Friday, April 21, 2017

LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM JADI IDOLA

Oleh: Achmad rois)*
Siang itu saya sedang berlibur dirumah nenek. Rumah nenek yang tidak begitu jauh dari pusat kota Tulungagung tempat saya kuliah membuat saya mudah pulang kapan saja saya mau, tentu untuk mengunjungi beliau. Tepat didepan dan samping kiri (timur) rumah beliau terdapat sebuah sekolah yang setiap hari diramaikan oleh anak-anak usia lima sampai enam tahun. Tanpa saya sebutkan, tentu anda dapat dengan mudah menebak sekolah apa yang saya maksud. Yah, tepat sekali. Sebuah Taman Kanak-kanak (TK). Sebuah sekolah yang mengajarkan pelajaran-pelajaran dasar sebelum masuk ke Sekolah Dasar (SD). Singkatnya, sebuah sekolah yang mengajarkan warna, aksara, angka, bentuk benda-benda, kendaraan dan lain-lain dalam kemasan yang menyenangkan. Bermain, semacam itulah sebutan para guru-guru sabar itu. Atau lebih lengkapnya, Belajar sambil Bermain, atau Bermain sambil Belajar, terserahlah apa nama tepatnya untuk kemasan menarik itu.
TK ini terletak disebuah desa yang mayoritas penduduknya adalah penganut muslim yang taat. Pemiliknya pun adalah seorang pemuka msyarakat yang cukup disegani didaerah tersebut. Hal ini mungkin menjadi salah satu faktor utama kenapa sekolah ini berbeda dengan kebanyakan sekolah yang lain. Sekolah ini adalah lembaga swasta yang memiliki fokus pembelajaran dan penerapan agama islam sebagai landasan utamanya. Sekolah yang mengajarkan tendensi pokok bagi penganut Islam yang taat, misalnya rukun Islam dan Rukun Iman sebagai mata pelajaran wajibnya. Membekali murid-muridnya dengan doa-doa sehari-hari, bacaan-bacaan sholat dan dzikir. Sekolah ini benar-benar berbeda dengan sekolah-sekolah yang saya pernah temui sebelumnya.
Sekolah yang terletak didesa Gombang, Kec. Pakel, Kab. Tulungagung ini memiliki kebiasaan yang menurut saya cukup unik sebelum membiarkan siswa-siswanya masuk kedalam kelas untuk mendapatkan materi pembelajaran. Seperti sekolah-sekolah pada umumnya, sebelum masuk kelas siswa selalu dibariskan didepan kelas untuk diberi wejangan konstruktif. Tapi berbeda dengan TK Islam Jati Salam ini, murid-muridnya dibariskan didepan kelas kemudian menghafalkan Asmaul Husna, surat-surat pendek dan doa sehari-hari. Kegiatan seperti ini berlangsung sekitar 30 menit setiap pagi. Barulah setelah itu wejangan konstruktif pun dilontarkan oleh kepala sekolah atau majelis guru yang bertugas.

Siang itu pukul 12.13 WIB, beberapa orang tua mulai berdatangan untuk menjemput anak-anak kesayangannya pulang. Sebagian berhenti dibawah pohon rindang timur kantor TK Islam tempat biasa mereka menunggu. Sebagian yang lain duduk diserambi depan rumah nenek yang memang lebih teduh dibanding halaman sekolah. Saya berbasa basi dengan salah seorang wali murid yang duduk diserambi rumah nenek. “Mari pak, silahkan masuk”, sapa saya dalam bahasa jawa yang lembut. “Tidaklah, terima kasih, saya disini saja lebih sejuk kok”, jawabnya sopan. Kelihatannya anak yang mau dijemputnya ini adalah buah cinta dari malam pengantinnya 1 atau 2 tahun yang lalu dengan wanita yang dicintainya. Bapak itu masih terlihat muda, cukup bergairah dan kelihatannya terdidik.

Tanpa pikir panjang, saya duduk dan mencoba mengajaknya ngobrol. Dari mana pak?, Bantengan, jawabnya. Yang saya tahu Bantengan cukup jauh dari sini, lalu, “jauh ya pak? Kenapa kok nyekolahin anaknya disini pak?”. “Zaman sudah cukup tua mas”, jawabnya. “Anak-anak bakal susah dinasehatin kalau aqidahnya ngak kuat dari sekarang, susah nentuin yang benar sama yang salah. Takut anak-anak terjerumus mas, apalagi saya juga sering bepergian untuk cari kerja, ibunya juga jualan es campur di Bandung (sebuah kota kecamatan di kab. tulungagung). Kami berdua tak punya cukup waktu untuk memberinya pengertian tentang agama. Yah…saya cuma pengen kalau kelak saya mati, anak saya mau mendoakan saya supaya dosa saya diampuni dan masuk syurga”. Ditutupnya pembicaraan dengan tertawa lebar karena anaknya berlari datang kepelukannya. Ayo mas, saya pulang dulu. Iya pak, silahkan. Tanpa sempat mengucap terima kasih, saya pun masuk kekamar dan merenung.
Pertanyaan besar mulai timbul, benarkah demikian? Benarkah dunia sudah cukup tua sampai begitu sulit menentukan mana yang baik dan mana yang buruk? Tapi apa hubungannya?
Ternyata sekolah ini adalah sekolah yang tergolong cukup banyak diminati oleh seluruh lapisan masyarakat. Jumlah siswanya setiap tahun selalu bertambah, begitu juga gedung sekolahnya. Saya ingat waktu itu Bupati sempat berkunjung kesini sekedar melihat-lihat, mungkin. Kepala sekolahnya sering ngobrol dengan saya, “yang sekolah disini anak-anaknya PNS dari berbagai desa is, malah yang rumahnya jauh lebih memilih menyekolahkan anaknya disini dari didesanya, katanya disini ada pendidikan Islamnya”.
Masyrakat kita kini sudah cukup mengerti bagaimana memilih pendidikan untuk anak-anaknya. Mereka tidak hanya memandang IQ sebagai tujuan utama anaknya kesekolah. Tetapi SQ juga mulai disadari pentingnya oleh masyarakat. Kebobrokan moral generasi penerus bahkan sangat sulit dicegah darimana. Mungkin keputusan bapak tadi cukup bijaksana dan beralasan. Agama adalah faktor utama yang mesti mendapatkan perhatian maksimal dari seluruh kalangan masyarakat, termasuk pemerintah. Ketaatan beragama membuat penganutnya enggan bertindak brutal diluar batas norma dan nilai sosial keagamaan dalam menyikapi setiap permasalahan.
Pemahaman semacam ini layaknya dapat kita jadikan pelajaran. Bahwa pengalaman keagamaan adalah faktor yang memiliki pengaruh significan terhadap perwujudan cita-cita pendidikan bangsa yang bermoral dan berbudi luhur. Bahkan harus diterapkan sejak awal menikmati dunia sekolahan. Kebenaran saat ini sudah menjadi perbincangan yang sangat memprihatinkan. Rakyat sulit mempercayai pemerintah, pemerintah pun sulit memegang amanah rakyat. Mana yang mau diikuti, kalau semua sudah berpihak pada nafsu individu dan hanya berpikir tentang kepentingan golongannya sendiri. Nilai universal keagamaan yang mana yang akan diterapkan, sementara kita tetap saling mencaci saudara-saudara se-tanah air kita yang pergi ke tempat ibadah yang berbeda dengan kita.
REFLEKSI
Bangsa kita sudah sangat memprihatinkan, karena kebenaran mulai di nomer sekian kan. Keadilan hanya milik mereka yang berjas hitam, dan penindasan dirasakan hampir oleh setiap keluarga yang tidur hanya beralaskan kertas koran. Rakyat tak lagi punya panutan, yang seharusnya dianut pun kini tampaknya sudah kehilangan pegangan.
Mau marah silahkan, Mau apatis silahkan, Mau dukung juga silahkan,
Tapi kalau negara ini mulai dihancurkan, apa masih ada yang mau bilang “SILAHKAN” ?
Tapi yang penting sekarang, ayo sama-sama dulu kita renungkan.

)* Penulis adalah aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung.

Bingkai Apresiasi dan Belasungkawa

Judul buku : SEJUTA HATI UNTUK GUS DUR
Sebuah Novel dan Memorial
Penulis : Damien Dematra
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan I : Januari 2010
Tebal : vi + 426 Halaman
Harga : Rp. 58.000, 00
Peresensi : Achmad Rois)*

