Thursday, September 7, 2017

AGAMA MEMAKNAI GLOBALISASI


Oleh: Achmad Rois)*
Di tengah kehidupan yang serba modern ini, globalisasi menjadi perbincangan menarik untuk diketengahkan dengan tema apapun. Globalisasi akrab disebut-sebut sebagai zaman dimana teknologi menjadi kebutuhan utama dalam menjalani aktifitas sehari-hari. Dari mulai memasak, mencuci pakaian, sampai dengan urusan agama pun terkait dengan teknologi. Bahkan globalisasi akan menjadi tema yang menarik jika dibahas dari kacamata dan fenomena-fenomena keagamaan. Agama sendiri memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan sosial dan kultural. Sedangkan globalisasi, khususnya teknologi informasi, memiliki dampak yang tidak kalah serius jika dibandingkan dengan Agama. Dampak dari globalisasi ini bisa berpengaruh terhadap budaya, sistem nilai dan tata hidup sehari-hari.
Faktanya, globalisasi memberikan banyak kemudahan pada masyarakat yang akrab dengan teknologi-teknologi mutahir seperti internet. Saat ini, internet sudah menjadi wahana utama bagi masyarakat global untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan mereka tentang apapun. Seluruh informasi pergumulan global tentang masalah sosial, budaya, politik, ekonomi bisa di akses dengan cepat dan mudah dari sini. Masalah agama, yang pada umumnya berisi doktrin-doktrin agama juga tidak luput dari kemudahan mengakses informasi; internet. Sehingga saat ini, orang lebih sering mendatangi WARNET (warung internet) ketimbang hadir dipengajian-pengajian atau bersilaturahmi ke rumah pemuka agama untuk mendapatkan pencerahan mengenai problem keagamaan dan kehidupan sehari-hari.
Wajah baru globalisasi dan kemudahan mengakses informasi agama ini tentu menimbulkan budaya baru dalam kehidupan sosial keagamaan. Jika dahulu masyarakat mendapatkan informasi keagamaan dari para Guru atau pemuka-pemuka agama melalui madrasah atau pengajian-pengajian umum, maka saat ini, setiap orang hanya perlu pergi ke warnet atau membuka laptop di dalam kamar untuk mendapatkan informasi keagamaan yang mereka butuhkan. Budaya semacam ini merupakan dampak globalisasi yang dimaknai dengan dangkal dan tanpa filter. Hingga akhirnya menghasilkan manusia-manusia bermental konsumeris atau cenderung menyukai sesuatu yang instan, siap saji.
Masalah lain yang timbul seiring dengan gencarnya teknologi informasi ini adalah masuknya wajah-wajah neo-liberalisme dan kapitalisme yang diejawantahkan pada budaya konsumerisme. Wajah-wajah ini hadir bersama karakteristiknya yang khas, yaitu memperjelas sistem hierarki sosial. Tujuan utama sistem ini adalah memperjelas defenisi mengenai kaya, miskin, bahagia, sukses, kehormatan dan hina dari kacamata duniawi. Semua kata tersebut menjadi sebuah sistem nilai baru dimana uang, kemewahan dan kepemilikan barang-barang tertentu menjadi barometer. Hingga akhirnya tercipta sebuah jurang pemisah yang amat dalam antara si Kaya dan si Miskin.
Pada awalnya mungkin hanya soal kepemilikan barang-barang seperti emas, mobil, deposito, hand phone, laptop, rumah mewah, perabot mahal atau semacamnya. Namun kemudian hal ini mulai meluas kepada terbentuknya komunitas tertentu dalam interaksi sosial. Misalnya komunitas arisan istri-istri pejabat, sekolah anak-anak orang kaya, komunitas car modification, dan komunitas-komunitas lain yang diskriminatif. Dengan begitu, anak-anak orang kaya mulai dilarang bergaul dengan anak-anak pedagang kaki lima, serta budaya pamer kemewahan dunia mulai dipupuk rata. Sehingga semakin jelaslah bahwa dualisme Kaya dan Miskin, Kuat dan Lemah, Besar dan Kecil adalah sesuatu yang wajib ada dalam pergaulan sosial masyarakat di era globalisasi. Jika sudah seperti ini teori Evolusi Darwin pun mulai tampak tidak bisa disangkal, karena sesungguhnya teori itu ingin berkata bahwa “yang kuat harus menindas yang lemah”.
Globalisasi sudah mereduksi banyak sistem nilai dalam interaksi sosial, misalnya nilai sopan santun dan kekeluargaan. Globalisasi mulai mengurangi volume silaturahmi, kekeluargaan dan perkumpulan-perkumpulan fisik. Kalaupun budaya berkunjung ke rumah teman, ngobrol-ngobrol dan diskusi itu masih ada, efektifitas pergaulan semacam itu sudah semakin berkurang. Bagaimana tidak, saat teman yang satu berbicara, yang lain lebih asyik membaca sms atau mengakses jejaring sosial. Mereka lebih suka berhubungan dengan khayalan ketimbang menghadapi kenyataan. Selain kurangnya sopan santun, hal ini juga berdampak pada melemahnya mental dalam berkomunikasi secara ekternal. Karena teknologi, khususnya internet sudah mampu menjajah waktu kita dan membuat kita semakin individualis.
Singkatnya, kita tidak lagi dijajah secara fisik, tapi sudah lebih parah dari itu. Globalisasi sudah menjajah kita dari banyak sisi. Mereka menjajah waktu kita dan mengeksploitasi otak kita untuk terus memikirkan hal-hal yang tidak nyata. Budaya dan cara kita bergaul yang kini semakin individual juga merupakan bentuk penjajahan. Globalisasi terus mencekoki kita dengan berbagai teknologi sehingga kita menjadi generasi yang manja dan tidak kreatif, karena kita mulai menyukai sesuatu yang gampang dari pada berjuang untuk mendapatkan sesuatu. Secara ekonomi kita dituntut untuk bekerja keras hanya untuk dapat membeli barang-barang baru dengan teknologi yang semakin canggih.
Globalisasi membuat kita lebih suka bergaul dalam kelompok atau komunitas-komunitas tertentu. Kelompok-kelompok tersebut mulai membuat group-group tertentu di internet. Fasilitas ini lah yang nantinya dijadikan ajang ngobrol-ngobrol tanpa muka dan senyum yang nyata. Jadi tidak heran jika saat ini banyak sekali modus kejahatan di internet, atau sering dikenal dengan istilah cyber crime. Karena orang tidak bisa lagi mengetahui apakah lawan bicaranya ini serius, bergurau atau bahkan berbohong. Globalisasi mulai menjadikan manusia-manusia pembual dan mudah dibohongi hanya dengan kata-kata sebait atau dua bait.
Dari sisi keagamaan, seperti yang sudah disinggung di atas, masyarakat yang kini terggelam dalam arus globalisasi sudah menjauhkan diri dari para pemuka agama dan pengajian-pengajian Agama. Kyai mulai disisihkan dengan berbagai pretensi, misalnya, Kyai dianggap sebagai sosok yang otoritatif dan tidak komunikatif. Dakwah-dakwahnya dianggap kuno karena melulu menggunakan metode ceramah dan sama sekali tidak dialogis. Bahkan sebagian Kyai dianggap cabul karena memiliki istri lebih banyak dari yang lain. Dari sisi kelembagaan misalnya, pesantren dianggap menjalankan sistem feodal seperti penjajah belanda pada masa itu. Para santri di pesantren-pesantren, khususnya di pulau Jawa, disuruh mengerjakan sawah, mencuci pakaian, menyapu rumah dan lain sebagainya seperti pembantu rumah tangga. Padahal itu semua adalah kemauan dari santri-santri itu sendiri untuk mendapatkan ridho Allah melalui ridho dan doa para Kyai.
Hal-hal yang berkaitan dengan wacana tersebut sudah marak kita jumpai di internet. Semua informasi tersebut dibesar-besarkan seakan-akan yang mereka katakan adalah sebuah kebenaran. Kemudian dalam sejam saja, informasi tersebut sudah dibaca oleh ribuan pengguna internet. Bisa kita bayangkan betapa cepatnya seseorang ingin merusak orang lain, paling tidak dari sisi pencitraan. Baik itu pencitraan personal, kelembagaan pesantren atau bahkan kebenaran Agama. Kebenaran dalam hal apapun, khususnya kebenaran Agama, saat ini sudah sangat mudah dimanipulasi oleh oknum beragama hanya dengan menggunakan media internet, televisi, radio dan lain-lain. Tujuan mereka yang beragam membuat mereka semakin kreatif dalam menjelek-jelekkan orang lain dan membenarkan diri atau kelompok mereka sendiri.
Jika dicermati, semua itu adalah usaha-usaha yang dilakukan oleh segelintir orang yang ingin meraup keuntungan duniawi dengan cara menjauhkan masyarakat, khususnya komunitas keagamaan, dari agama itu sendiri. Dengan berbagai jalan yang mereka tempuh, saat ini sudah dapat kita lihat keberhasilan mereka dalam menjauhkan manusia dari agama dan Tuhan. Jika pada zaman sebelum globalisasi bergulir, para pemimpin keagamaan menjadi sumber central dari nilai-nilai kebaikan dan pergaulan sehari-hari. Mereka selalu menjadi orang nomor satu yang ditemui dan dimintai pendapat untuk menyelesaikan problem-problem keagamaan atau bahkan non-keagamaan. Maka, di era ini, masyarakat lebih suka mencari solusi di internet untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga hal ini mempunyai konsekuensi bahwa posisi Agama dan pemimpin keagamaan sudah tergantikan oleh internet.
Akhirnya, kita harus mulai sadar bahwa sejak abad 20, semangat globalisasi yang diisi dengan kampanye sekularisasi dan modernisasi dalam bentuk apapun – baik itu kemajuan teknologi informasi, budaya, busana, makanan, dan lain-lain – hanya mengemban satu misi, yaitu menjauhkan Tuhan dan Agama dari kehidupan publik. WALLAHU A’LAM.
)* Penulis Adalah Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

