirannya tentang makna pendidikan yang dia cari. Itu karena dia menemukan sesuatu yang menarik dan sangat jarang sekali, bahkan (setahu penulis) belum pernah disampaikan, yaitu uraian sebuah kata yang menjadi bagian dari definisi pendidikan yang dilansir Learner’s Pocket Dictionary. Jika kita cermati lebih lanjut, dalam uraian definisi education ini terdapat kata training yang bermakna latihan. Apakah tidak aneh bagi Anda, mengapa kata training diambil dari kata dasar train yang berarti “kereta api”, kemudian padanan makna yang mengikuti kata train3 adalah deretan, gerombolan, ekor, jalan dan rentetan.
Jika diusut dari kacamata morphologi, maka kata train akan digolongkan ke dalam dua golongan. Kata train yang pertama adalah noun yang jika ditambahkan –er menjadi noun countable. Sedangkan yang kedua adalah verb yang jika diimbuhi –ing menjadi noun uncountable. Jika Anda merasa perlu melakukan kajian bahasa yang lebih mendalam, silahkan buka kembali buku-buku morphologi Anda pada bab derivation dan inflection, karena tujuan tulisan ini tidak untuk membahas bagian ini terlalu dalam. Paling tidak pembahasan ini jarang sekali atau mungkin belum pernah di ketengahkan di hadapan para pembaca yang budiman. Atau mungkin Anda bisa menanyakannya pada anak-anak kuliahan yang kadang merasa dirinya tahu segalanya, padahal sebenarnya, yang mereka tahu tidak pernah lebih banyak dari apa yang mereka tidak ketahui. Biarkan saya memberi tahu Anda tentang karakteristik (bukan bermaksud merendahkan) mereka, atau kebanyakan ilmuan. Anak kuliahan dan para ilmuan kebanyakan itu hanya menganggap sesuatu itu ada jika mereka mengetahuinya, tapi jika tidak, mereka akan mengatakan “itu tidak ada dan tidak dapat dibuktikan secara empiris”, yah, begitulah bentuk keangkuhan mereka.
Kemudian penulis mulai berfikir tentang apa kira-kira korelasi antara kereta api dan latihan, dan kenapa kata train dan training tidak seperti kata-kata yang lain. Misalnya teach, teach adalah transitive verb dengan makna yang masih berhubungan meskipun ditambahi –ing, yaitu mengajar. Kemudian kata learn yang berformula sama dengan teach juga tetap memiliki makna yang sama, yaitu belajar atau mempelajari. Kemudian bagaimana dengan kata train dan training yang sudah penulis uraikan di atas? Sampai di sini sudahkan Anda menemukan keanehan dari ke-tidak ada-nya hubungan antara pendidikan dan kereta api.
Sampai di sini, Penulis mencoba mengamati setiap kata dari definisi ini dengan seksama. Kemudian mulai berfikir untuk membuat sebuah analogi agar misteri ini lekas terungkap. Dengan analogi tersebut, penulis berharap agar hakikat pendidikan itu sendiri dapat diterima dan dipahami dengan jelas. Atau paling tidak akan memberi gambaran keterkaitan antara kereta api dan pendidikan. Namun sebenarnya, hubungan antara pendidikan dan kereta api ini hanyalah erat dan relevan dalam perumpamaan yang sangat mendidik. Sekaligus memberi gambaran secara gamblang tentang pentingnya pendidikan dan proses yang terkandung di dalamnya.
Tahukah Anda bahwa kereta api hanya berjalan di atas rel yang sudah ditentukan, atau dibuat sebelumnya. Kereta api selalu memiliki beberapa gerbong yang berderet atau rentetan gerbong. Dibagian depan, ada seorang Masinis4 yang mengendalikan laju kereta api. Masinis hanya mengatur kecepatan atau laju kereta api, tegasnya, kapan kereta harus melaju kencang dan kapan kereta harus berhenti. Masinis baru boleh berhenti ketika para penumpangnya sudah sampai pada tujuan yang mereka kehendaki.
Perumpamaan di atas dapat dipahami sebagai berikut; Kereta api adalah simbol pendidikan itu sendiri, sedangkan rel atau jalannya adalah proses yang harus dilalui untuk sampai pada tujuan pendidikan itu sendiri. Tanpa melewati rel tersebut, sangat mustahil kereta api akan sampai pada tujuannya. Begitu juga dengan pendidikan itu sendiri, pendidikan adalah proses seseorang untuk mencapai tujuan. Mengenai apa tujuan pendidikan itu sendiri, secara singkat penulis kutip ungkapan dari seorang Filsuf Yunani, Plato (428-347 SM). Tegas Plato, “Pendidikan membuat orang menjadi baik dan orang baik tentu berperilaku mulia”.
Selanjutnya, gerbong-gerbong yang memuat penumpangnya adalah peserta didik dan masinisnya adalah para pengajar (pendidik) yang akan mengantarkan para penumpang ke tujuan mereka masing-masing. Setiap penumpang harus mempunyai tujuan yang jelas, dan sang masinis harus tahu kemana tujuan setiap penumpang tersebut. Artinya, setiap guru harus tahu apa yang diinginkan murid dan harus selalu mengedepankan kebutuhan peserta didik. Teori ini dalam ilmu pengetahuan modern dikenal dengan “sistem5 pendidikan yang berorientasi pada peserta didik”. Dan pada proses tersebut, para guru diharapkan untuk mengetahui karakter dari setiap muridnya, kapan harus diberikan motivasi, kapan harus dibimbing dan kapan harus dinyatakan siap untuk terjun ke dunia yang lebih nyata (masyarakat).