Rabu, 30 Desember 2009, menjadi hari yang sangat menegangkan, penuh harap dan sejuta asa. Suasana tersebut dirasakan oleh segenap keluarga besar K.H Abdurrahman Wahid, sahabat, teman dekat, karib, kerabat sampai pejabat yang waktu itu menunggu Beliau di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Semua kekhawatiran ini tentu punya alasan yang sangat pantas. Karena tokoh sederhana dengan nama besar yang dikenal di setiap penjuru Negeri ini mempunyai peran dan pengaruh yang signifikan terhadap arah dan kelangsungan perjuangan anak bangsa, dan perjuangan syiar Islam khususnya. Pukul 18.45 WIB, terdengar kabar bahwa Gus Dur telah meninggalkan bagitu banyak kenangan yang tak mungkin setiap saat di ingat, namun yang pasti tak akan mungkin dan pernah dilupakan oleh banyak orang. Salah seorang yang merasakan hal semacam ini adalah Damien Dematra.
Sebagai seorang novelis, Damien merasakan adanya kedukaan mendalam. Namun ia tidak mau larut. Ia menorehkan segenap perasaannya terhadap Gus Dur dengan menulis novel. Dan jadilah sebuah novel apik yang menjadikan Gus Dur sebagai pusat narasi. Di halaman awal dinyatakan bahwa buku Sejuta Hati untuk Gus Dur ini diadaptasi dari skenario Gus Dur: The Movie. Isi buku ini adalah kisah atau jejak-jejak akhir hidup sang tokoh pluralisme dan menggambarkan Gus Dur dari sisi kemanusiaannya. Representasi sosok Gus Dur dari sisi kemanusiaan dalam buku ini dititikberatkan sejak kurun waktu Gus Dur semasa kecil sampai ia menikah. Selain itu, kisah-kisah masa perjuangan Gus Dur juga disajikan dalam kemasan yang sangat menarik oleh penulis. Buku ini memang bukan sebuah buku yang sempurna, tapi paling tidak buku ini layak dan dapat dengan mudah dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat mana pun karena pemilihan kosa kata dan penggunaan bahasanya cukup sederhana dan akan sangat mudah dimengerti.
Walaupun bertutur tentang Gus Dur, buku ini sebenarnya merupakan karya fiksional. Beberapa nama, cerita, peristiwa dan tempat telah sengaja diubah oleh Damien, yang juga berprofesi sebagai seorang sutradara ini. Beberapa bagian dalam uraian sengaja tidak diperjelas, karena menurut penulis akan ada karya-karya lain yang secara khusus membahas bagian-bagian yang sengaja tidak diperjelas. Namun perlu dipahami bahwa proses itu hanya semata-mata untuk kepentingan cerita. Tetapi ada sesuatu yang penting dan harus diketahui oleh pembaca, bahwa buku ini adalah sebuah Novel yang dibuat berdasarkan kisah nyata, yaitu riwawat seorang Abdurrahman Ad-Dakhil.
Latar Novel ini dapat melukiskan keadaan latar secara rinci, sehingga para pembaca Novel ini dapat memdapatkan gambaran yang lebih jelas, konkret (berwujud) dan pasti. Walaupun demikian, Damien tidak bersikap berlebihan terhadap proses penulisan latar yang sebenarnya akan sangat dimaklumi oleh para pembaca. Menurut saya; peresensi, Damien bukan orang yang suka berlebihan, dia mengerti betul kategori sebuah Novel atau Cerita supaya bisa dikatakan baik. Novel atau Cerita yang baik hanya akan melukiskan detail-detail tertentu yang dipandang perlu, dan tidak pula ditulis secara berlebihan. Hal ini cukup bisa kita mengerti karena Damien bukan hanya seorang Penulis Novel, tetapi juga seorang Penulis Skenario sekaligus Sutradara. Toh, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak terlalu baik, dan Damien mengerti betul soal itu.
Tokoh-tokoh dalam cerita novel biasanya ditampilkan lebih mendetail, baik yang berhubungan dengan ciri-ciri fisik, tingkah laku, sifat dan kebiasaan, serta hubungan antar tokoh, baik yang dilukiskan secara langsung maupun tak langsung. Misalnya Gus Dur kecil yang dalam Novel ini digambarkan bertubuh agak gendut, suka makan dan mudah merasa lapar jika sedang membaca atau bepergian dengan ayahnya untuk menghadiri rapat-rapat dengan para pejabat di Jakarta. Gus Dur yang semasa kecil suka berenang dan memanjat pohon sehingga suatu ketika Gus Dur terjatuh karena saat itu Gus Dur kecil memang agak ceroboh. Hal ini karena setelah makan Gus Dur langsung memanjat pohon untuk menikmati komiknya sampai ia terlena, tertidur dan akhirnya terjatuh. Gus Dur kecil mempunyai sahabat baru disebuah sekolah elit di Jakarta. Sahabatnya itu menggunakan kalung berbentuk salib dan lebih sering berhari minggu di Gereja ketimbang bermain bola dengan teman sebayanya. Gus Dur kecil yang tak berhenti bertanya, dan masih banyak lagi representasi tokoh lain yang akan anda temui langsung dalam Novel yang ditulis oleh penulis 50 Novel dalam bahasa Inggris dan Indonesia ini. Semua itu, tentu saja akan memberi gambaran yang lebih detail, jelas dan konkret (berwujud) mengenai keadaan para tokoh. Itulah sebabnya kenapa tokoh-tokoh cerita pada kebanyakan novel dapat lebih mengesankan bagi para pembacanya. Bagaimana mungkin sosok Gus Dur yang unik dalam Novel ini tidak akan menjadikan anda terkesan? Jawabannya hanya ada pada anda setelah membacanya nanti.
Sesuatu yang tidak boleh dilupakan dari sebuah Novel adalah alur dan tema. Ke-tidak terikat-an pada panjang cerita memberi kebebasan kepada penulis dalam menyelesaikan karya fiksionalnya. Namun, untuk menghindari penyimpangan cerita, maka faktor yang harus tetap diperhatikan adalah alur cerita atau plot. Umumnya novel memiliki lebih dari satu plot. Plot utama berisi konflik utama yang menjadi inti persoalan yang diceritakan sepanjang karya itu, sedangkan sub-sub plot berupa konflik-konflik tambahan yang sifatnya menopang, memperjelas dan mengintensifkan konflik utama untuk sampai ke klimaks. Plotplot tambahan atau sub-sub plot itu berisi konflik-konflik yang mungkin tidak sama kadar kepentingan atau perannya terhadap plot utama. Masing-masing sub plot berjalan sendiri-sendiri, sekaligus dengan penyelesaiannya sendiri pula, tetapi akan tetap berkaitan antara satu dengan yang lainnya, serta tetap berhubungan dengan plot utamanya. Semisal, berbagai masalah kehidupan sejak Hasyim As’ary, Wahid Hasim sampai Gus Dus diungkapkan pengarang melalui novel ini. Namun, ceritanya tetap mengacu pada tema utama tentang riwayat Gus Dur. Tema-tema tambahan itu hanya bersifat menopang dan tetap berkaitan dengan tema utama untuk mencapai efek kepaduan. Semua hal ini diperhatikan dengan sangat teliti oleh Damien yang juga seorang fotografer international ini.
Setelah semua bagian itu diejawantahkan pada tiap-tiap bab dalam buku ini, Damien tak lupa menyelipkan peristiwa detail periode kematian Gus Dur, 18.45 WIB 30 Desember 2009 lalu. Keterangan ini diperolehnya dari hasil wawancaranya dengan orang-orang terdekat Gus Dur. Deskripsi upacara kenegaraan sebagai tanda penghormatan terhadap Gus Dur yang pada waktu itu dipimpin oleh Presiden R.I sekarang; Susilo Bambang Yudoyono menjadi bab terakhir novel memorial ini. Setelah bab terakhir selesai, bukan berarti novel ini juga selesai. Bagian novel Novel ini dilanjutkan dengan beragam kata yang dikemas dalam berbagai untaian bahasa. Ratusan kesan dan komentar disampaikan agar menjadi bagian dari buku ini oleh berbagai kalangan serta ribuan hati sebagai bukti tanda cinta dan rasa bela sungkawanya yang teramat dalam. Selanjutnya buku ini dibungkus dengan wawancara eksklusif Demian dengan Dra. Hj. Sinta Nuriah dan putri-putri Gus Dur yang dilakukan sebelum kepergiannya; AbdurrahmanWahid.
Ada sesuatu yang menarik dari komentar salah satu facebookers yang dicantumkan dalam buku ini. “Ada kebetulan dalam wafatnya Gus Dur. Dalam mitologi China yang suka mengotak-atik angaka, angka 18.45 (waktu tepat meninggalnya Gus Dur) adalah angka yang sempurna. 1+8=9 dan 4+5=9. Jika digabung, angka 99 adalah angka ganjil yang juga menjadi simbol kesempurnaan umat Islam. Banyak amalan-amalan bacaan doa-doa yang diucapkan berbilang 9 atau 99. Bahkan 99 adalah nama-nama indah Tuhan yang biasa disebut Asmaul Husna”. Ini semua mereka cantumkan sebagi bukti bahwa mereka mencintai Gus Dur. Damien dalam kapasitasnya sebagai penulis juga menyampaikan bahwa Sejuta Hati untuk Gus Dur adalah sebuah gerakan pernyataan cinta terhadap Gus Dur yang ditargetkan mencapai satu juta hati pada bulan Agustus 2010 yang akan datang. Hari itu bertepatan dengan hari ulang tahun Gus Dur sekaligus peluncuran film Gus Dur: The Movie yang kebetulan disutradarai oleh Damien sendiri.
Penutup buku ini adalah pidato Alissa Wahid (putri pertama Gus Dur) yang disampaikannya dalam acara launching buku Sejuta Hati untuk Gus Dur ini di Jakarta, 8 Januari 2010 yang lalu. “Terima kasih untuk Mas. Damien untuk bukunya, yang dalam jarak waktu yang hanya sekian hari, tapi sudah bisa membuat buku yang menggambarkan Gus Dur sebagai seseorang – seorang individu. Terima kasih sekali mas. Itu hadiah memang betul-betul istimewa untuk kami”. Seandainya saja Mbak. Alissa berkesempatan untuk membaca tulisan saya; resensi ini, saya akan mengatakan: “Buku ini (dan buku-buku karya Gus Dur) bukan hanya hadiah untuk Mbak. Alissa dan keluarga, tetapi juga hadiah buat saya, buat kami, buat semua, dan buat Indonesia. Dari buku ini saya dapat membaca, mengetahui, mempelajari kemudian mengerti sosok pemimpin kami. Pemimpin yang bukan hanya mengerti, tetapi mampu secara tulus untuk lahir dan hadir di hati kami, rakyat kecil ini. Seperti kata Mbak waktu itu, Gus Dur betul-betul hidup dalam prinsip-prinsip yang Beliau perjuangkan. Dan akhirnya, saya mengerti”.
Demian menulis satu kaliamat pada akhir bab, tepatnya dihalaman 280 dari buku ini. Bunyinya: “Aku ingin pahlawan dihatiku ini dikenang perjuangannya, dan aku mempersembahkan luapan kasih dari sebanyak mungkin kawan untuk membingkainya dalam sebuah karya ber judul Sejuta Hati untuk Gus Dur”. Dalam buku ini Demian juga berpesan kepada seluruh masyarakat yang ingin memberikan “hati” untuk Gus Dur agar dapat bergabung dalam group Sejuta Hati untuk Gus Dur atau mengirimkan nama-nama yang mau memberikan “hati” sebagai tanda cinta dan belasungkawa ke damiendematra@gmail.com dan akan diabadikan dalam edisi selanjutnya buku ini.