NEGARA SEKS-ISME


Oleh: Achmad Rois)*
Indonesia secara geografis dan kebudayaan merupakan Negara Timur. Kebanyakan Negara di belahan Timur tergolong sebagai bangsa yang sopan dan ramah, baik secara interaksi sosial maupun budaya. Budaya dapat diartikan dalam banyak hal, terserah dari sudut mana anda memandang kata budaya, bisa prilaku, tata bahasa, adat istiadat, karakter kebangsaan atau busana dan mode. Indonesia sendiri dianggap sebagai Negara yang tergolong “sopan” dalam banyak hal oleh Negara-negara lain dari seluruh belahan dunia. Dari sisi bahasa misalnya, Indonesia memiliki gaya bahasa yang santun dan menjunjung tinggi penghargaan terhadap orang lain sebagai lawan bicara. Secara adat dan prilaku masyarakat dalam interaksi sosial, Indonesia memiliki ciri khas “menyayangi yang muda dan menghormati yang lebih tua”. Dan dari sisi pakaian atau busana, Indonesia tergolong sebagai Negara yang santun dalam hal berpakaian. Meskipun ukuran “santun” dalam hal ini bisa bermakna berbeda di setiap daerah yang ditempatinya. Namun secara global, masyarakat Indonesia dapat dibilang “santun” dalam hal tata busana.

AGAMA SEBAGAI RUH PENDIDIKAN

Oleh: Achmad Rois)*

Peran sosial agama telah ditutupi oleh tangan-tangan angkuh pendusta agama. Tidak sepantasnya tangan-tangan angkuh itu mengklaim kebenaran agama atas nama Tuhan.
(Dr. Ahmad Ali Riyadi, M.A)
Pendidikan secara umum mempunyai peran yang luhur dan agung. Hal ini sudah menjadi konsensus atau kesepakatan yang sudah disepakati semua pihak dan elemen masyarakat. Pendidikan selalu saja menjadi perbincangan yang menarik untuk diketengahkan dengan tema apapun. Meskipun di beberapa tempat, pendidikan menjadi sesuatu yang asing bahkan tidak menarik lagi untuk diperhatikan. Pendidikan saat ini mulai dipandang dari sudut yang sangat sempit. Misalnya, pendidikan oleh sebagian orang dianggap sebagai peramal dan penentu masa depan yang pasti. Maksudnya, jika seseorang belajar ilmu kedokteran, maka dipastikan atau diramalkan dia akan menjadi seorang dokter, dan begitu seterusnya.
Apakah paradigma ini salah?  Cari tahu jawabannya disini !!!

KASIH IBU YANG TERLUPAKAN


(Sebuah Renungan untuk Anak Negeri)
Oleh: Ahmad Rois)*
Bulan Desember boleh dibilang sebagai bulan yang penuh dengan kenangan. Bagaimana tidak, bulan ini adalah bulan perpisahan antara satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang. Bulan ini memiliki beberapa moment penting yang biasa diperingati oleh berbagai golongan. Misalnya, Hari Anti Korupsi se-Dunia yang jatuh pada minggu kedua bulan Desember, tepatnya tanggal 9 Desember, selanjutnya Hari Ibu yang jatuh pada tanggal 22 Desember, dan Hari Natal bagi umat yang merayakannya pada tanggal 25 Desember.
Sebagai bulan terakhir, Desember menjadi bulan pengenang sebelas bulan yang telah berlalu. Sejarah yang lalu akan segera diukir dalam tumpukan arsip-arsip yang memiliki sedikit kemungkinan untuk dibuka lagi tahun depan. Lembaga-lembaga pemerintahan atau non-pemerintah sibuk menyiapkan laporan pertanggung jawaban mereka. Berbagai hal mereka lakukan, dari mulai rekapitulasi dana anggaran sampai menghabis-habiskan dana anggaran yang masih tersisa dengan mengadakan kegiatan fiksi atau kegiatan sungguhan yang sama sekali tidak ada manfaatnya. Lembaga pendidikan sibuk menyiapkan rancangan proposal anggaran baru untuk tahun depan, sementara anggaran tahun ini sudah habis entah dalam “perut” siapa. Lembaga pertanian, pertahanan, sosial bahkan keagamaan pun bernasib sama, kehabisan anggaran entah dalam “perut” siapa.
Fenomena di atas seakan sudah menjadi tradisi yang sangat lestari dalam dunia orang-orang berdasi dan berjas rapi. Jadi tidaklah mengherankan apabila berita mengenai korupsi, masih kita dengar setiap hari di televisi. Mereka terlalu sibuk dengan urusan ini dan itu, sehingga lupa dengan tugas mereka di pemerintahan, apalagi dengan peringatan-peringatan hari besar yang hanya diperingati sebagai formalitas belaka, tanpa isi tanpa esensi, semua hanya bualan fiksi dalam tradisi yang sudah usang dan basi.

WAJAH PARA PEMIMPIN

Oleh: Ahmad Rois)*
Tahun 2013 menjadi tahun transisi kepemimpinan, khususnya bagi provinsi Riau. Tanah melayu ini akan dihadapkan kepada sebuah pesta penuh janji dan pertanggungjawaban yang dinanti-nanti. Surat-surat pertanggungjawaban akan segera digelar di banyak sidang, baik yang digelar secara terbuka atau tertutup. Hiruk-pikuk kampanye BALON atau Calon gubernurpun akan segera kita temui diseluruh penjuru Negeri Gurindam 12 ini. Meskipun sebenarnya asap dari kobaran api politik ini sudah banyak merebak di pinggir-pinggir jalan dalam wujud baleho-baleho wajah para Calon Pemimpin Riau yang akan datang, paling tidak di sana tertulis 2013-2018. Sebagian visi dan misi mereka ada di sana, meskipun kebanyakan masih berbunyi seperti slogan yang penuh semangat, namun kosong sama sekali dari harapan masyarakat.

PENDIDIKAN DAN KERETA API (Sebuah Refleksi Tentang Proses)