Demikian analogi tentang kereta api dan pendidikan yang penulis buat-buat untuk mempermudah kita semua dalam memahami hakikat pendidikan. Selain defenisi yang kami buat-buat tadi, masih banyak lagi definisi pendidikan yang diuraikan oleh para tokoh pendidikan. Dengan latar belakang pengetahuannya yang beragam, mereka merumuskan definisi pendidikan kehadapan kita semua untuk dinikmati sebagai sumbangan kekayaan ilmu pengetahuan. Dan jika Anda mulai bertanya tentang apa latar belakang penulis artikel ini, maka jawabannya adalah “tidak jelas latar belakangnya”. Itulah kenyataan yang harus diterima setiap pembaca artikel ini, dan mohon maaf untuk kekecewaan Anda. Tujuannya adalah supaya kita semua tahu dan sadar bahwa tidak ada satupun dari manusia (seperti kita) yang “benar-benar benar” dan “benar-benar salah”.
Kemudian tentang proses yang penulis lanturkan (lantur in java is ng-lantur) di atas, agaknya akan menjadi refleksi bagi kita semua bahwa pendidikan adalah proses yang seharusnya menjadikan kita sebagai manusia yang sempurna (insan kamil). Jadi jika ada di antara kita yang sudah berpendidikan namun belum kamil, itu berarti ada yang salah dengan proses yang sudah kita lalui, dan saat ini masih belum terlambat untuk memperbaikinya. Perlu juga penulis ingatkan bahwa pendidikan dalam tulisan ini tidak memiliki makna yang sempit atau sangat sempit, karena sesuatu yang sangat sempit akan membuat sesuatu yang lain sangat sulit untuk bergerak. Misalnya, celana dalam (pria) yang terlalu sempit akan mengakibatkan sesuatu yang lain sulit bergerak dan bernafas (jika bernafas), atau pakaian wanita yang terlalu sempit akan membuat orang lain (khususnya pria normal) berpandangan dan berpikiran sempit, sesempit apa yang ada di balik pakaian sempit itu. Dan apakah Anda sudah lupa bahwa pria tadi juga mengenakan celana dalam yang sempit?
Kemudian proses yang kami sebutkan di atas juga tidak hanya berlaku pada proses pendidikan belaka, tapi berlaku pada seluruh proses dalam mencapai kehidupan yang mulia. Artinya, hidup adalah proses menyiapkan kehidupan yang akan datang (hanya bagi Anda yang meyakini bahwa akan ada kehidupan yang akan datang setelah dunia), jika baik, baiklah dan jika buruk, buruklah. Begitu juga dalam konteks pendidikan, hasil bukanlah sesuatu yang paling utama. Yang penting adalah bagaimana proses Anda selama di sana. Artinya, lakukanlah sesuatu dengan baik, maka insyaAllah, hasilnya akan sebanding. Anda mungkin pernah mendengar istilah yang sangat tenar pada masa orde baru, ya, istilah efektif dan efisien. Anda harus tahu bahwa segala sesuatu harus efektif dan efisien. Efektif di sini adalah melakukan sesuatu yang benar, sedangkan Efisien adalah melakukan sesuatu dengan benar.
Kemudian kata kunci terakhir adalah insan kamil, penulis merasa tidak perlu menjelaskan ini secara detail. Ambil saja makna istilah ini dari Plato, yang sudah penulis sebutkan di atas. Insan kamil adalah orang baik yang berprilaku mulia. Ini sudah cukup menjelaskan banyak hal tentang filosofi kehidupan bukan? Tapi perlu Anda ingat bahwa sekamil-kamilnya Anda, Anda tetaplah insan (manusia). Anda pasti mengerti maksud penulis bukan? Jadi, jangan pernah menyalahi rumus ini sampai kapanpun selagi Anda masih Insan. Karena penulis tidak ingin cerita-cerita tentang Qorun dan Firaun kembali terkuak ke permukaan.
Akhirnya, membicarakan tentang pendidikan selalu menarik bagi sebagian orang dan sangat membosankan bagi kebanyakan orang. Apalagi jika itu pendidikan yang ada di Indonesia. Bak benang kusut yang sudah tidak bisa di uraikan lagi rasanya. Tapi kita tidak boleh putus asa bukan? So, tetaplah hadapi problem yang hampir tidak kunjung selesai ini dengan hati yang lapang dan fikiran yang jernih. Semoga, Indonesia yang kita cintai ini semakin raya, seperti lagunya, INDONESIA RAYA. Atau jika tidak, maka berdoalah dengan sungguh-sungguh, semoga Indonesia ini benar-benar hancur lebur tak lagi bersisa, bahkan namanya sekalipun. Amiiin….
)* Penulis Adalah Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung, penidur yang malas (janji MApan yo ambLAS) dan pemuda yang ramah (RA patek oMAH).
Catatan Kaki.
1 M. Jumali et.al., Landasan Pendidikan, (Surakarta: Muhamadiyah University Press, 2008), 18
2 Learner’s Pocket Dictionary, (New York: Oxford University Press, 2000), 138
3 John M. Echols & Hasan Shadily, An English – Indonesian Dictionary, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), 600
4 Masinis adalah sebutan bagi orang yang mengemudikan kereta api.
5 Sistem child centered education atau konsep pendidikan yang berpusat pada anak didik ini disandarkan pada sebuah teori salah seorang tokoh Nativisme, yaitu Schopenhauer yang berpendapat bahwa sesungguhnya peserta didik sejak awal telah mempunyai potensi yang siap dikembangkan sehingga tugas pendidikan adalah mengembangkan potensi tersebut secara optimal. Lihat M. Jumali et.al., Landasan Pendidikan, 23