Harapan kami, semoga edisi selanjutnya buku ini lebih bagus dari edisi perdana ini. Buku perdana ini sudah cukup bagus, tapi secara logika, apa mungkin buku dengan 426 halaman ini dibuat tanpa sedikitpun kesalahan dalam tempo 3 hari. Tapi istimewanya buku ini adalah karena buku ini dibuat sebagai wujud dan wadah apresiasi masyarakat yang turut berbela sungkawa dan memberika apresiasi terhadap Guru Bangsa ini. Dan buku ini adalah karya besar yang tetap harus dihargai. Akhirnya, sekian dari peresensi, semoga dapat dimanfaatkan sebagai mana mestinya.
)* Penulis adalah aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung.

“KACAMATA” MEDIA

Oleh: Achmad Rois)*


Dunia media di era modern saat ini layaknya sembako yang harus dikonsumsi setiap hari oleh siapapun. Sesuatu yang dikonsumsi tentu saja selalu memiliki faktor-faktor yang secara otomatis menjadi syarat sesuatu itu layak atau tidak untuk dikonsumsi, baik dari sisi ke-akurat-an, keber-imbang-an, relevansi, aktual dan faktual. Beberapa hal ini menjadi penting untuk diperhatikan karena penilaian secara umum dari segi kualitas oleh publik berawal dari beberapa hal tersebut. Jika hal ini tidak diperhatikan secara serius oleh media (baik cetak atau elektronik) maka sebuah media harus siap terkubur bersama derasnya persaingan didunia media dan asumsi publik. Karena dalam hal ini, publik adalah satu-satunya asumsionis yang paling berhak menjadi juri atau tim penilai. Sebagai contoh, penulis mencoba sedikit mengambil pelajaran dari salah satu stasiun televisi di Indonesia. Stasiun televisi ini dinilai publik sebagai stasiun televisi yang relevan terhadap pentingnya kebutuhan informasi aktual dan faktual. Pernyataan ini disampaikan beberapa pengamat media pada acara puncak ulang tahun stasiun televisi tersebut, 20 Februari 2010 yang lalu. Salah satu pengamat komunikasi politik, saat itu juga memberikan nilai plus terhadap Stasiun Televisi tersebut karena dinilai mampu mengcover secara tepat, cepat dan akurat kebutuhan masyarakat akan informasi.

Pada dasarnya, menarik atau tidaknya sebuah berita atau acara ditelevisi adalah tergantung bagaimana sebuah stasiun televisi memberikan kemasan terhadap setiap acara yang dibawakannya. Masyarakat kita cenderung lebih menyukai informasi yang disiarkan secara langsung ditelevisi. Masyarakat educated yang mengerti tentang sistem dalam dunia media menilai “siaran langsung” lebih bersifat independen ketimbang “siaran tunda”, terutama yang erat kaitannya dengan dunia politik. Begitu juga kaum birokrat dan elite politik dalam memandang sebuah media, baik itu media cetak maupun elektronik. Mereka cukup jeli terhadap identitas sebuah media, semisal hal yang paling mendasar adalah tentang siapa pemilik media tersebut, siapa pemilik stasiun televisi ini dan siapa pemilik koran itu. Setelah ini dan itu terjawab, maka pertanyaan lanjutan yang pasti akan timbul dalam benak kaum educated seperti ini adalah, apa latar belakang ideologi si Anu? Berpihak pada partai apa si Anu? Atau siapa donatur tetap dan terbesar di Stasiun Televisi Anu dan kira-kira apa kepentingannya?

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini adalah pertanyaan yang sangat wajar sekali timbul dari kalangan publik. Dunia pendidikan menyebut paradigma semacam ini sebagai paradigma analisis kritis terhadap sebuah media. Paradigma semacam ini sesuai dengan teori yang dijelaskan oleh Stephen W. Littlejohn dalam menganalisis media. Stephen menjelaskan bahwa perkembangan teori komunikasi massa yang didasarkan pada tradisi kritis Eropa cenderung memandang media sebagai alat ideologi kelas dominan. Tradisi ini berusaha mematahkan dominasi model komunikasi Amerika yang notabene-nya adalah penganut aliran Stimulus-Respon. Aliran ini mengacu pada teori Laswellian yang berasumsi bahwa publik adalah konsumer pasif media massa. Atau dengan kata lain, fenomena komunikasi massa adalah bukan sekedar sebuah proses yang linear atau sebatas transmisi pesan terhadap publik, tetapi dalam proses tersebut komunikasi dilihat sebagai produksi dan pertukaran pesan terhadap publik yang bertujuan untuk memproduksi makna tertentu.

Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa media merupakan sebuah instrumen penyebaran ideologi kelas dominan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan kelas dominan adalah para penguasa maupun kaum pemilik modal. Sehingga komunikasi didefinisikan sebagai sebagai sarana pertukaran pesan yang bertujuan untuk memproduksi makna tertentu yang didominasi oleh kepentingan kelompok penguasa dan pemilik modal. Paradigma kritis bukan hanya mengubah pandangan mengenai realitas yang dipandang alamiah oleh kaum pluralis, tetapi juga mampu menyatakan bahwa media adalah kunci utama dari sebuah pertarungan kekuasaan. Karena jika mau, media bisa saja mengatakan banyak hal yang memihak terhadap kepentingan kelas dominan. Seperti tentang nilai-nilai kelompok dominan yang dimapankan, dibuat berpengaruh, dan menentukan apa saja yang diinginkan oleh publik. Dalam proses pembentukan realitas, titik tekannya ada pada dua hal, yaitu bahasa dan penandaan politik.

Bahasa sesungguhnya adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer (semena-mena), digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri. Sehingga tak aneh jika dengan satu katapun mampu mengungkapkan kesombongan dalam diri kita. Kita yang beragama Islam menyebut diri kita dengan bahasa; Muslim, dan menyebut orang yang berlainan agama dengan bahasa; Kafir. Alasan ini cukup bagi Lytorad untuk menyatakan bahwa realitas adalah sekedar permainan bahasa. Bahasa adalah sistem tanda, yaitu media yang menghubungkan individu terhadap subjek diluar dirinya. Seperti kata “Bencana” yang menandakan bahwa “alam sedang marah”, dan “banjir” adalah bahasa “air dan alam yang sedang marah”. Maka sekali lagi harus saya katakan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang berfungsi untuk menamai atau memberi kategori terhadap sesuatu yang diucapkan atau dituliskan dengan pola-pola tertentu. Dengan kata lain, bahasa adalah sistem kategorisasi dimana kosakata tertentu bisa dipilih untuk menghadirkan makna-makna yang ditentukan pula.

Sedangkan Penandaan Politik disini ialah bagaimana praktik sosial dalam membentuk makna, mengontrol dan menentukan makna. Media sangat berperan dalam memberi tanda terhadap sebuah peristiwa atau realitas dalam pandangan tertentu. Media akan menunjukkan bagaimana kekuasaan ideologi berperan, karena ideologi menjadi bidang dimana pertarungan bagi setiap kelompok atau golongan yang ada dalam sebuah masyarakat.

Media disebutkan Alex Sobur sebagai the fourth estate; kekuatan ke-empat dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Hal ini dapat kita amati karena adanya persepsi tentang peran yang bisa saja dimainkan oleh media dalam kaitannya dengan pengembangan kehidupan sosial, politik atau ekonomi kemasyarakatan. Ini berarti, jika media dalam posisinya sebagai suatu institusi informasi, maka media dapat dipandang sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses-proses perubahan sosial budaya dan politik.

Media massa secara sempit dapat kita maknai sebagai sebuah instrument untuk menyampaikan berita. Tapi sebenarnya, selain sebagai instrumen penyampai berita, media juga memberikan nilai-nilai sekaligus penilaian dan gambaran umum tentang banyak hal. Media memiliki kemampuan untuk berperan sebagai sebuah institusi yang dapat dengan mudah membentuk opini publik. Hal ini disebabkan karena media juga dapat berkembang menjadi sebuah kelompok penekan atas suatu gagasan, bahkan suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan untuk diletakkan dalam konteks kehidupan yang lebih empiris. Karena terkadang, kelompok dominan dengan kepentingan sepihak menggunakan media massa untuk melakukan peng-kontruksi-an realitas yang mengupayakan legitimasi terhadap suatu wacana.

Dalam hubungannya dengan kekuasaan, media menempati posisi yang cukup strategis. Asumsi ini timbul karena adanya kemampuan media sebagai sarana legitimasi wacana dari kaum dominan. Asumsi ini benar, tapi terlihat sepihak, mereka seakan-akan mengatakan bahwa semua media tunduk sebagai instrumen kekuasaan negara yang bekerja secara ideologis untuk membangun kepatuhan publik terhadap kelompok yang berkuasa. Fakta hari ini menunjukkan bahwa begitu banyak stasiun televisi dan redaksi surat kabar yang tidak mengabaikan resistensi ideologis dari kelas non-dominan dalam ruang media. Kenyataan ini dibuktikan dengan pemberian ruang terhadap publik secara umum, baik itu melalui hubungan interaktif atau kiriman berita dalam bentuk video. Dalam surat kabar pun, ruang seperti ini tidak kalah efektifnya jika dibandingkan dengan stasiun televisi. Ini dapat dibuktikan dengan seringnya kita jumpai rubrik-rubrik khusus dalam surat kabar yang memuat keluhan-keluhan publik atau kritik dan saran publik terhadap pemerintah. Ruang yang paling efektif bagi publik dalam surat kabar adalah rubrik yang menampung secara bebas gagasan-gagasan khalayak ramai. Ruang seperti ini biasa dinamai dengan rubrik Opini. Opini mempunyai pengaruh yang significan dan berperan sebagai penyeimbang terhadap opini publik antara wacana kaum dominan dan non-dominan.

Media dengan model seperti ini terbukti lebih banyak diminati publik. Publik sedang butuh banyak ruang ekspresi, maka media apa dan milik siapapun yang siap menyediakan ruang tersebut tidak perlu khawatir kehilangan eksistensi. Media adalah ruang dimana berbagai ideologi direpresentasikan. Di satu sisi, media bisa jadi sarana legitimasi, penyebaran ideologi penguasa dan alat kontrol terhadap wacana publik. Tapi disisi lain perlu dipahami bahwa media juga memberikan ruang atau menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media dapat membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, tapi media juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum marginal untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.