Oleh: Achmad Rois)*
Beberapa waktu yang lalu, pemuda bodoh yang pendidikan formalnyanya tidak selesai-selesai ini melakukan pencarian tentang sebuah makna kata yang memang tidak ia ketahui sejak lama, bahkan tanpa disadarinya. Pendidikan, itulah sebuah kata yang ingin ia tahu maknanya. Dia mulai membuka-buka beberapa buku lusuh koleksinya di almari buruk, berayap. Ditemukannya beberapa karya yang dia cari, milik orang-orang terkenal yang pemikirannya sudah lebih dahulu dikenal kebanyakan orang, terutama educative civilizations. Pencarian tersebut menghasilkan beberapa hal yang coba diringkasnya di setiap paragraph dalam tulisan ini.
Terminologi pendidikan merupakan terjemahan dari istilah Pedagogi. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani Kuno “Paidos” dan “Agoo”. Paidos artinya “budak” dan Agoo berarti “membimbing”. Akhirnya, pedagogie diartikan sebagai “budak yang mengantarkan anak majikan untuk belajar”. Dalam perkembangannya, pedagogie dimaksudkan sebagai “ilmu mendidik”. Dalam khazanah teorisasi pendidikan, ada yang membedakan secara tegas antara pendidikan dan pengajaran. Perbedaan tersebut umumnya didasarkan karena hasil akhir yang dicapai serta cakupan rambahan yang dibidik oleh kegiatan tersebut. Dinamakan pendidikan apabila dalam kegiatan tersebut mencakup hasil yang rambahannya (dimensi) pengetahuan sekaligus kepribadian, sedangkan pengajaran membatasi kegiatan pada transfer of knowledge yang kawasannya tidak membentuk kepribadian.1
Dalam bahasa Inggris, pendidikan berasal dari kata educate (verb) yang berarti “mendidik”, kemudian menjadi education (noun) yang diartikan sebagai process of teaching, training and learning.2 Jadi, pendidikan dalam istilah ini menekankan pada tiga proses, yaitu mengajar, melatih (latihan) dan belajar. Mengapa proses begitu ditekankan dalam defenisi ini. Kata ‘proses’ mungkin saja merupakan isyarat bahwa pendidikan adalah sesuatu yang tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat atau secara instan. Karena itu pendidikan menuntut ketelatenan, keuletan, kesungguhan dan tanpa mengenal lelah sampai kapanpun. Sementara itu dapat kita simpulkan bahwa bagian penting dari pendidikan adalah “proses”, bukan “hasil”, karena hasil akan selalu mengikuti proses.
Sebenarnya, ada satu hal yang membuat pemuda penidur ini meneruskan pemikirannya tentang makna pendidikan yang dia cari. Itu karena dia menemukan sesuatu yang menarik dan sangat jarang sekali, bahkan (setahu penulis) belum pernah disampaikan, yaitu uraian sebuah kata yang menjadi bagian dari definisi pendidikan yang dilansir Learner’s Pocket Dictionary. Jika kita cermati lebih lanjut, dalam uraian definisi education ini terdapat kata training yang bermakna latihan. Apakah tidak aneh bagi Anda, mengapa kata training diambil dari kata dasar train yang berarti “kereta api”, kemudian padanan makna yang mengikuti kata train3 adalah deretan, gerombolan, ekor, jalan dan rentetan.
Jika diusut dari kacamata morphologi, maka kata train akan digolongkan ke dalam dua golongan. Kata train yang pertama adalah noun yang jika ditambahkan –er menjadi noun countable. Sedangkan yang kedua adalah verb yang jika diimbuhi –ing menjadi noun uncountable. Jika Anda merasa perlu melakukan kajian bahasa yang lebih mendalam, silahkan buka kembali buku-buku morphologi Anda pada bab derivation dan inflection, karena tujuan tulisan ini tidak untuk membahas bagian ini terlalu dalam. Paling tidak pembahasan ini jarang sekali atau mungkin belum pernah di ketengahkan di hadapan para pembaca yang budiman. Atau mungkin Anda bisa menanyakannya pada anak-anak kuliahan yang kadang merasa dirinya tahu segalanya, padahal sebenarnya, yang mereka tahu tidak pernah lebih banyak dari apa yang mereka tidak ketahui. Biarkan saya memberi tahu Anda tentang karakteristik (bukan bermaksud merendahkan) mereka, atau kebanyakan ilmuan. Anak kuliahan dan para ilmuan kebanyakan itu hanya menganggap sesuatu itu ada jika mereka mengetahuinya, tapi jika tidak, mereka akan mengatakan “itu tidak ada dan tidak dapat dibuktikan secara empiris”, yah, begitulah bentuk keangkuhan mereka.
Kemudian penulis mulai berfikir tentang apa kira-kira korelasi antara kereta api dan latihan, dan kenapa kata train dan training tidak seperti kata-kata yang lain. Misalnya teach, teach adalah transitive verb dengan makna yang masih berhubungan meskipun ditambahi –ing, yaitu mengajar. Kemudian kata learn yang berformula sama dengan teach juga tetap memiliki makna yang sama, yaitu belajar atau mempelajari. Kemudian bagaimana dengan kata train dan training yang sudah penulis uraikan di atas? Sampai di sini sudahkan Anda menemukan keanehan dari ke-tidak ada-nya hubungan antara pendidikan dan kereta api.
Sampai di sini, Penulis mencoba mengamati setiap kata dari definisi ini dengan seksama. Kemudian mulai berfikir untuk membuat sebuah analogi agar misteri ini lekas terungkap. Dengan analogi tersebut, penulis berharap agar hakikat pendidikan itu sendiri dapat diterima dan dipahami dengan jelas. Atau paling tidak akan memberi gambaran keterkaitan antara kereta api dan pendidikan. Namun sebenarnya, hubungan antara pendidikan dan kereta api ini hanyalah erat dan relevan dalam perumpamaan yang sangat mendidik. Sekaligus memberi gambaran secara gamblang tentang pentingnya pendidikan dan proses yang terkandung di dalamnya.
Tahukah Anda bahwa kereta api hanya berjalan di atas rel yang sudah ditentukan, atau dibuat sebelumnya. Kereta api selalu memiliki beberapa gerbong yang berderet atau rentetan gerbong. Dibagian depan, ada seorang Masinis4 yang mengendalikan laju kereta api. Masinis hanya mengatur kecepatan atau laju kereta api, tegasnya, kapan kereta harus melaju kencang dan kapan kereta harus berhenti. Masinis baru boleh berhenti ketika para penumpangnya sudah sampai pada tujuan yang mereka kehendaki.
Perumpamaan di atas dapat dipahami sebagai berikut; Kereta api adalah simbol pendidikan itu sendiri, sedangkan rel atau jalannya adalah proses yang harus dilalui untuk sampai pada tujuan pendidikan itu sendiri. Tanpa melewati rel tersebut, sangat mustahil kereta api akan sampai pada tujuannya. Begitu juga dengan pendidikan itu sendiri, pendidikan adalah proses seseorang untuk mencapai tujuan. Mengenai apa tujuan pendidikan itu sendiri, secara singkat penulis kutip ungkapan dari seorang Filsuf Yunani, Plato (428-347 SM). Tegas Plato, “Pendidikan membuat orang menjadi baik dan orang baik tentu berperilaku mulia”.
Selanjutnya, gerbong-gerbong yang memuat penumpangnya adalah peserta didik dan masinisnya adalah para pengajar (pendidik) yang akan mengantarkan para penumpang ke tujuan mereka masing-masing. Setiap penumpang harus mempunyai tujuan yang jelas, dan sang masinis harus tahu kemana tujuan setiap penumpang tersebut. Artinya, setiap guru harus tahu apa yang diinginkan murid dan harus selalu mengedepankan kebutuhan peserta didik. Teori ini dalam ilmu pengetahuan modern dikenal dengan “sistem5 pendidikan yang berorientasi pada peserta didik”. Dan pada proses tersebut, para guru diharapkan untuk mengetahui karakter dari setiap muridnya, kapan harus diberikan motivasi, kapan harus dibimbing dan kapan harus dinyatakan siap untuk terjun ke dunia yang lebih nyata (masyarakat).
Demikian analogi tentang kereta api dan pendidikan yang penulis buat-buat untuk mempermudah kita semua dalam memahami hakikat pendidikan. Selain defenisi yang kami buat-buat tadi, masih banyak lagi definisi pendidikan yang diuraikan oleh para tokoh pendidikan. Dengan latar belakang pengetahuannya yang beragam, mereka merumuskan definisi pendidikan kehadapan kita semua untuk dinikmati sebagai sumbangan kekayaan ilmu pengetahuan. Dan jika Anda mulai bertanya tentang apa latar belakang penulis artikel ini, maka jawabannya adalah “tidak jelas latar belakangnya”. Itulah kenyataan yang harus diterima setiap pembaca artikel ini, dan mohon maaf untuk kekecewaan Anda. Tujuannya adalah supaya kita semua tahu dan sadar bahwa tidak ada satupun dari manusia (seperti kita) yang “benar-benar benar” dan “benar-benar salah”.
Kemudian tentang proses yang penulis lanturkan (lantur in java is ng-lantur) di atas, agaknya akan menjadi refleksi bagi kita semua bahwa pendidikan adalah proses yang seharusnya menjadikan kita sebagai manusia yang sempurna (insan kamil). Jadi jika ada di antara kita yang sudah berpendidikan namun belum kamil, itu berarti ada yang salah dengan proses yang sudah kita lalui, dan saat ini masih belum terlambat untuk memperbaikinya. Perlu juga penulis ingatkan bahwa pendidikan dalam tulisan ini tidak memiliki makna yang sempit atau sangat sempit, karena sesuatu yang sangat sempit akan membuat sesuatu yang lain sangat sulit untuk bergerak. Misalnya, celana dalam (pria) yang terlalu sempit akan mengakibatkan sesuatu yang lain sulit bergerak dan bernafas (jika bernafas), atau pakaian wanita yang terlalu sempit akan membuat orang lain (khususnya pria normal) berpandangan dan berpikiran sempit, sesempit apa yang ada di balik pakaian sempit itu. Dan apakah Anda sudah lupa bahwa pria tadi juga mengenakan celana dalam yang sempit?
Kemudian proses yang kami sebutkan di atas juga tidak hanya berlaku pada proses pendidikan belaka, tapi berlaku pada seluruh proses dalam mencapai kehidupan yang mulia. Artinya, hidup adalah proses menyiapkan kehidupan yang akan datang (hanya bagi Anda yang meyakini bahwa akan ada kehidupan yang akan datang setelah dunia), jika baik, baiklah dan jika buruk, buruklah. Begitu juga dalam konteks pendidikan, hasil bukanlah sesuatu yang paling utama. Yang penting adalah bagaimana proses Anda selama di sana. Artinya, lakukanlah sesuatu dengan baik, maka insyaAllah, hasilnya akan sebanding. Anda mungkin pernah mendengar istilah yang sangat tenar pada masa orde baru, ya, istilah efektif dan efisien. Anda harus tahu bahwa segala sesuatu harus efektif dan efisien. Efektif di sini adalah melakukan sesuatu yang benar, sedangkan Efisien adalah melakukan sesuatu dengan benar.
Kemudian kata kunci terakhir adalah insan kamil, penulis merasa tidak perlu menjelaskan ini secara detail. Ambil saja makna istilah ini dari Plato, yang sudah penulis sebutkan di atas. Insan kamil adalah orang baik yang berprilaku mulia. Ini sudah cukup menjelaskan banyak hal tentang filosofi kehidupan bukan? Tapi perlu Anda ingat bahwa sekamil-kamilnya Anda, Anda tetaplah insan (manusia). Anda pasti mengerti maksud penulis bukan? Jadi, jangan pernah menyalahi rumus ini sampai kapanpun selagi Anda masih Insan. Karena penulis tidak ingin cerita-cerita tentang Qorun dan Firaun kembali terkuak ke permukaan.
Akhirnya, membicarakan tentang pendidikan selalu menarik bagi sebagian orang dan sangat membosankan bagi kebanyakan orang. Apalagi jika itu pendidikan yang ada di Indonesia. Bak benang kusut yang sudah tidak bisa di uraikan lagi rasanya. Tapi kita tidak boleh putus asa bukan? So, tetaplah hadapi problem yang hampir tidak kunjung selesai ini dengan hati yang lapang dan fikiran yang jernih. Semoga, Indonesia yang kita cintai ini semakin raya, seperti lagunya, INDONESIA RAYA. Atau jika tidak, maka berdoalah dengan sungguh-sungguh, semoga Indonesia ini benar-benar hancur lebur tak lagi bersisa, bahkan namanya sekalipun. Amiiin….
)* Penulis Adalah Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung, penidur yang malas (janji MApan yo ambLAS) dan pemuda yang ramah (RA patek oMAH).
Catatan Kaki.
1 M. Jumali et.al., Landasan Pendidikan, (Surakarta: Muhamadiyah University Press, 2008), 18
2 Learner’s Pocket Dictionary, (New York: Oxford University Press, 2000), 138
3 John M. Echols & Hasan Shadily, An English – Indonesian Dictionary, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), 600
4 Masinis adalah sebutan bagi orang yang mengemudikan kereta api.
5 Sistem child centered education atau konsep pendidikan yang berpusat pada anak didik ini disandarkan pada sebuah teori salah seorang tokoh Nativisme, yaitu Schopenhauer yang berpendapat bahwa sesungguhnya peserta didik sejak awal telah mempunyai potensi yang siap dikembangkan sehingga tugas pendidikan adalah mengembangkan potensi tersebut secara optimal. Lihat M. Jumali et.al., Landasan Pendidikan, 23

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL


Oleh: Achmad Rois)*
Jika ada yang bertanya tentang apa manfaat pendidikan, maka jawabanya sederhana; Pendidikan membuat orang menjadi baik dan orang baik tentu berprilaku mulia.  Plato (428-347 SM)
Indonesia adalah salah satu Negara multikultural terbesar di dunia. Kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari keadaan sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Di tengah Negara Multikultural ini, kehidupan yang damai tampaknya kian mahal untuk diwujudkan. Tantangan kehidupannya menjadi semakin kompleks, sehingga membuka begitu banyak peluang bagi munculnya gesekan dan perbedaan dalam berbagai ranah. Realitas ini telah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan lagi dari kehidupan sosial masyarakat Indonesia sekarang ini.
Dalam konstelasi kehidupan semacam ini, konflik menjadi sesuatu yang kian mudah terjadi. Sudah cukup banyak kejadian yang dapat kita jadikan eksemplar dalam skala kecil hingga yang cukup besar. Ini merupakan fenomena yang mengkhawatirkan, sebab tingkat keragaman yang tinggi, seperti yang dimiliki Indonesia, sesungguhnya merupakan kekayaan dan khazanah kehidupan yang penuh makna, namun dapat berubah menjadi bencana ketika tidak dikelola dengan baik. Banyaknya konflik dengan beragam latar belakang yang terjadi di Indonesia merupakan contoh nyata tentang bagaimana keragaman telah menjadi bencana yang tragis dan memilukan. Bagaimana mungkin orang bisa menghancurkan dan membunuh mereka yang berbeda hanya karena sentimen ras, suku, agama, atau afiliasi politik?
Secara normatif, tidak ada satu ajaran agama manapun yang mendorong dan menganjurkan pengikutnya untuk melakukan kekerasan terhadap pengikut agama lain di luar kelompoknya. Namun secara historis-faktual, sesekali dijumpai tindak kekerasan yang dilakukan oleh sebagian anggota masyarakat dengan dalih agama. Terlalu banyak peristiwa di tanah air, bahkan di dunia, yang menjadikan agama sebagai alat yang cukup ampuh untuk menyulut emosi dan kemarahan massa demi meraih tujuan-tujuan yang sebenarnya berada di luar kepentingan agama itu sendiri.
Di tengah bangsa dan masyarakat yang multikultural-multireligius, persoalan sosial-keagamaan memang bukan persoalan yang sederhana. Kompleksitas hubungan sosial antarumat beragama ini dirasakan oleh seluruh elemen dalam masyarakat, mulai dari politisi, guru, tokoh agama dan orang tua di rumah. Menafikan keberadaan tradisi-tradisi agama di muka bumi merupakan pekerjaan yang sia-sia. Masing-masing mempunyai hak yang sama; masing-masing mempunyai cara untuk mempertahankan tradisi dan identitasnya sendiri-sendiri dengan berbagai cara yang bisa dilakukan.
Menurut Amin Abdullah, cara yang paling tepat untuk mempertahankan tradisi dan identitas keagamaan di atas adalah melalui jalur pendidikan. Hal ini disebabkan karena pendidikan adalah alat yang paling efektif untuk meneruskan, melanggengkan, mengawetkan, dan mengonservasi tradisi dari satu generasi ke generasi selanjutnya, dari abad yang satu ke abad yang lain.
Pendidikan merupakan salah satu media yang paling efektif untuk melahirkan generasi yang memiliki pandangan yang mampu menjadikan keragaman sebagai bagian yang harus diapresiasi secara konstruktif. Sebab, pendidikan bersifat sistemik dengan tingkat penyebaran yang cukup merata. Lembaga-lembaga pendidikan dari berbagai tingkatan telah tersebar secara luas di berbagai wilayah Indonesia. Oleh karena itu, pendidikan menjadi sarana yang cukup efektif untuk mencapai tujuan ideal ini.
Permasalahan pokok yang dihadapi para pendidik dan penggerak sosial-keagamaan pada era kemajemukan dan era multikultural adalah bagaimana agar masing-masing tradisi keagamaan tetap dapat mengawetkan, memelihara, melanggengkan, mengalihgenerasikan, serta mewariskan kepercayaan dan tradisi yang diyakini sebagai suatu kebenaran yang mutlak, namun pada saat yang sama juga menyadari sepenuhnya keberadaan kelompok tradisi keagamaan lain yang juga berbuat serupa.
Paradigma pendidikan di Indonesia yang masih cenderung sentralistik telah melupakan keragaman, kekayaan, dan potensi yang ada. Kondisi ini diperparah oleh model pembelajaran yang cenderung dogmatis dan kurang mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Pendidikan agama misalnya, cara pengajarannya lebih didominasi oleh pemahaman tekstual ajaran agama yang dogmatis dan eksklusif.  Akibatnya, benih-benih konflik yang berawal dari keragaman bangsa, baik dari sisi budaya ataupun agama, seringkali muncul ke permukaan. Berangkat dari fenomena inilah, pendidikan Islam berwawasan multikultural menjadi penting untuk ditawarkan guna menjawab pertanyaan tentang bagaimana membangun kesadaran multikultural.
Pendidikan Islam multikultural ini dapat dipahami sebagai proses pendidikan yang berprinsip pada demokrasi, kesetaraan, dan keadilan; berorientasi kepada kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian; serta mengembangkan sikap mengakui, menerima, dan menghargai keragaman berdasarkan al-Qur’an dan Hadist. Sementara Amin Abdullah menyatakan bahwa multikulturalisme adalah sebuah paham yang menekankan pada kesenjangan dan kesetaraan budaya-budaya lokal dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada. Dengan kata lain, penekanan utama multikulturalisme adalah pada kesetaraan budaya.
Akhirnya, tulisan ini hanyalah sebuah pendahuluan tentang wacana pengembangan ilmu dan konsep pemikiran pendidikan Islam, khususnya yang berbasis multikultural, dan sebuah tawaran solutif guna menjawab persoalan tentang bagaimana membumikan dan membangun wacana tentang kesadaran multikultural di kalangan masyarakat secara umum. Secara praktis, wacana ini dapat diimplementasikan di semua lembaga pendidikan. Tentu saja dengan segala perencanaan, materi, metode, dan model pembelajarannya yang berbasis multikultural. Karena lembaga pendidikan secara umum mempunyai tanggung jawab, baik secara yuridis ataupun etis untuk berperan aktif dalam mengembangkan pendidikan, sehingga mampu menghasilkan generasi penerus yang toleran dan kooperatif meskipun berasal dari latar belakang etnis, budaya dan agama yang berbeda.

Sekian, Selamat Berkontemplasi, Semoga Bermanfaat dan Salam Perubahan

SUMBER TULISAN:

  • Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren, Telaah terhadap Kurikulum Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam Surakarta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011)
  • M. Amin Abdullah, dalam Pramono U. Tanthowi (ed.), Begawan Muhammadiyah, Bunga Rampai Pidato Pengukuhan Guru Besar Tokoh Muhammadiayah (Jakarta: PSAP, 2005),
  • M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius (Jakarta: PSAP, 2005)
  • M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Cross Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan,(Yogyakarta: Pilar Media, 2006)
  • Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008)

KEBIJAKAN TERHADAP PRIORITAS ICT DI SEKOLAH

PENDAHULUAN
Tulisan ini merupakan review dari buku Learning to Change: ICT in school. Fokus pembahasannya mengacu pada Bab I, yaitu Policy Priorities for ICT in Schools. Bab ini terdiri dari tiga sub bab, diantaranya, Why schools have to adopt ICT, The issues to be addressed in this report, dan Directions for policy. Keseluruhan bab yang kami bahas dalam tulisan ini berawal dari halaman 9 dan berakhir pada halaman 17.
Secara garis besar, sub bab pertama membahas tentang alasan-alasan kenapa sebuah sekolah perlu menerapkan sistem komputerisasi ini di sekolahnya. Sub ini menawarkan beberapa alasan logis yang dapat dijadikan pertimbangan sebelum mulai menerapkan sistem ini di sekolah. Kemudian, sub bab kedua menawarkan sebuah sistem pembelajaran yang mudah dan menarik. Sistem ini mereka sebut dengan istilah digital learner. Digital learner sendiri adalah sebuah konsep tentang media dan akses pembelajaran yang mudah dan dapat dinikmati kapan dan dimanapun.

JAWA ADALAH ISLAM


Oleh: Achmad Rois)*
Pengantar Identitas
Minggu lalu, “penidur bodoh” ini sudah berbicara tentang peradaban yang kian mengurangi nilai adab itu sediri. Adalah ketika kemajuan zaman dimaknai sebagai ombak besar yang meng-erosikan nilai-nilai luhur budaya lokal dan religiusitas penduduknya. Pada kesempatan yang di-Rahmati Tuhan ini, penulis akan mengundang Anda menggunakan logika paling sederhana bahwa “lampu hanya akan diletakkan di tempat yang gelap atau paling gelap”. Tulisan ini akan berjalan cukup lama dan panjang, jadi jika Anda tidak siap untuk menerima konsekuensi ini, tinggalkan dan carilah tulisan lain untuk dibaca.