Pada akhirnya, harapan besar publik terhadap media adalah komitmen media untuk tetap menjaga dan mengedepankan sisi kualitas media, bukan menjaga dan mempertahankan ketundukan terhadap kaum dominan atau penguasa yang mengesampingkan hak-hak dan kebebasan publik. Jika komitmen ini dipegang, maka kemungkinan terjadinya praktik diskursif oleh media terhadap kelompok marginal yang ditekan oleh kelompok dominan atau penguasa akan semakin kecil.

)* Penulis adalah aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung.

PELAJARAN DIBALIK TAHUN BARU IMLEK

Oleh: Achmad Rois)*
Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, setiap tahun selalu memiliki hari-hari peringatan atau hari-hari besar penting yang diperingati setiap tahun. Begitu pula yang terjadi pada tahun 2010, beberapa hari peringatan atau hari besar penting telah berlangsung. Dan yang pasti akan ada hari-hari peringatan atau hari-hari besar lain yang juga akan berlangsung dan diperingati. Setiap hari besar tentu memiliki karakteristik tersendiri, baik dari sisi kenapa hari itu harus diperingati ataupun dari sisi siapa yang memperingati hari tersebut.
Hari peringatan atau hari besar secara umum digolongkan oleh penulis dalam tiga kategori. Yang pertama, Hari peringatan yang hanya diperingati secara berkelompok atau golongan, semisal Tahun Baru Hijriah, Hari Raya Idul Fitri dan Adha, Tahun Baru Imlek, Hari Raya Waisak, Hari Raya Natal, Hari Raya Nyepi dan Tahun Baru Saka. Yang kedua, Hari peringatan yang hanya diperingati secara Nasional, contohnya Hari Pers Nasiolnal (9 Februari), Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei), Hari Kemerdekaan RI (17 Agustus), Hari Sumpah Pemuda (28 Oktober), Hari Pahlawan (10 November), dan lain-lain. Yang ketiga, Hari peringatan yang diperingati secara Internasional, seperti Hari Perdamaian Dunia dan Tahun Baru Masehi (1 Januari), Hari Wanita Internasional (8 Maret), Hari Buruh Internasional (1 Mei), Hari Palang Merah Internasional (8 Mei), Hari Lingkungan Hidup Sedunia (5 Juni), Hari AIDS se-Dunia (1 Desember) dan Hari Anti Korupsi se-Dunia (9 Desember).
Beberapa hari yang lalu, seluruh dunia; termasuk Indonesia secara umum baru saja memperingati Tahun Baru Imlek. Tapi seperti yang telah saya sebutkan diatas, bahwa selalu ada sisi kenapa hari itu harus diperingati dan siapa yang memperingati. Di Indonesia, Tahun Baru Imlek 2561 diperingati oleh masyarakat Tionghoa yang beragama Konghucu. Hari tersebut diperingati sebagai hari awal pembuka tahun. Bagi kaum Tionghoa, setiap tahun memiliki simbol tersendiri yang diidentikkan dengan shio. Shio tersebut diambil dari nama-nama binatang yang mereka yakini meliki kekuatan supranatural terhadap keberuntungan mereka dimasa depan. Wallahua’lam, yang jelas itulah budaya yang mereka yakini dan mereka junjung tinggi kesucian dan kesakralannya sampai sekarang.
Sebagai mana kita ketahui bersama, masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah kaum yang tergolong minoritas, sedangkan kaum mayoritasnya adalah umat Islam. Kaum mayoritas biasanya memang sangat peka terhadap sekecil apapun aktivitas kaum minoritas. Hal seperti ini cukup bisa ditolerir dalam kehidupan sosial keagamaan pada sebuah Negara yang memiliki masyarakat penganut agama beragam seperti Indonesia. Tapi perlu diperhatikan bahwa Indonesia bukanlah sebuah Negara milik kaum mayoritas belaka. Karena kaum minoritas juga memiliki hak-hak yang sama-sama harus dihargai seperti kaum minoritas menghargai hak-hak kaum mayoritas. Dan dalam hal ini, titik tekan personal research dan reportase penulis adalah terhadap hak kebebasan memeluk agama, beribadah dan memperingati hari-hari besar agamanya.
Himbauan tentang rekonsiliasi antar umat beragama sudah begitu sering kita dengar dari para pe-tinggi pemerintahan dan para tokoh keagamaan. Himbauan ini sudah diimplementasikan begitu baik di kota Jombang, Jawa Timur. Peringatan Tahun Baru Imlek berlangsung sangat hikmat disana, padahal sebagai mana kita ketahui bersama bahwa Jombang lebih sering disebut sebagai Kota Santri. Hal ini menurut saya tidak tidak terlepas dari pengaruh dan pemahaman masyarakat tentang pluralisme yang berhasil ditanamkan oleh Mantan Presiden RI ke-4 (Almh). Di Jombang tidak terlihat lagi apa yang disebut mayoritas dan minoritas, semuanya berbaur menjadi satu dalam rasa saling menghargai dan menghormati. Pemandangan seperti ini sekiranya dapat menjadi contoh bagi seluruh masyarakat di Tanah Air.
Imlek memang tidak seharusnya ditanggapi secara negative oleh kaum mayoritas; muslim. Kita harus mulai mencoba memandang pada sisi yang lebih positif, bahwa peringatan ini tak akan sama sekali membuat aqidah kaum mayoritas;Islam terusik. Terlalu banyak waktu dan tenaga yang akan terbuang, jika harus bertikai ditengah cita-cita bangsa yang damai. Hal demikian biarlah menjadi budaya yang kurang baik, yang mulai sekarang harus diubah. Pemahaman dan cara pandang yang sempit cenderung menimbulkan aksi sepihak. Hal semacam ini begitu mudah memberi peluang kepada kehancuran dan pertikaian untuk masuk dalam bentuk doktrin-doktrin dan isu keagamaan. Kemudian lambat laun, kefanatikan yang berlebihan membuat kehancuran yang tak disangkakan.
Kita hanyalah makhluk Tuhan yang tidak bisa hidup tanpa pengaruh pergaulan sosial. Oleh karena itu dari sisi sosiologis, agama pada hakikatnya adalah instrumen bagaimana kita dapat berdialog dengan Tuhan, menangkap pesan-pesan Tuhan dan berprilaku seperti pemahaman kita tentang Tuhan, Nabi dan ajaran esensial tentang agama. Sebenarnya hakikat agama bukan terletak pada superioritas atau tidak. Sebab belajar ilmu, termasuk ilmu agama yang paling tinggi dan substansial adalah pengetahuan tentang Tuhan. Agar dengan belajar agama seseorang akan memiliki kemampuan mukhasyafah untuk mengenal Tuhan. Dan untuk mencapai semuanya, kita harus mengawalinya dari dunia pendidikan.
Karena itu pendidikan agama di Indonesia harus bisa diupayakan bersifat pluralis. Setelah itu semua umat beragama harus mampu menyeimbangkan pemahaman agamanya antara dimensi risalah dengan dimensi rahmat. Pendidikan agama yang prularis secara substansial sangat berkaitan dengan bagaimana manusia memandang agama itu sendiri. Karena secara garis besar agama memiliki dua dimensi, yaitu dimensi risalah dan dimensi rahmat. Dimensi risalah mengharuskan umat beagama menyebarluaskan ajaran agamanya seluas mungkin. Sedangkan dimensi rahmat menuntut manusia agar dengan agamanya itu bisa menunjukkan sifat-sifat luhur seperti halnya sifat-sifat yang dimiliki Tuhan kepada sesama manusia. Dunia pendidikan juga perlu menyeimbangkan antara materi-materi normatif tekstual dengan dimensi pengalaman keberagamaan. Sebab dengan memberikan porsi pengalaman keagamaan yang cukup, peserta didik akan mampu menangkap makna keberagamaan yang sejati. Dimana agama bukanlah tujuan akhir, melainkan sebagai instrumen untuk menemukan Tuhan dan berprilaku seperti pemahamannya tentang Tuhan, Nabi dan ajaran esensial tentang agama. Kekayaan pengalaman keagamaan inilah yang mendesak untuk dikonstruksi menjadi salah satu materi dan metode pendidikan agama di Indonesia.
)* Penulis adalah aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung.

MENINGKATKAN KUALITAS KEPEMIMPINAN

Judul buku : Leadership GOLDEN WAYS
Penulis       : Mario Teguh
Penyunting : Linna Mario Teguh
Penerbit      : Mario Teguh Publishing House, Jakarta
Cetakan I    : Agustus 2009
Tebal           : 226 Halaman
Harga          : Rp. 110.000, 00
Peresensi     : Achmad Rois)*