Hari ini, saat saya menulis, saya adalah orang Indonesia yang sedang sangat mencintai kewarganegaraan saya, meskipun saya sendiri tidak begitu yakin apakah Negara dan Bangsa ini pantas mendapatkan cinta saya. Kemudian, saya adalah orang Jawa (etnisitas) yang sangat menjunjung tinggi keluhuran budayanya secara filosofis maupun religius. Dan di sisi lain, agama saya adalah Islam, karena di KTP saya tertulis begitu.
Jawa dan Islam dalam Idealitas
Berbicara mengenai budaya Jawa, berarti mengarungi budaya penuh simbologi dan mitologi. Jawa memiliki sejuta, bahkan lebih, simbol-simbol dan mitos yang penuh dengan makna filosofis. Simbol-simbol dengan makna filosofis ini yang selanjutnya akan kita sebut dengan “Falsafah Jawa”. Falsafah Jawa ini juga terkait kepada budaya spiritual orang Jawa yang mulia, yang kemudian menjadi falsafah hidup mereka. Pada tulisan ini akan saya ketegahkan beberapa saja dari keluhuran falsafah Jawa, karena saya memang tidak tahu begitu banyak, tapi saya akan terus mencarinya, meskipun usaha saya tidak akan pernah selesai karena memang begitu kayanya falsafah hidup Jawa yang mulia ini.
Falsafah Jawa yang sangat terkenal dan menjadi landasan aksara Jawa adalah “HA-NA- CA-RA-KA”. Ha-na artinya ‘nyata ada’, mengiaskan ilmu kasunyatan. Dalam epistemologi modern pengetahuan ini dikenal dengan Realitas atau Pengalaman Empiris. “CA-RA-KA” mengandung aksara yang menyiratkan kata cipta-rasa-karsa, yakni salah satu sumber kelengkapan hidup manusia. “DA-TA-SA-WA-LA”, mengiaskan dzat yang data-sawala, yakni dzat yang tidak pernah salah dan tidak pernah bisa salah, yaitu Dzat Tuhan. Tuhan memberi manusia beberapa sifatnya, yaitu sifat baik dan buruk. Kedua sifat tersebut sama kuatnya, “PA-DHA-JA-YA-NYA”, sama jayannya. “MA-GA-BA.THA-NGA”, Ma, menyiratkan kata ‘sukma’, dan Ga, menyiratkan kata angga (badan). Maksudnya, jika Sukma masih bersatu dengan badan, manusia itu masih hidup, tetapi jika sukma telah meninggalkan badan, manusia itu mati, tinggal ba-tha-nga yaitu bangkainya, dan sukmanya kembali kepada Tuhan.
Falsafah Jawa selanjutnya adalah sikap mental atau keadaan batin yang ideal menurut orang Jawa. Orang jawa memahami bahwa unsur sentral cara bersikap dalam kehidupan mereka ada rila, nrimo dan sabar. Sikap ini yang akan melandasi sikap orang Jawa dalam menghadapi segala hal. Rila disebut juga dengan eklas, yaitu kesediaan menyerahkan segala milik, kemampuan, dan hasil karya kepada Tuhan. Nrima berarti merasa puas dengan nasib dan kewajiban yang telah ada, tidak memberontak, tetapi mengucapkan terima kasih. Sabar menunjukkan ketiadaan hasrat, ketiadaan ketak-sabaran, dan ketiadaan nafsu yang bergolak.
Sikap pertama, yaitu rila atau eklas, dalam Islam juga dikenal dengan sebutan Ikhlas. Ikhlas secara etimologi berasal dari kata Kholasho yang berarti bersih, tiada bercampur. Kemudian Khollasho dengan lam yang ditasydid berarti melepaskan, dan isim faa’ilnya adalah Khoolisun yang berarti yang bersih, yang murni. Defenisi etimologis ini mengantarkan kita kepada sebuah pemahaman bahwa dalam memberikan sesuatu kita harus “bersih”. Bersih yang pertama adalah bersih yang kita berikan. Artinya, yang kita berikan adalah sesuatu yang harus berada dalam keadaan baik dan halal, jika konteksnya Islam disebut dengan “halalan thoyyiba”. Kemudian bersih yang kedua berarti murni, yaitu melepaskan segala sesuatu yang membuat kita mengharapkan balasan dari orang yang kita beri. Jadi, Ikhlas adalah melakukan atau memberikan sesuatu hanya karena Tuhan, dan tidak mencampuri tujuan tersebut dengan tujuan lain seperti, penghargaan dari orang banyak, popularitas politik, penghormatan dan lain-lain. Dan implementasi falsafah ini dalam tradisi jawa disebut sepi ing pamrih.
Sikap selanjutnya adalah nrima, yaitu bentuk rasa syukur dan kepasrahan total terhadap apa yang telah ditakdirkan Tuhan. Dan dalam agama yang tertulis dalam KTP saya tadi diajarkan bahwa manusia harus percaya pada Takdir Tuhan (rukun Iman), kemudian harus bersyukur terhadap nikmat yang deberikan Tuhan. Perintah untuk bersyukur ini begitu seringnya saya dengar disetiap pembukaan Khutbah Jum’at, Ceramah-ceramah keagamaan dan dibanyak forum lain yang pernah saya ikuti. Saya tidak pernah bertanya kepada mereka kenapa kita harus bersyukur, tapi ketika saya mencoba untuk tidak bersyukur sehari saja, betapa sedikitnya keberkahan yang saya terima saat itu. Kemudian saya putuskan untuk mengambil kesimpulan bodoh bahwa “saya memang harus berterimakasih, meskipun saya tidak tahu atau bahkan tidak percaya bahwa ada yang memberi sesuatu untuk saya, dan saya nikmati itu”.
Dalam kaitanya dengan Tuhan, falsafah Jawa mengajarkan kita untuk bersikap nerima ing pandum, yakni menerima dengan sumeleh terhadap pemberian Tuhan. Tapi sikap ini tidak dapat digolongkan kedalam sikap fatalistik. Penganut fatalistik percaya bahwa semua kejadian sudah diputuskan dan ditetapkan oleh Tuhan pada permulaan wujud, sehingga usaha-usaha manusia tidak dapat mengubahnya. Dalam konteks Islam, “sesungguhnya Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka sendiri yang mengubahnya”. Ini berarti bahwa campur tangan atau usaha manusia tetap saja dibutuhkan dalam menjalani takdir yang sudah ditetapkan. Selain ayat ini, banyak lagi ayat lain yang menggunakan retorika tersirat bahwa manusia tetaplah harus berusaha, meskipun pada akhirnya Tuhan juga lah yang akan menentukan semuanya.
Masih senada dengan syukur atau nrima, Jawa mengenal istilah urip manungsa pinasthi ing Pangeran, hidup telah ditakdirkan, tapi tidak berarti kita hanya diam. Orang Jawa memaknai hidup adalah senantiasa bergerak, jika orang hidup hanya diam, berarti sama saja dengan mati. Adapun watak nrima sebenarnya tetap disertai usaha terlebih dahulu, baru kemudian pasrah dan sumarah. Pasrah adalah kondisi tunduk takluk pada takdir, ibaratnya tangan tengkurap, merunduk. Sedangkan sumarah adalah berserah diri dengan cara mengulurkan tangan. Dengan kata lain nrima tidak berarti hanya berdiam diri seperti menunggu datangnya embun pagi. Ini menjadi menarik ketika makna Islam itu sendiri juga berarti pasrah dan tunduk. Jadi, orang Jawa sebenarnya sudah Islam bahkan sebelum Islam itu sendiri datang ke Jawa.
Falsafah sabar tentu juga sudah sangat jelas, baik secara etimologi jawa maupun Islam. Sifat ini begitu mulianya, sampai Tuhan dengan sangat berani berfirman bahwa Dia bersama orang-orang yang sabar. Selain itu, Tuhan juga memerintahkan kita untuk meminta pertolongan dengan sabar dan sholat. Ada banyak tafsir mengenai hal ini, tapi secara garis besar, Tuhan menyayangi orang yang sabar, dan tanpa kesabaran, sholat hanya akan berada pada koridor yang formal, tanpa ruh dan tanpa penghayatan.
Falsafah lain yang juga penting dalam epistemologi Jawa adalah “sak bejha-bejhane wong luwih bejho wong kang eling lan waspodho”. Kalimat ini selalu mengingatkan saya pada sebuah stasiun radio swasta yang berada di daerah timur kota Tulungagung, Ngunut. Kalimat ini sering sekali saya dengar ketika ngopi di kantin PPHM. PPHM adalah tempat dimana saya sangat suka dan lebih memilih tidur pulas ketimbang ngaji kitab kuning. Tapi saya tetap mencintai tempat ini, karena saya pernah tinggal dan tidur di sana beberapa hari.
Kembali pada falsafah di atas, Eling menjadi perwujudan hidup yang berdimensi vertikal (transendental). Jadi yang dimaksud dengan eling ini adalah senantiasa ingat pada Tuhan sebagai Maha Pencipta, dan eling terhadap hakikat diri manusia itu sendiri. Dalam Islam, sholat juga berarti dzikir atau senantiasa mengingat dan berserah diri pada Tuhan. Dan dalam ayat yang lain, sering sekali kita dengar bahwa “man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa robbahu”. Waspada adalah watak kehati-hatian, yang berdimensi horizontal. Waspada mengindikasikan watak dasar manusia Jawa yang melaksanakan segala sesuatu berlandaskan situasi kontekstual. Hal ini juga akan merujuk pada pemikiran yang selalu tanggap pada kejadian-kejadian di sekelilingnya. Segala kejadian akan turut menentukan tanda-tanda hadirnya takdir, karena itulah perlu diwaspadai agar hidupnya aman, tenteram dan damai.
Dalam pengembaraan orang Jawa guna mencari Tuhan, mereka mengenal banyak istilah, seperti “mati sajroning urip, sangkan paraning dumadi, dan manunggaling kawulo Gusti”. Orang Jawa juga mempunyai pandangan bahwa hakikat Tuhan itu memiliki sifat dan afngal. Sifat Tuhan itu Esa, tak ada yang menciptakan. Ini senada dengan Surat Al-Ikhlas, Dialah Tuhan yang Maha Esa, Tidak beranak dan diperanakkan. Sedangkan Afngal berarti Tuhan itu tidak dapat dilihat dan tidak berwujud. Orang Jawa juga sangat percaya dan yakin bahwa ada Dzat di luar diri mereka yang lebih Kuasa di atas segalanya. Sama seperti orang Islam yang juga yakin bahwa Tuhan adalah Dzat dengan segala Kesempurnaanya.
Orang jawa juga mengenal istilah manungsa utama yang dalam Islam disebut dengan insan kamil. Untuk mencapai taraf ini, orang Jawa mengenal proses ajur ajer yang dalam istilah tasawuf disebut fana, yaitu menganggap diri ini tidak ada, hanya Tuhanlah yang Maha Ada. Karena itu orang Jawa selalu menyikapi hidup dengan penuh keyakinan bahwa hanya Tuhanlah yang kekal dan abadi. Dunia bathin ini dimanifestasikan dalam istilah “menyang donya mung mampir ngombe”. Meskipun demikian, hidup yang sementara ini tidak dijalani dengan hanya berpangku tangan, tapi dengan perjuangan dan proses. Mereka memahami bahwa hidup adalah perjalanan dari tiada, ada, ke tiada lagi. Kerena mereka memahami bahwa hidup sudah ditentukan, dan hidup hanya untuk sementara, maka orang Jawa tidak menjalani hidup ini dengan ngaya (ambisius). Hati mereka merasa tenang dan menyikapi hidup sebagai cakramanggilingan, yang artinya berputar dari waktu ke waktu, menuju kesempurnaan.
Catatan Akhir
Tulisan ini akan bertambah panjang jika saya terus menyebutkan lebih banyak lagi falsafah Jawa yang mulia dan relevan dengan ajaran Islam. Ada sejuta bahkan lebih banyak lagi mitologi dan simbologi jawa yang lain, dan yang sangat berharga dalam kajian ini. Namun itu menjadi tugas Anda untuk menggali kekayaan tradisi Jawa lebih lanjut, karena saya meletakkan kajian ini sebagai pengantar pengetahuan kita tentang mulianya produk manusia Jawa sebelum peradaban Islam datang ke Indonesia secara umum dan Jawa khususnya.
Kajian ini terlihat menyamaratakan antara Jawa dan Islam. Dan saya akan sangat tidak setuju dengan statemen tersebut. Jawa tetaplah etnis, dan budaya yang dilahirkannya tetap saja ciptaan manusia. Sedangkan Islam adalah Agama, dan segala sistem dan nilai yang diajarkannya berasal dari Keagungan Tuhan yang mempercayakan Agama tersebut disosialisasikan oleh Muhammad SAW. Muhammad sendiri bukan orang Jawa, beliau kita kenal berasal dari bangsa Arab dari keturunan suku Quraisy.
Melalui pengetahuan ini, akan saya tanamkan kepada Anda bahwa Anda sebagai orang Indonesia pada umumnya, dan khususnya orang Jawa, harus berbangga hati karena Nabi Muhammad SAW yang dimuliakan Tuhan itu tidak lahir dari suku Jawa atau bukan orang Indonesia. Mengapa ini perlu dipahami? Saya sangat prihatin ketika ada beberapa orang dari kita yang merasa minder memeluk Agama Islam hanya karena Nabi Muhammad SAW bukan orang Jawa. Perlu diketahui bahwa Islam bukan hanya milik orang Quraisy, Islam adalah rahmatal lil ‘alamin. Kitabnya, Alqur’an berlaku sepanjang masa dan untuk siapa saja, meskipun Tuhan terkadang diskrimintif dalam ayat-ayatnya, seperti ketika memanggil “hai orang-orang yang beriman, bertakwa, berpikir, kafir dan panggilan-panggilan lain yang secara spesifik ditujukan pada orang-orang tertentu yang Dia kehendaki”. Tapi dalam banyak ayat, secara tegas Tuhan memanggil “hai manusia”, yang berarti tanpa ada batasan suku, agama, kewarganegaraan, warna kulit, status sosial dan status-status lain.
Keprihatinan kedua adalah ketika saya mendengar begitu banyak orang mengagung-agungkan orang arab, bahasa arab dan Nabi Muhammad yang berasal dari arab. Sehingga seakan-akan hanya orang Islam dari arablah yang Islamnya paling sempurna. Sampai budayanya pun dibawa-bawa sebagai identitas Islam yang ada di jazirah selain Arab, termasuk Indonesia. Seperti jubahnya, surbannya, gaya bicaranya dan banyak lagi Arabisasi yang diberhalakan. Saya tidak terlalu suka dengan paham semacam ini, dan setelah saya menelusuri sedikit demi sedikit keluhuran budaya Jawa sebelum datangnya Islam ke Indonesia, saya justru lebih tidak suka lagi. Saya merasa bahwa Tuhan menetapkan saya sebagai orang Jawa yang mengenal Islam-nya Muhammad SAW, supaya saya menjadi orang Jawa yang Islam seperti Islam-nya Muhammad. Dan saya sangat yakin bahwa Tuhan memang menginginkan saya menjadi orang Islam Indonesia, bukan orang Islam Arab. Tapi kalaupun Tuhan menghendaki saya mempelajari budaya Arab dan Bahasa Arab, itu hanya untuk menjadikan saya sebagai manusia Indonesia, bukan menjadi orang Arab pula.
Selanjutnya, setelah kita cermati keluhuran materi-materi Jawa dengan segala mitologi dan simbolnya. Secara kasar, dapat kita simpulkan bahwa orang Jawa secara umum memiliki kesadaran yang sama dalam hal pencarian Tuhan, seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS dalam usahanya mencari Sang Pencipta. Dan orang Jawa melakukan itu dengan sangat hati-hati dan penuh kesungguhan. Dari sisi Akhlak, kemuliaan akhlak orang Jawa banyak sekali dicerminkan dari cara orang Jawa menyikapi kehidupan. Dan kepercayaanya terhadap hal-hal ghaib, termasuk hari akhir atau hari setelah mati juga digambarkan dalam banyak persepsi falsafah Jawa.
Sebagai pembanding, mari kita kenang kembali pengetahuan kita mengenai sejarah pra-Islam di jazirah Arab yang sering dibangga-banggakan orang itu. Singkatnya, peradaban masa itu sangat-sangat buruk dan keji. Barulah ketika Islam datang dan membawa pencerahan dimasa kegelapan itu, peradaban mulai berangsur membaik dan kian membaik sampai pada klaim Makkah al Mukarromah dan Madinah al Munawwaroh.
Sampai di sini, jelaslah sudah bahwa keadaan pra-Islam di Jawa sangat berbeda dengan keadaan pra-Islam di Arab. Untuk sekedar mengingatkan, sering sekali kita dengar puji-pujian terhadap Nabi Muhammad, “anta samsun anta badrun”, yang mengindikasikan bahwa Muhammad adalah Cahaya Peradaban. Sampai di sini sudahkan Anda mampu menangkap pesan yang ingin saya sampaikan bahwa “Lampu hanya diletakkan di tempat yang gelap, atau paling gelap”. Maka dengan sangat percaya diri saya katakan bahwa orang Jawa sebelum Islam tidak seburuk orang Arab sebelum Islam. Jadi, kita sebagai orang Jawa khususnya, dan orang Indonesia umumnya, harus bangga karena Nabi Muhammad tidak lahir dari Rahim orang Jawa dan tidak berkewarganegaraan Indonesia.
Tapi perlu saya tegaskan sekali lagi, bahwa Jawa tetaplah Jawa, dan Islam tetaplah Islam. Peradaban Jawa secara Akhlak dan Aqidah sudah hampir sempurna, tapi tanpa Wahyu dari Tuhan dan Ajaran yang disampaikan Muhammad, kesempurnaan itu tidak akan pernah tercapai sampai kapanpun.
Pendukung Kajian:
FALSAFAH HIDUP JAWA, oleh Suwardi Endraswara, (Yogyakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2010).
Kawruh Basa Jawa Pepak, oleh Daryanto, (Surabaya: APOLLO, 1999)
Kamus Ilmiah Populer, oleh Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, (Surabaya: ARKOLA, 1994)
Kamus Arab-Indonesia, oleh Mahmud Yunus, (Jakarta: PT Hidakarya Agung)
SIGARET KRETEK, oleh DJI SAM SOE (Surabaya: PT HM Sampoerna Tbk.)
)* Penulis adalah Aktifis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

Wednesday, September 6, 2017

TOILET PENYADARAN

Oleh: Achmad Rois)*
GAE OPO SEKOLAH DUWUR-DUWUR LEK HASILE MEK GAE PERADABAN SOYO MUNDUR

Dunia dengan berbagai kemajuannya sudah sampai di setiap pelosok Negeri ini. Pengaruhnya yang beragam seringkali menjadi perbincangan banyak orang. Setiap sisi selalu mengundang pembahasan berbeda dari sudut pandang yang berbeda pula. Kemajuan zaman sering dinamai dengan globalisasi. Mereka menyebutnya seiring dengan istilah modern yang hampir tiap detik kita dengar di televisi, radio, dan media lain. Seakan dunia benar-benar harus memiliki pandangan yang sama dengan mereka, yaitu pembangunan, globalisasi atau modernisasi.
Sebuah bangsa dikatakan maju jika memiliki peradaban yang beradab, karena memang asal kata peradaban adalah adab. Kita sering memahami istilah Negara maju dari sisi yang justru sebenarnya bukan hakikat. Karena yang kita lihat hanyalah sisi secara empiris yang sepi kearifan. Misalnya hanya dari sisi teknologi, pembangunan infrastruktur, system ekonomi atau politik yang diberlakukan disebuah Negara. Itu hanyalah sebuah sisi dimana peradaban sebenarnya belum termasuk di dalamnya sebagai kemajuan atau kemapanan.