MENINGKATKAN KUALITAS KEPEMIMPINAN
Materi atau konsep-konsep kepemimpinan sudah sering kita temui dihampir setiap toko buku diseluruh kota sampai pelosok Negeri. Pelatihan-pelatihan tentang kepemimpinan pun tak kalah sering diadakan seperti pertandingan bulu tangkis atau bola basket. Sistem dan metode yang disajikannya pun macam-macam dan bervariasi. Sebagian dari pelatihan lebih mengedepankan konsep-konsep dan metode kepemimpinan. Namun tidak sedikit dari begitu banyak bentuk pelatihan yang menyajikan konsep disertai praktik-praktik miniatur dalam memimpin sebuah organisasi. Tak asing bila hampir setiap individu dari kalangan masyarakat educated begitu mengenal kata pemimpin atau kepemimpinan.
Buku Leadership GOLDEN WAYS ini hadir disela-sela kesibukan setiap orang yang sedang menjadikan dirinya seorang pribadi yang tangguh dalam memimpin. Seperti judulnya, Leadership GOLDEN WAYS mengungkap jalan-jalan apa saja yang harus ditempuh oleh setiap pemimpin yang ingin memaksimalkan potensi individunya dalam menjadikan setiap orang yang dipimpinnya menjadi pelaku utama dalam sebuah organisasi. Inilah yang membuat buku ini berbeda dari buku-buku kepemimpinan lain. Pembahasannya tidak hanya terjebak dalam proses individu yang memimpin, tetapi juga memberikan pedoman kepada setiap individu yang sedang dipimpin untuk bisa memimpin dirinya sendiri. Seperti kutipan berikut:
“Semua kepemimpinan adalah kepemimpinan pribadi, sehingga tidak ada pribadi yang bisa mengharapkan dirinya menghasilkan kinerja organisasi yang baik – tanpa menjadikan diri pribadinya sebagai penyebab utama tergelorakannya semangat dan tertatanya semua proses kerja”, (hal-5).
Hal ini adalah alasan paling tepat bagi siapapun yang ingin memiliki buku ini sebagai konsumsi intelektual ataupun hanya sebagai koleksi pelengkap perpustakaan pribadi dirumah sehingga bisa dibaca kapanpun disaat ada waktu luang.
Buku Leadership GOLDEN WAYS ini dapat dinikmati oleh semua kalangan karena pemilihan kata-katanya cukup sederhana dan cukup mudah dipahami. Keindahan dalam merangkai setiap kata membuat buku ini tidak membosankan untuk dibaca. Maka bukanlah sesuatu yang aneh apabila buku Leadership GOLDEN WAYS ini terjual laris di pasar intelektual.
Hal tersebut juga tidak terlepas dari peran Mario Teguh sebagai penulis. Beliau adalah Motivator terkemuka di Negeri ini, jadi para konsumtor tak perlu lagi meragukan kapasitas penulis dalam menyajikan materi-materi dalam kemasan yang sangat menarik pada setiap bab dari buku Leadership GOLDEN WAYS ini.
Buku yang diterbitkan oleh Mario Teguh ini mungkin akan menjadi pendamping bagi keefektifan proses pencapaian kesejahteraan, kecemerlangan dan kebahagiaan kehidupan setiap individu yang sedang memimpin ataupun yang sedang dipimpin dan dilayani.
Buku Leadership GOLDEN WAYS ini hadir pada saat Negara dan Bangsa ini tengah dilanda krisis figur dan tauladan seorang pemimpin. Masyarakat secara umum tak lagi menjumpai figur seorang pemimpin yang menjunjung tinggi konsep seorang pemimpin sebagai pelayan mereka yang sedang dipimpin. Hal seperti ini hanya terlontar saat kegiatan-kegiatan kampanye. Tertulis hanya pada kontrak-kontrak kepemimpinan. Tetapi masih jauh dari implikasi. Atau dalam bahasa yang lebih mudah kita pahami, konsep atau teori kepemimpinan hanya sering “terdengar” dan “tertulis” tetapi jarang “terlaksana”.
Motivasi ini dituangkan pada salah satu bab dalam buku Leadership GOLDEN WAYS ini.
“Memimpin dengan yang Mungkin untuk mencapai yang tadinya Tidak Mungkin”.
“Kita disebut pemimpin karena kita mengupayakan peningkatan nilai diri yang ada untuk membangun nilai-nilai yang tadinya belum ada”.
“Pemimpin yang luar biasa adalah pribadi-pribadi biasa yang sikap dan caranya tidak biasa”.
Masih banyak kumpulan kata-kata yang disusunkan penulis begitu indah dan menarik dalam buku ini yang bisa dijadikan motivasi. Motivasi yang berusaha dikembangkan oleh penulis dalam buku ini tidak hanya pada motivasi ekstrinsik semata. Tetapi memungkinkan kepada pembaca untuk menggali motivasi intrinsik karena terbukti motivasi ini memiliki pengaruh lebih besar terhadap pengembangan potensi individu, terutama yang dimaksudkan buku ini adalah tentang kualitas memimpin sebagai seorang pemimpin.

)* Penulis adalah aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung.

Thursday, April 20, 2017

Gus Dur Tak Pernah Mati, Beliau Hanya Sedang Pergi

Oleh: Achmad Rois)*
Tokoh-tokoh besar yang mempunyai pengaruh significan terhadap dunia adalah orang-orang biasa namun memiliki sikap dan cara-cara yang tidak biasa. Terlepas dari ungkapan ini tepat atau tidak saya letakkan diatas bingkai kebesaran nama seorang Kyai. H. Abdurrahman Ad-dakhil, yang pasti keagungan nama beliau saat ini sudah cukup menjadi bukti bahwa beliau pantas menyandang berbagai gelar terhormat, Pahlawan Nasional, Kyai atau gelar-gelar terhormat lainnya. Beliau sebenarnya orang yang dilahirkan sama dengan saya atau anda (para pembaca). Yang membedakan kita dan beliau adalah cara saya atau anda (para pembaca) dalam bersikap, bertindak, berkata, berpikir dan cara-cara beliau; Gus Dur dalam menyikapi banyak hal. Harus secara jujur saya katakan bahwa, Beliau adalah seorang pemimpin yang profesional dalam memimpin banyak hal. Beliau adalah seorang pemimpin keluarga dengan satu orang istri dan empat orang anak perempuan. Beliau pemimpin sebuah pesantren yang dihuni puluhan ribu orang. Beliau pemimpin puluhan juta warga Nahdatul Ulama atau secara umum sebagai pemimpin Umat Islam yang jumlahnya kurang lebih 75 sampai 80 persen dari keseluruhan rakyat Indonesia. Dan beliau pernah bertindak sebagai pemimpin sebuah Negara dengan penduduk kurang lebih 230 juta jiwa. Dan yang paling besar adalah beliau telah berhasil memimpin diri Beliau sendiri.
Secara esensial, saya, anda (para pembaca) dan beliau sama-sama seorang pemimpin. Paling tidak, kita adalah seorang pemimpin yang sedang memimpin sebuah pribadi yang lemah dihadapan Sang Pencipta. Lalu, sekedar menjadi bahan refleksi untuk kita bersama, Apakah kita sudah cukup berhasil dalam memimpin diri kita sendiri? Apakah kita sudah memimpin dengan cara yang baik, sikap yang bijak, suasana hati yang tulus dan sudahkah kita patuh dan cukup setia kepada kebenaran? Ini adalah pertanyaan yang cukup sulit dijawab, bahkan oleh penulis secara pribadi.
Banyak pihak yang mengatakan bahwa sosok seorang Abdurrahman Wahid adalah sosok manusia yang khulul; (secara sempit dapat diartikan sederhana dan tampil apa adanya). Siapa yang tidak mengagumi Gus Dur dari sisi ke-Ilmu-an, saya yakin, saya dan sebagian besar dari anda (para pembaca) akan setuju dengan statemen saya tersebut. Dari sisi kapasitas seorang Pemimpin Negara, Gus Dur adalah seorang pemimpin yang berhasil dan memiliki kepekaan tinggi terhadap kompleksitas rakyat secara langsung. Kemudian jika dilihat dari sudut pandang seorang pemimpin Agama, tentu tidak akan ada yang meragukan kapasitas Beliau sebagai pemimpin Agama. Beliau adalah seorang Kyai yang baik dan setia kepada kebenaran. Keilmuan beliau dalam memahami ajaran agama tidak dimiliki oleh banyak orang. Kecerdasan beliau yang natural sangat jarang dimiliki oleh orang-orang seperti kita. Tak heran jika beberapa hari yang lalu perdebatan demi perdebatan tentang pantas atau tidak seorang Gus Dur disandangkan gelar sebagai Pahlawan Nasional berlangsung sengit. Tapi, sebagai masyarakat yang awam tentang kriteria pahlawan nasional, secara subjektif saya katakan Gus Dur pantas menyandang gelar Pahlawan Nasional.
Seorang Pemimpin Besar tak perlu sama sekali mengatakan bahwa dirinya adalah Pemimpin yang Besar. Biarlah mereka yang bernaung dibawah kedaulatan yang mereka wakilkan terhadap Gus Dur yang menilai. Nilai-nilai seperti itu sudah ditunjukkan oleh masyarakat sejak beliau memimpin. Kemudian secara lantang dan berani mereka; masyarakat menunjukkan bahwa mereka memberikan nilai A untuk kepemimpinan Gus Dur dalam banyak hal. Wafatnya beliau 30 Desember 2009 yang lalu menjadi saksi bahwa beliau benar-benar sosok yang dihormati oleh masyarakat karena beliau memang pantas dihormati. Bukan karena Beliau adalah putra K.H Wahid Hasyim atau cucu K.H Hasyim Asyari, bukan pula karena Beliau adalah seorang Mantan President Republik Indonesia, tapi sekali lagi; Beliau dihormati karena beliau memang pantas dihormati.
Sejak hari pertama wafatnya beliau sampai hari ini, makam beliau tak pernah sepi dari para peziarah. Padahal banyak dari mereka yang hanya mengenal Gus Dur lewat surat kabar yang sedang anda pegang saat ini ataupun televisi. Entah motivasi apa yang mereka miliki sehingga mereka diharuskan pergi, meskipun baru untuk pertama kali. Tapi yang pasti, mereka; para peziarah datang untuk menghormati karena memang Beliau; Gus Dur pantas dihormati. Sampai kapanpun pengaruh dan kebesaran nama beliau akan dikenag diseluruh penjuru negeri. Oleh umat Islam, Nasrani, Yahudi, Konghucu, Hindu dan Budha. Oleh seniman, politikus, Kyai, pejabat, karyawan, pembantu dan buruh sekalipun. Sang Penakluk tak pernah “Mati”, Beliau hanya sedang Pergi.
)* Penulis adalah Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