ROIS dan IMAM

Oleh: Achmad Rois)*
Tidak ada jalan kepemimpinan yang bukan jalan pelayanan (Mario Teguh)

Dalam sebuah organisasi, baik besar atau kecil, peran seorang pemimpin adalah sesuatu yang vital. Organisasi yang baik adalah yang mampu memilih pemimpinnya secara tepat. Keluarga sebagai organisasi paling kecil dipimpin oleh seorang Ayah sebagai Kepala keluarga. Begitupun Negara, selalu ada Presiden, Raja, Perdana Menteri atau apapun namanya yang bertindak sebagai pemimpin. Karena pentingnya soal kepemimpinan sampai-sampai Nabi SAW bersabda yang artinya “Apabila tiga orang keluar bepergian, hendaklah mereka menjadikan salah satu sebagai pemimpin. (HR. Abu Dawud)”. Ini membuktikan bahwa Nabi SAW dan Islam memandang sebuah kepemimpinan sebagai sesuatu yang sangat penting, meskipun ada hal-hal lain dalam organisasi yang juga tidak kalah penting dengan kepemimpinan.

Membaca dan Pendidikan Karakter


Oleh: Achmad Rois)*
Pendidikan merupakan sebuah ruangan yang luas dengan tatanan perabot dan asesoris yang begitu kompleks dan plural. Di dalamnya masuk berbagai kepentingan dengan tendensinya masing-masing. Kepentingan tersebut adalah alasan mengapa mereka memilih perabotan ini dan asesoris itu. Pilihan merekalah yang nantinya menentukan arah dan jalan hidup mereka ke depan. Jalur sosialkah, politikkah, ekonomikah, agamakah, budayakah, pendidikankah yang akan mereka lalui sebagai jalan untuk mencapai tujuan mereka. Mengapa jalan? Karena semua yang kita kerjakan di dunia ini haruslah menjadi jalan untuk menuai keridhoan Ilahi di Akhirat nanti. Jadi apa sebenarnya tujuan kita? Adalah hidup dengan kebahagiaan jasmani dan rohani dengan makna yang luas. Jadi jika ada diantara kita yang menjadikan segala hal yang bersifat sekular menjadi tujuan, maka segera pikirkan kembali tujuan anda, benarkah anda cukup dengan semua itu.

BAHAYA LATEN TELEVISI

Oleh: Achmad rois)*
“Anda begitu gelisahnya dengan kebisingan yang tanpa maksud mengganggu kami perbuat, tapi Anda tidak begitu responsif dengan apa yang ditonton anak-anak didik anda saat tidak berada di sekolah bersama anda. Apa anda pernah berpikir bahwa bahaya yang ditimbulkan televisi adalah kemasan bahaya laten yang disusun secara sistematis dan memiliki pengaruh signifikan dalam jangka yang tidak terbatas? Melalui televisi peradaban modern menginfiltrasi kearifan budaya-budaya lokal. Melaluinya pula dekadensi moral diciptakan dalam berbagai kemasan. Tapi biarlah, karena anda tidak seperhatian itu.
Apakah kalian pernah berikir bahwa percepatan pendidikan usia dini adalah agenda kapitalis untuk menyeragamkan cara pandang kalian terhadap “super child”? Kasusnya, semua orang tua akan mencari banyak alternatif untuk menjadikan anaknya sebagai super child dengan cara yang salah satunya adalah suplay multivitamin. Mereka menyuplai berbagai vitamin dan suplemen dalam rangka meningkatkan kecerdasan anak mereka, sementara mereka tidak tahu bahwa di Afrika pernah ada kampanye vitamin tapi ternyata penyebaran virus HIV. Secara finansial, konstruk pola pikir semacam ini adalah usaha kaum kapitalistik untuk meraup keuntungan sebesar mungkin dari produk-produk yang mereka ciptakan kemudian menjadikan kita semua sebagai bangsa konsumeris.”
Mereka tidak ingin anak-anak kalian menjadi terdidik , berpikir terlalu banyak, itulah sebab mengapa Negara dan dunia kita dijejali dengan berbagai bentuk hiburan, media masa, acara-acara televisi, taman hiburan, obat-obatan terlarang, alcohol dan segala jenis hiburan untuk membuat pikiran setiap orang tetap terhibur. Sehingga kalian tidak menghalangi jalan orang-orang elit tertentu, dengan melakukan banyak berpikir, anda sebaiknya sadar dan mulai berpikir bahwa ada orang-orang yang sedang mengarahkan hidup anda tanpa anda sadari.

Kita sedang dalam masalah besar, kalian yang membaca tulisan ini hanya 3 persen yang membaca buku, 15 persen yang membaca Koran, sebab satu-satunya kebenaran yang anda ketahui hanyalah apa yang anda dapat lihat dari tabung TV. Saat ini, sedang ada seluruh generasi yang tidak pernah tahu apapun kecuali yang datang dari tabung TV. Tabung tersebut seakan seperti wahyu dari Tuhan yang tidak bisa dibantah dan wajib di imani. Tabung tersebut bisa menaikkan atau menjatuhkan siapapun. Dia merupakan kekuatan paling dahsyat diseluruh dunia, dan celakalah bagi kita jika ia sampai jatuh ke tangan orang yang salah. Dan ketika perusahaan terbesar di dunia menguasai kekuatan propaganda terdahsyat di seluruh dunia itu, siapa yang tahu kebenaran macam apa yang akan dijual melalui jaringan ini. Televisi bukanlah kebenaran, TV adalah taman bermain, sebuah sirkus, sebuah karnaval, pertunjukan acrobat keliling, penjaja dongeng, para penari, pemain sulap, pawang singa dan pemain sepak bola. Kita sedang berada dalam bisnis yang luar biasa menjemukan. Tapi kalian semua duduk didepannya setiap hari, setiap malam, semua umur, semua warna kulit, keyakinan…kita semua. Kalian mulai percaya dengan ilusi yang kita putar dari sini, kalian mulai menganggap tabung tv ini sebagai realitas, dan justru hidup anda sendiri yang tidak nyata. Kalian melakukan apa saja yang dikatakan tv, kalian berpakaian seperti di tv, makan makanan yang ada di tv, membesarkan anak kalian seperti di tv, bahkan kalian sudah berpikir seperti di tv. Ini kegilaan masal, wahai kalian para maniak. Demi Tuhan bahwa kalianlah yang nyata, dan tv hanyalah ilusi,
Kekuasaan yang tidak ditepatgunakan senantiasa merusak, dan kekuasaan mutlak yang tidak ditepatgunakan berarti rusak sepenuhnya.
Tulisan ini sebagian diadopsi dari film dokumenter ZEITGEIST
)* Penulis adalah Aktifis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

SEMANGAT BADAR

Oleh: Achmad Rois)*
Lama sekali sebelum hari ini aku meninggalkan kebiasaan yang begitu lama aku bangun dengan semangat dan perjuangan. Kebiasaan itu kadang menjadi pelipur kesedihan dalam berbagai polemik kehidupan. Kadang ia adalah konten dari setiap hari yang aku lalui, tapi lebih banyak dari mereka adalah gumpalan imaji dan mimpi. Telah aku putuskan bahwa hari ini adalah hari dimana aku harus menulis dan terus menulis lagi, tak peduli seberapa buntu otakku, seberapa sibuk tubuhku, dan seberapa fit tingkat kesehatanku. Karena harus aku akui secara jujur bahwa hati kecil ini selalu merasa bersalah dan berdosa ketika ada sesuatu yang bisa aku tulis namun tak kunjung aku tulis. Meskipun aku sendiri bahkan tidak tahu dalam golongan mana dosa ini diklasifikasikan oleh malaikat kiriku. Tapi yang pasti, Tuhan, aku mohon ampun untuk dosa itu.

Sebenarnya, tak ada tema yang benar-benar berkualitas untuk kutulis. Tapi jari ini benar-benar rindu dengan keyboard yang sengaja disusun tidak teratur ini. Mengapa demikian aku juga tak tahu, tapi mungkin supaya tidak cepat rusak. Karena jika disusun sesuai urutan abjad mungkin akan lebih mudah dihafal, akhirnya semua orang akan mengetik terlalu cepat di atas papan keyboardnya. Bisa benar, bisa tidak, selalu saja begitu.
Aku teringat sesuatu tentang perang badar dimana pasukan yang dipimpin sendiri oleh Nabi Muhammad SAW berjumlah jauh lebih sedikit dari pasukan musuh. Tempat perang ini berlangsung adalah bukit Badar, dan karena itu pula perang ini disebut perang badar. Sampai hari ini, perang ini diabadikan dalam sebuah puji-pujian, semacam lagu perjuangan untuk mengenang jasa-jasa mereka yang gugur di medan pertempuran. Tapi apakah sebenarnya yang mereka perjuangkan selain Agama Tuhan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad?
Perjalanan dari Madinah ke bukit Badar merupakan perjalanan yang panjang dan sangat melelahkan. Bahkan sebuah riwayat menceritakan bahwa sesampainya di medan perang, mereka semua bahkan tidak layak tempur. Singkatnya, secara logis mereka kalah perang. Baik dari keterbatasan jumlah ataupun kesiapan untuk bertempur. Namun apa yang terjadi? Nabi Muhammad pun bahkan tahu bahwa mereka tidak mungkin menang, dari itu Beliau memohon pertolongan kepada Tuhan. Kemudian apa yang membuat Tuhan berkenan memberikan kemenangan kepada mereka yang bahkan tidak pantas secara logis untuk menang? Ternyata usut punya usut, selain jihad fi sabilillah, mereka juga berperang untuk membela dan melindungi keluarga, sanak famili dan orang-orang lemah yang berada di kampung halaman mereka.
Tema ini kelihatannya menarik untuk diketengahkan di zaman dimana semua orang berlomba-lomba untuk mencukupi kepentingannya sendiri. Bahkan dengan tega merampas hak-hak orang lain dengan berbagai dalih dan kepentingan. Sementara sifat Rohim Tuhan sangat menghargai dan menyayangi orang-orang yang bersedia membela kepentingan kaum marjinal. Masih adakah kesadaran yang sedemikian mulia ditengah hiruk pikuk sekularisasi dan kompetisi kapitalis yang kian menjalar di setiap sektor kehidupan. Jika tidak, kenapa harus sibuk mengelu-elukan shalawat badar setiap maulid dan pada banyak kesempatan setelah adzan. Bukankah ini hanya akan menjadi seonggok teriakan kosong tanpa jiwa dan makna kontemplatif.
Semangat untuk membela kaum lemah atau marjinal ini harus senantiasa dipupuk dan dikembangkan se-lestari mungkin. Siapa lagi yang mewarisi perjuangan mereka, para pejuang badar. Pemimpin-peminpin kita sudah banyak lupa dengan tugas utama mereka. Yang mereka tahu hanya bagaimana bisa menjabat lebih lama dan jadi kaya raya. Jika pemimpin kita tak lagi peduli pada nasib kita dan saudara-saudara kita sebangsa tanah dan air, lantas siapa lagi yang peduli? Tuhankah? Tuhan tidak mungkin harus turun tangan untuk masalah se-sepele ini. Lalu apa gunanya kita dijadikan khalifah jika dengan masalah sekecil ini saja kita menyerah.
Akhirnya, semangat Badar harus mulai tidak hanya dikenang, tapi juga dipribumikan, sosialisasikan dan laksanakan. Tuhan yang akan memberikan kemenangan, meskipun kita tidak pantas secara logis untuk menang.

Anda yang dengan sengaja berbuat sesuatu untuk membela kepentingan kaum Marjinal adalah Para Pejuang Badar yang sedang berperang bersama semangat Nabi Muhammad SAW di Bukit Badar. Tuhan yang akan memberi kemenangan kepada Anda, meskipun kemenangan itu sangat tidak logis untuk Anda terima sebagai Prajurit.

)* Penulis adalah Aktifis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung.

ISLAM ADALAH INDONESIA, INDONESIA ADALAH ISLAM (Sebuah Tawaran Damai)


Oleh: Achmad Rois)*
Membicarakan agama pada umumnya selalu mengarah pada hal-hal yang bernuansa theologis. Atau bila itu tidak menjadi aksentuasi pemikiran, perbincangannya selalu berkisar pada unsur-unsur syariat dan hukum-hukum yang baku. Atau yang lebih sering dan radikal biasanya mengenai penistaan agama dan pertentangan antara ajaran yang satu dengan yang lain sebagai fenomena dari konflik keagamaan yang memang sudah lazim terjadi, meskipun sebenarnya kelaziman itu tidak seharusnya terjadi. Untuk itu, lupakan sejenak mengenai hal ini, dan mari kita berbicara mengenai karakteristik agama sebagai manifestasi dalam kehidupan sosial.
Setiap agama, apapun itu selalu mempunyai karakteristik ajaran yang membedakannya dari agama yang lain. Dalam konteks Islam, Islam sendiri biasa dipahami sebagai agama yang diajarkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW melalui media wahyu yang kemudian tenar dengan nama Alqur’an. Ini bisa berarti bahwa karakteristik ajaran Islam adalah pengetahuan dan pedoman hidup yang berlaku dalam menjalani kehidupan dalam berbagai bidang yang senantiasa didasari oleh pengetahuan Alqur’an. Tetapi membahas karakteristik ajaran Islam bukanlah sesuatu yang mudah karena ruang lingkupnya yang sangat luas dan mencakup berbagai aspek kehidupan umat Islam dalam ritual internalnya sendiri ataupun korelasinya dengan masyarakat lintas agama. Karena cakupannya yang luas, maka penulis dalam kesempatan yang diberkahi Tuhan ini membatasi lingkup pembahasan pada wilayah territorial Indonesia saja, dan kalaupun nanti menyinggung wilayah lain, mungkin saja itu hanya sebagai pembanding.

Penjajahan Tanpa Akhir


Oleh: Achmad Rois)*
Indonesia adalah Negara besar dengan pengalaman penjajahan yang matang. Kematangan ini menjadi sesuatu yang sama sekali tidak bisa dilupakan bahkan dipisahkan dari prilaku kehidupan sehari-hari setiap manusia yang hidup dan menghirup udara di atas tanah airnya. Kehadiran para kolonial yang begitu lama sudah cukup untuk menginfiltrasi segala hal yang menjadi pedoman serta pandangan hidup sebuah bangsa yang pernah dijajahnya. Mereka merasuki setiap aspek kehidupan mulai dari caranya berpikir sampai dengan caranya berpakaian. Berpikir sebagai penjajah, berpakaian seperti penjajah dan bertindak hampir seperti Tuhan.
Aku tidak tau seperti apa Tuhan, tapi aku tahu apa yang tidak seperti Tuhan. Tuhan memang maha kaya, tapi Tuhan tidak pernah serakah. Tuhan memang maha memaksa, tapi Tuhan memberi kita banyak sekali pilihan. Tuhan memang maha kuat, tapi Tuhan tak pernah menindas yang lemah. Tuhan memang maha kuasa, tapi Tuhan tidak otoriter. Tuhan hampir maha segalanya, tapi Tuhan tak ingin memiliki segalanya dari kita. Beliau hanya ingin kita menyisihkan waktu kita untuk mengingat dan berprilaku seperti apa yang kita pahami tentang Dia. Tuhan tidak pernah memaksakan persepsi kita tentang-Nya, tapi Beliau menyediakan begitu banyak tanda untuk kita pahami melalui berpikir, meskipun sesekali melalui intuisi.
Deskripsi kolonial ini menjadi semakin terkenal karena kebanyakan orang tidak suka dijajah. Karena itu para guru di sekolah selalu memperkenalkan apa yang menjadi karakteristik para penjajah. Dan karena itu semakin diperkenalkan, semakin banyak pula yang tidak ingin disebut penjajah, meski mereka sebenarnya ingin menjadi penjajah. Menjadi penjajah tidak harus terlalu pandai, mereka hanya perlu terlihat seperti orang pandai. Ini tentu sudah dibuktikan oleh sejarah, konon bangsa belanda adalah bangsa yang paling bodoh dan emosional di eropa pada masa itu, tapi kenapa mereka mampu menjajah Indonesia begitu lama. Karena kita terlalu bodohkah, atau memang kita waktu itu kurang beruntung.
Sekarang, hari ini, klaim bahwa Indonesia sudah merdeka merupakan timangan paling efisien untuk meninabobokkan kita dari penjajahan, yang bahkan dilakukan oleh bangsa kita sendiri. Oleh orang-orang yang haus kenikmatan dan tidak pernah kuasa melawan keserakahan. Mereka tidak sadar bahwa mereka sebenarnya sedang dijajah oleh perutnya sendiri. Mereka merasa perlu memperjuangkan kebebasan mereka sendiri, tanpa sadar bahwa dalam dirinya ada penjajah yang tidak pernah mampu mereka tumpas kecuali dengan dua hal. Pertama, merasa puas dengan apa yang sudah mereka miliki dan, kedua, berhenti menuruti apa yang ingin mereka miliki, karena keinginan itu tak akan pernah berakhir selama hidup dalam dunia fatamorgana ini.
Faktanya, mereka merasa sudah menjadi penguasa sementara mereka sebenarnya sedang dikuasai oleh sesuatu yang tidak mereka sadari. Ketidak tahuan dan keserakahan membuatnya merasa bebas dalam belenggu jeruji yang tak terlihat. Kekuasaan dalam pengertian ini adalah sebuah terminal kepongahan, dimana yang ada di sana hanya segerombol perampok yang ingin merampas apa saja dan berbuat semaunya. Sementara prinsip yang dipegang oleh para perampok ini adalah “kami mungkin akan masuk neraka, tapi paling tidak kami menikmati perjalanannya”.
Karena itu, dalam tulisan ini kami mengajak siapa saja yang merasa belum bebas untuk mulai memperjuangkan kebebasannya mulai sekarang. Sebelumnya kita harus mengenali prinsip yang dipegang teguh oleh mereka (kolonial). Bahwa tidak ada Negara di dunia ini yang pernah dijajah boleh merdeka. Karena itu, mereka hanya pergi dari Negara jajahannya saat mereka sudah memiliki duplikasi dari diri mereka disana dalam bentuk apapun. Duplikasi sistem pemerintahan, pola pikir, gaya hidup, dan banyak hal lain. Dan itupun belum selesai, sampai tidak ada lagi yang dapat mereka ambil sebagai keuntungan dalam bentuk apapun.
Akhirnya, tidak ada yang dapat kita lakukan untuk mengusir penjajahan dalam bentuk apapun selain menyadari bahwa kita sedang dijajah, mengetahui apa dan siapa yang menjajah kita, mengetahui cara apa yang mereka gunakan untuk menjajah kita, kemudian kita mulai berpikir bagaimana mengalahkan atau paling tidak mencegahnya dengan satu tindakan, yaitu “PERLAWANAN”.
)* Penulis adalah aktifis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT)Tulungagung