MARAH; Sudut Pandang Ontologis

Oleh: Achmad Rois)*
“Harus ku awali dari mana ceritaku?” Tanyaku pada kertas A4 sebagai kanvas tempat aku akan menulis saat ini. “Terserah kamu saja”, jawabnya tak terdengar. “Baiklah”, ide yang bagus, kataku dalam hati. Terserah aku, aku yang mau bercerita, kenapa harus terserah orang lain, ini ceritaku, bukan cerita orang lain yang ku kutip dari cerpen, novel atau pun kisah nyata teman dekatku.
Aku kebetulan aktif kira-kira sejak 3 tahun yang lalu dalam sebuah organisasi kecil tempat aku berproses dalam menuntut apapun yang harus aku tuntut. Ilmu, skill organisasi, seni memimpin, kaderisasi, filsafat, theologi, media, bahkan kebijakan dan wewenang pun kadang-kadang aku tuntut. Banyak hal yang sudah aku dapatkan darinya; Organisasi Kecil. Kapan aku harus menulis, kapan aku harus membaca, kapan aku harus bolos kuliah, kapan aku harus bangun kesiangan, kapan aku harus bermain kartu, kapan aku harus ke cafe dan kapan aku harus tidur larut malam. Semuanya proses tersebut aku pelajari dengan baik disana karena kapan menurutku adalah pertanyaan yang tepat untuk melakukan sesuatu setelah mengapa.
Membincangkan teori-teori para pemikir berpengaruh didunia adalah keseharian dari kegiatan kami selain tidur dan pergi ke cafe. Kami sering lupa waktu jika sudah bertengkar tentang sebuah konsep atau teori yang penulisnya bahkan belum pernah kami temui secara langsung atau melihat gambarnya dikoran dan televisi. Kami hanya menemukan namanya disetiap sampul atau dihalaman kedua buku-buku yang ditulisnya. Tapi itu tidak membuat kami berhenti belajar. Kami mempelajari bagaimana kebenaran timbul dalam berbagai perspektif, bukan belajar mana yang saat ini disebut benar atau mana yang divonis kurang benar. Karena itu kami semua tak pernah merasa benar, kami tau bahwa kebenaran itu “tak ada” didunia tempat kami berproses untuk bertahan hidup. Yang kami yakini, kebenaran hanya ada milik Beliau yang Maha Benar. Apa yang menurut kita benar belum tentu benar untuk orang lain, begitu pula sebaliknya, dan apa yang kita dan orang lain sebut benar belum tentu pula benar menurut Beliau Sang Maha Benar. Itu semua kami pahami dengan baik dan utuh. Sebab itu kami hampir tak pernah menyalahkan satu sama lain.
Sesungguhnya aku bukan mempelajari isi buku-buku itu, tapi aku mencoba belajar bagaimana cara para penulisnya berpikir. Aku diajari bertanggung jawab terhadap apa yang aku lakukan. Termasuk ketika berargumen atau mengeluarkan kata-kata kotor. Aku dituntut untuk punya alasan dari setiap yang kukatakan dan kuperbuat. Aku adalah orang yang dididik untuk bertanggung jawab. Karena perlu diingat bahwa tidak semua orang terdidik bisa bertanggung jawab. Anda pun tahu bahwa saat ini begitu banyak mereka yang berpendidikan tinggi namun tak mengerti atau pura-pura tak mengerti tentang tanggung jawab. Baik itu tanggung jawab terhadap diri mereka sendiri atau orang lain. Dan tanggung jawab tertinggi adalah Tanggung Jawab terhadap Beliau Pemilik Kehidupan, itu yang penting.
Maaf, aku lupa. Aku lupa kalau aku sedang marah. Kalau begitu biar kuselesaikan dulu marahku. Aku sedang bertugas untuk tujuan yang jelas, untuk eksistensi. Semalaman aku tak tidur karena harus ngobrol tanpa tema dan alur yang rapi dengan salah seorang putra Kyai tempat aku menimba begitu banyak ilmu ukhrawi. Dia mengenalkan padaku tentang banyak hal, termasuk bagaimana caranya agar tidak mengantuk waktu ngobrol semalaman. Semuanya kupelajari dengan sangat baik. Meskipun kami sama-sama pemalas, tapi kami yakin kami tidak termasuk kedalam golongan orang-orang yang kurang pintar dan tak mampu membagi waktu dengan baik. Kulanjutkan perjalanan pagiku dengan berangkat ketujuan terencana. Begitu jauh dan pasti akan sangat melelahkan, apalagi ketika kutemui beliau tak ada di rumah dan dalam perjalanan pulang ban belakangku bocor terkena paku diatas jalanan yang sedang diguyur hujan. Kejadian ini benar-benar membuatku marah, lalu kulontarkan semua kata dan kalimat kotor yang pernah kukenal. Kutuliskan semua kekesalanku distatus facebook milikku. Apa itu sudah selesai? Belum dan tidak segampang itu.
Mari kita selesaikan dalam beberapa poin.
Poin pertama adalah marah. Apa marah adalah sebuah tindakan yang baik? Terlalu sulit menetapkan itu baik atau tidak, biarlah anda yang menilai nanti. Kita sama sekali tak dilarang untuk marah, bahkan jika keadaan mengharuskan kita untuk marah tapi saat itu kita tak melakukannya, ini bisa berarti kita adalah orang yang lemah dan tak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Jika kita berada dalam situasi yang mengharuskan kita untuk marah tetapi kita tak menggunakan wewenang itu, apa kita pernah berpikir jika marah kita ditunda atau bahkan tak dilanjutkan akan berakibat buruk terhadap seseorang yang seharusnya kita marahi. Atau dalam bahasa yang mudah dipahami, jika kemarahan kita akan berakibat baik bagi seseorang yang memang seharusnya kita marahi berarti marah kita adalah sebuah maksud yang baik. Marah itu naluri manusiawi, pengaruhnya signifikan terhadap kesehatan fisik dan psikis. Jika harus marah, marahlah dengan cara yang baik dan dengan akibat yang baik. Sekali lagi tidak ada yang melarang kita untuk marah, toh sama sekali tak ada yang dirugikan dengan kemarahan yang terkendali dengan baik. Kita boleh saja marah, tapi kita tidak dianjurkan untuk menimbulkan akibat atau pengaruh yang buruk dari kemarahan kita. Intinya, marahlah dengan cara dan sikap yang baik sehingga pengaruh kemarahanmu akan berakibat baik bagi dirimu dan orang-orang baik disekitarmu.
Poin kedua adalah rencana. Kegiatan yang menyebabkan aku marah itu memang sudah direncanakan sebelumnya. Aku punya tujuan dan aku telah menyusun cara-caraku untuk mencapai tujuan, itu yang kusebut dengan rencana. Bagiku, orang yang gagal berencana adalah orang yang berencana untuk gagal. Mohon anda ingat bahwa orang yang bekerja tanpa rencana untuk berhasil, akan berlaku seperti orang yang berencana untuk gagal (MT). Keberhasilan tanpa perencanaan lebih pantas disebut kebetulan, dan apa anda tau bahwa sebuah kebetulan akan sangat sulit terulang dua atau tiga kali, apalagi untuk jangka waktu yang panjang. Sebuah perencanaan memang tidak menjamin setiap yang kita lakukan akan berhasil sesuai dengan yang kita rencanakan. Tapi perlu diketahi bahwa keberhasilan menetapkan satu syarat untuk disebut keberhasilan. Sesuatu akan disebut keberhasilan jika sebelumnya ada tahap yang disebut rencana. Jika keberhasilan anda tak ingin disebut kebetulan, maka penuhilah syaratnya.
Poin ketiga adalah kesalahan. Kegiatan seperti mengeluarkan kata-kata kotor, seperti yang saya lakukan adalah perbuatan yang kurang benar dan tidak cukup baik. Tapi ada hal yang perlu kita ketahui bahwa manusia adalah tempatnya salah. Bagi saya secara pribadi, manusia memang harus pernah salah. Manusia harus pernah salah, bukan harus selalu salah. Ingat! Harus salah bukan berarti harus selalu salah. Tanpa kesalahan kita tak akan pernah tau mana yang disebut benar, toh saya pikir kata salah memang sengaja diciptakan untuk menyebut yang benar. Buruk untuk menyebut yang baik dan gagal untuk menyebut yang berhasil. Bahkan anak ayam pun harus memecah telurnya untuk dapat disebut menetas. Jadi menurut saya, dengan kesalahan kita akan belajar mengapa ini disebut salah dan menemukan mana dan mengapa yang itu disebut benar. Tak perlu khawatir salah jika yang kita cari adalah yang disebut benar dan tak perlu takut disebut gagal jika kegagalan kita saat ini akan mencegah kegagalan kita esok dengan memaksimalkan kemungkinan kita untuk berhasil.

Akhirnya, segala sesuatu yang kita alami harus lah mampu kita sebut sebagai hikmah dalam arti yang utuh dan murni. Karena suatu hari akan datang suatu masa ketika peradaban digantikan oleh layar dan ideologi ditukarkan begitu murah dengan uang kemudian norma-norma dan nilai-nilai digantikan oleh kesepakatan negoisasi. Maka saat itu fungsi nurani sudah tak ada lagi dan semua akan digantikan oleh tirani. Yang akan serius kita hadapi dimasa depan adalah kesulitan kita dalam menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Itu sebabnya saya tekankan diawal tadi bahwa yang benar adalah Pemilik Kebenaran itu sendiri; Beliau Yang Maha Benar. Terus dan tetaplah belajar membaca situasi. Tempatkan semuanya pada tempat yang semestinya. Tetapkan semuanya pada waktu yang tepat. Dan tetaplah bertindak sebaik, sebenar, setepat dan sebijak mungkin.


)* Penulis adalah Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

Janji, Ekspektasi dan Mimpi

Oleh: Achmad Rois)*
Indonesia yang saat ini berpenduduk kurang lebih 230 juta jiwa sepertinya sedang dilanda masalah yang cukup besar dan serius. Indonesia telah menentukan pilihan arah pembangunan negara disegala bidang, paling tidak untuk lima tahun kedepan. Hal ini ditandai dengan terpilihnya presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Kepala Negara sekaligus Pemimpin Pemerintahan. Ini berarti bahwa sebuah bangsa telah memilih jalan hidup demi kemajuan bangsanya minimal untuk masa lima tahun pemerintahan. Lantas bagaimanakah kriteria yang diharapkan oleh rakyat dalam kapasitasnya sebagai pemimpin yang ideal. Seorang pemimpin yang mampu membawa Negeri ini pada taraf kemajuan yang significan. Seorang pemimpin yang tidak mengutamakan kepentingan pribadi ataupun golongan dan berani memilih tindakan yang tepat meski tidak menjadikan dirinya populer.

Masyarakat kita terlalu pintar tentang konsep-konsep atau teori ke-pemimpin-an. Pantas kiranya jika masyarakat kita mengharapkan seorang pemimpin yang mumpuni dalam kompetensi dan kapasitasnya sebagai Kepala Negara dan Pemimpin Pemerintahan. Masyarakat kita tidak lagi peduli dengan konsep-konsep yang mereka bawa waktu berkampanye dulu. Rakyat Indonesia sudah cukup tua untuk mendengar sajian kata yang disusun dalam bentuk janji-janji. Rakyat sudah cukup mengerti bahwa yang harus dimiliki seorang Kepala Negara dan Pemimpin Pemerintahan bukan hanya kemampuan meramu konsep dan formulasi program. Melainkan kapasitas, kemampuan dan kerja nyata dalam berbagai bidang. Sehingga wajar jika masyarakat kita saat ini memiliki espektasi yang cukup tinggi dalam hal kapasitas dan implikasi program dilapangan. Dalam konteks itu semua, dapat dikatakan bahwa situasi Negara dan Bangsa saat ini membutuhkan figur seorang pemimpin yang berani, tegas, cepat, tanggap dan tepat.

Peringatan 100 hari masa kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudoyonno dan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II seharusnya diinterpretasikan sebagai evaluasi kinerja pemerintahan. Moment seperti ini harus bisa ditanggapi secara positif oleh semua pihak, baik dari element politikus, ormas, buruh, mahasiswa dan pihak pemerintah itu sendiri. Jika ditelisik, moment 28 Januari 2010 yang lalu adalah kelanjutan dari aksi besar yang berlangsung diseluruh pelosok Negeri pada tanggal 9 Desember 2009 yang lalu. Ini membuktikan bahwa rakyat Indonesia tidak lagi main-main dalam mengawal setiap kebijakan dan langkah-langkah pemerintahan. Problematika birokrasi yang terus membludak dimedia membuat masyarakat semakin mengerti bagaimana seharusnya menjadi rakyat yang baik. Bagaimana menjadi rakyat yang memiliki kepedulian tinggi terhadap stabilitas Nasional dan kemajuan Bangsa pada taraf Internasional. Dan rakyat yang memiliki aware Nasionalisme yang tinggi.

JANJI dan EKSPEKTASI

Bukan sesuatu yang mengherankan lagi jika seorang wakil rakyat menjanjikan sesuatu terhadap suara yang diwakilinya. Hal yang demikian adalah sesuatu yang lumrah dan diperbolehkan dalam etika politik, khususnya dalam proses penggalangan masa dan menarik simpati para simpatisan politik. Kegiatan semacam ini bisa dilakukan dimana saja, dalam kegiatan berkampanye atau dalam bentuk gerakan simpatik lainya seperti kegiatan amal atau bhakti sosial.

Begitu juga yang dilakukan presiden terpilih sebelum menjadi seorang Kepala Negara dan Pemimpin Pemerintahan. Setelah terpilih, beliau mencanangkan program 100 hari kerja. Hal ini secara positif mungkin dimaknai sebagai pijakan awal untuk memulai langkah kedepan menuju arah yang lebih baik. Tapi disisi lain, hal ini dicatat dalam benak masyarakat secara umum sebagai bentuk janji seorang Presiden. Jadi tidak perlu dikhawatirkan lagi jika suatu saat janji ini akan ditagih dalam bentuk yang nyata. Bukan dalam tataran konsep atau program yang muluk-muluk tanpa kejelasan implikasinya dilapangan.

Ada 15 poin penting yang dicatat oleh seluruh masyarakat dan diartikan secara keras sebagai janji seorang Presiden. Ekonomi, Politik, Pemerintahan Bersih, dan beberapa program lain.

Masalah korupsi sementara ini masih menjadi masalah yang mendapat pengamatan serius dari seluruh lapisan masyarakat. Baik dari lapisan masyarakat menegah kebawah seperti para petani dan buruh, masyarakat menengah keatas terutama masyarakat educated, dan masyarakat elite yaitu pihak birokrat, politikus dan lembaga-lembaga tinggi negara. Kerasnya tuntutan masyarakat kepada pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus ini adalah sesuatu yang wajar. Karena korelasi aksi 28 Januari 2010 dan 9 Desember 2009 lalu adalah wujud keseriusan masyarakat terhadap advokasi kinerja pemerintahan SBY dan gerakan yang bersifat kontinuitas. Rakyat kelihatanya memang tidak lagi main-main, bahkan bisa jadi akan ada aksi lanjutan terkait kinerja pemerintah hari ini. Hal itu mungkin saja terjadi karena ekspektasi masyarakat terhadap program 100 hari kerja ini cukup besar.

Kurang maksimalnya hasil dari program 100 hari ini disebabkan beberapa faktor, antara lain:

Pertama, masa 100 hari ini masih menjadi “masa bulan madu” bagi para anggota Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. “Bulan madu” dalam konteks kali ini tentu tidak dapat diartikan sepenuhnya seperti masa “bulan madu”nya sepasang pengantin baru. Para anggota kabinet yang disusun dari hasil koalisi politik dan berbagai pertimbangan penting tentu tidak akan begitu saja berjalan selaras sesuai harapan kita bersama sebagai masyarakat yang awam dalam dunia politik. Harus ada kesesuaian antara individu satu dengan yang lain, karena yang akan diperjuangkan adalah suara seluruh rakyat yang diwakili.

Kedua, adanya kasus yang marak beberapa bulan yang lalu dengan sebutan kasus “Cicak dan Buaya“. Kasus ini banyak mengundang konsentrasi semua pihak terutama tim KPK dan Kepolisian. Dua lembaga yang sama-sama berfungsi menegakkan supremasi hukum di Indonesia ini terpaksa bertikai satu sama lain dimeja hijau. Hal ini tentu mempunyai pengaruh yang significan terhadap stabilitas nasional, terutama pada perjalanan program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Dan,

Ketiga, mencuatnya mega skandal Bank Century yang melibatkan beberapa tokoh penting sebagai penggerak roda pemerintahan. Bagaimana tidak, Boediono adalah seorang Wakil Presiden dan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Dua posisi ini adalah posisi yang sama-sama strategis mempengaruhi stabilitas nasional. Pengaruh yang significan juga dirasakan oleh puluhan anggota Panitia Khusus Angket Century. Mereka harus mondar-mandir keluar masuk ruang sidang untuk menyelesaikan proses persidangan. Masalah yang sangat rumit ini bahkan menghadirkan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Mantan Kabareskrim Susno Duaji untuk kembali diexpose diruang-ruang publik. Beberapa tokoh seperti ahli hukum yang memiliki pengaruh terhadap interpretasi media pun dihadirkan. Karena dikhawatirkan adanya interpretasi yang menyimpang dari konteks persidangan kemudian dimuat secara bebas dimedia dan dikonsumsi oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Proses-proses tersebut tidak bisa tidak berpengaruh terhadap berlangsungnya stabilitas Nasional dan roda pemerintahan.

MIMPI

Jika semua konsentrasi pemerintah terfokus kearah yang sama. Maka harapan masyarakat akan janji-janji pemerintahanpun hanya akan ada dalam mimpi. Sebenarnya ada hal lain yang juga tidak kalah penting untuk diperhatikan selain tiga hal yang telah saya sebutkan sebelumnya.

Permainan Mafia selama ini ternyata tidak hanya merambah wilayah hukum. Sebenarnya Mafia Perpajakan pun mempunyai peluang yang tidak kalah besarnya sebagai lahan basah korupsi. Padahal realitanya, sistem perpajakan adalah sistem yang mempunyai korelasi langsung terhadap jantung perekonomian bangsa. Dalam hal ini, peningkatan taraf ekonomi masyarakat juga merupakan salah satu program yang dicanangkan dan akan dipenuhi pada masa 100 hari kepemimpinan SBY. Tidak harus mengambil langkah yang muluk muluk, memperbaiki sistem perpajakan, mengalirkan dananya sesuai kebutuhan dan menempatkan pada tempat yang tepat, saya pikir akan lebih efektif untuk membantu stabilitas ekonomi bangsa. Tapi mungkin prosesnya tidak akan sesimple itu.

Terjadinya krisis listrik juga menjadi masalah yang serius dikalangan masyarakat. Ini dibuktikan dengan masih diberlakukannya sistem pemadaman bergilir, terutama pada beberapa daerah dipulau jawa. Bukankah program Revitalisasi Listrik ini sudah dicanangkan 100 hari yang lalu, tetapi sistem pemadaman bergilir masih juga dirasakan. Bahkan alasan kepergian Presiden dari Istana 28 Januari 2010 yang lalu adalah meresmikan PLTU di Labuhan, Banten. Padahal program ini sudah dicanangkan semenjak tahta pemerintahan diduduki oleh SBY dan JK 5 tahun 100 hari yang lalu.

Penerapan FTA (Free Trade Area) di Indonesia juga mengundang banyak kontroversi yang sebagian besar disuarakan oleh para buruh dan pengusaha kecil; padat karya. Pertanyaannya, apakah pemerintah sudah cukup mampu memberikan fasilitas yang cukup untuk membuat mereka mampu bersaing dipasar bebas 2010. Kebijakan ini dekecam keras di Surabaya oleh Kelompok Mayoritas Buruh dan Pengusaha Menengah kebawah pada aksi 28 Januari 2010 yang lalu. Mereka berasumsi bahwa kebijakan ini sama sekali tidak berpihak kepada rakyat kecil dan para buruh. Mereka juga memberikan kecaman keras terhadap sistem kontrak terhadap buruh. Keduanya menurut mereka tidak sesuai dengan cita-cita kemaslahatan mereka sebagai buruh dan rakyat kecil.

Lalu, sejauh mana atau apa tolak ukur yang digunakan dalam mengidentivikasi apakah program ini benar-benar berjalan atau berhasil? Jawabannya ada pada sejauh mana semua program itu berjalan dan mampu menjawab kebutuhan masyarakat secara real. Hanya itu tolak ukur yang dapat digunakan. Jadi bukan pada program yang rapi dan mutahir diatas kertas, tetapi lebih pada implikasinya atau bentuk kongkrit yang dapat langsung dirasakan oleh masyarakat. Bukan seperti kosmetik yang indah dipermukaan tetapi hancur dalam kenyataan. Kenyataan lain yang harus dijawab adalah sejauh mana antisipasi pengangguran dari penerepan FTA. Akibatnya harus dispekulasi secara detail, karena kenyataan yang sedang kita hadapi adalah masih tingginya tingkat pengangguran pada masyarakat educated.

Akhirnya, Janji bukanlah mimpi yang begitu saja dapat dilupakan. Reduksi kredibilitas terhadap pemerintahan mungkin saja terjadi dikalangan masyarakat yang merasa aspirasinya tidak disalurkan atau janji yang menurut mereka dilupakan. Karena tolak ukur mereka adalah kepuasan dan mampu atau tidaknya sebuah program dalam menjawab kebutuhan secara real.


)* Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

DALAM KESENDIRIAN, AKU MELAMUN


Oleh: Achmad Rois)*
Hari-hari setelah hari ini adalah proses yang serius. Tapi itu bukan berarti hari-hariku sebelumnya tidak ku jalani dengan penuh keseriusan. Namun, ada banyak pertanyaan yang selalu tak mampu kutepis. Perjalananku menempuh pendidikan menurutku sudah terlalu lama, tapi aku tak pernah ingin sama sekali mengakhirinya walau sesaat. Kecintaanku terhadap dunia seperti ini agaknya tak bisa digantikan dengan apapun. Aku hampir tak pernah berpikir sedikitpun tentang bagaimana masa depanku besok. Atau dalam bahasa yang lebih mudah dipahami, orang sering menyebutnya “dari mana aku akan mendapatkan uang untuk tetap bertahan hidup dari makan”. Nanti saja berpikir tentang masa depan karena saat ini adalah saat yang sedang terjadi dan harus dihadapi. Masa depan bukanlah sesuatu yang pasti terjadi, siapa yang tau bahwa setelah aku menulis kali ini aku mati. Karena tak ada sama sekali yang bisa menjamin hidupku ini abadi. Jadi untuk apa membicarakan “nanti”, kenapa tidak kita bicarakan saja sesuatu yang menarik dengan tema “saat ini”?
Suatu saat setelah pekerjaan rumahku selesai, aku menyalakan note book. Aku mendengarkan musik yang setiap saat selalu ku putar berulang-ulang. Alasannya bukan karena aku menyukainya, tapi karena memang tak ada musik lain yang akan kudengar selain musik-musik di hard disk yang tersimpan dalam note book ku. Barang kali seleraku tentang musik juga tergolong sangat rendah. Karena itu mungkin aku bukan penggemar maniak sebuah group band atau club malam yang menyediakan pertunjukan musik sebagai pemanja pengunjungnya. Tak ada musik atau lagu-lagu yang memiliki fungsi penting menurutku. Atau yang tergolong punya pengaruh significant terhadap ku saat mereka kuputar dan kudengarkan. Barang kali pendapatku akan banyak bertentangan dengan mereka para penggemar Kangen Band, ST 12, Hijau Daun atau DEWA 19. Mereka menganggap lagu-lagu yang dinyanyikan beberapa group band terkenal memberikan banyak inspirasi bagi hidup mereka, tapi menurutku tidak. Atau musik yang mereka dendangkan memiliki pengaruh spiritual tersendiri bagi para pendengarnya, seperti lagu yang sering didendangkan group band UNGU akhir-akhir ini, tapi menurutku juga tidak. Mungkin akan berbeda dengan para TNI atau Presiden yang begitu mengahargai lagu kebangsaan dan mars-mars kemiliteran. Bagi mereka itu adalah alasan paling tepat untuk bertahan hidup dengan keadaan apapun. Dalihnya Nasionalisme dan NKRI dijadikan harga mati. Alasan yang masuk akal, meskipun sebenarnya mereka berjuang demi kebohongan. Itu alasan mereka tentang lagu-lagu, tapi aku belum punya alasan untuk itu semua.
Tadi malam aku teringat satu hal karena itu aku tak dapat tidur dengan nyenyak. Tapi sekarang aku tahu bahwa salah satu alasan kenapa orang-orang tak bisa tidur nyenyak adalah karena mereka mengingat satu atau banyak hal. Ibuku mungkin tak pernah tidur nyenyak selama ini karena ada banyak hal yang pasti mengganggunya, termasuk bagaimana mengatur keuangan yang pas-pas an untuk tetap cukup membiayaiku sampai selesai kuliah. Kalau begitu, ayahku juga tak pernah tidur nyenyak. Pekerjaannya satu bulan tak cukup gaji untuk makan selama dua minggu. Tapi aku tetap harus sekolah, sering ditegaskannya waktu itu. Kalau aku saja tak dapat tidur nyenyak karena aku terus berpikir kenapa begitu banyak nyamuk malam ini. Lalu bagaimana dengan mereka yang nanti sore harus menyetor hasil sewa angkot pada bosnya. Bagaimana pula dengan wanita paruh baya sekertaris perusahaan besar itu? Dia sedang lembur kerja karena bosnya mendadak minta dibuatkan naskah untuk meeting besok jam 07.00 pagi. Sedangkan sekarang adalah waktunya pulang kerumah dan menyuruh anak-anaknya untuk mandi. Bagaimana kalau nanti malam suaminya tak bisa tidur karena ngantuknya mendadak terhambat oleh hasrat yang membelanggu. Rasa kantuk itu ada untuk datang, tapi tak kunjung sampai karena dia men-syarat-kan sesuatu. Apakah esok dia akan mendapati suaminya tetap tidur sampai siang hari; mogok kerja. Atau dalam keadaan bangun dengan kerut di dahi pertanda ada yang harus kau penuhi malam ini dan aku tak mau dengar ada kata lembur kerja lagi. Atau dia mendapati suaminya pulang pagi dengan pakaian lusuh, bau parfum yang asing dan diyakini bukan asli milik suaminya. Mulut berbau minuman keras, sisa lipstick yang entah lupa atau sengaja tidak dibersihkan dari leher. Atau harus pulang dengan mobil PATROLI bersama wanita lain dalam sepasang borgol dan esok hari dia mendapati suaminya itu di TV. Atau memang suaminya adalah seorang Direktur advertising agency.
Direktur? Cukup menarik, ada sesuatu yang sepele tentang jabatan tinggi ini tapi mungkin hal ini perlu kita kaji. Direktur menurutku adalah seseorang yang identik dengan dasi. Bukankah dasi ini adalah salah satu pelengkap pakaian formal yang menarik? Aku sama sekali tak tahu dari mana asal kata itu diambil. Apa makna etimologinya, apa makna terminologinya aku pun bahkan hampir tak pernah ingin tau. Aku pernah sesekali menanyakan tentang hal ini kepada guru BP tempat SMA ku dulu. Waktu itu aku dipanggil kekantor dengan alasan seragamku tak lengkap. Dasar anak bandel, celetusnya kesal. Apa kamu tahu hari apa ini? Jelas aku tahu, itu alasanku kenapa memakai baju putih dan celana abu-abu. Perkataan ku tadi mungkin sedikit membuatnya kesal. Tapi tak apalah, melanggar peraturan kan memang sudah menjadi hobbiku. Kalau kamu tahu ini hari apa, lantas mana dasi mu? Kenapa tak kau kenakan? Celetusnya makin terlihat kesal. Flu ku sudah sembuh pak, jadi tak perlu lagi ku kenakan benda miskin warna itu. Selesai sudah, menikmati hukuman diluar kelas bagiku lebih menyenangkan ketimbang belajar matematika dengan guru yang selalu menghitung berapa kali dia tersenyum sejak dia masuk dan mulai mengajar di kelas sampai nanti dia selesai mengajar.

Itu adalah awal aku mengenal dasi. Tapi kesendirianku kali ini memberikan pandangan yang berbeda tentang dasi. Jika waktu itu kukatakan dasi tidak akan berguna jika kita tidak terkena flu, itu karena aku adalah anak kelas 1 SMA yang bandel. Sekarang aku adalah mahasiswa Semester VII di Universitas paling terkenal di kota tempat aku lahir 22nd tahun yang lalu. Bukankah ini waktu yang cukup lama untuk sekedar mengenal kata dasi. Biarlah, aku sama sekali tak peduli berapa waktuku yang tersita untuk hal sepele ini.

Jika aku sempat mengenakannya; dasi nanti, aku akan katakan pada mereka beberapa hal. Ini sengaja kucatat, supaya aku tidak lupa nanti, karena semakin tua kemampuanku mengingat akan semakin berkurang.
Apa yang melingkar dileherku ini adalah kain yang pernah menjadi bahan tertawaan teman-temanku waktu aku masih duduk di kelas 1 SMA dulu. Tak ada gunanya, kecuali kau terkena flu. Ini adalah benda miskin warna yang diikat dengan cara rumit, menghambat udara yang masuk kedalam paru-paru dan membuat lehermu sulit untuk menoleh. Kau juga harus berhati-hati ketika berada didekat kipas angin kalau kau tak ingin tercekik oleh kain kecil ini.
Lalu jika seseorang menanyaiku tentang apa gunanya dasi yang kukenakan ini. Aku akan menjawab:
Sama sekali tak ada. Benda ini sama sekali tidak dekoratif, pembuatnya pun tak akan se-kreatif perancang busana pengantin atau pembuat mainan anak-anak. Benda ini sekarang menjadi lambang perbudakan, kekuasaan sekaligus keterasingan. Tidakkah kau lihat disetiap rumah tentara atau polisi yang memiliki anjing pelacak. Mereka selalu mengikat leher anjingnya dengan rantai bermotif simpul yang begitu rumit untuk kita tiru. Kerbau-kerbau juga demikian, bahkan kambing dan sapipun mendapatkan perlakuan yang sama seperti para tahanan yang miskin dan budak yang memberontak. Satu-satunya kegunaan dasi yang sebenarnya adalah ada pada perasaan lega ketika kau melepaskannya. Saat itu kau akan merasa lega seakan kau telah membebaskan dirimu dari sesuatu, meskipun kau sebenarnya tidak mengetahui hal itu. Kau tidak akan tau kau telah terbebas dari apa. Tapi rasa lega itu tetap akan ada dan lambat laun kau akan mengerti dengan sendirinya ketika kau telah lama tak mengenakannya lagi sebagai pelengkap pakaian formalmu.
)*  Penulis adalah aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung.

PENDIDIKAN POLITIK DALAM KEMASAN MEDIA


Oleh: Achmad Rois)*

Sidang Panitia Khusus Angket Century sudah berlangsung berhari-hari. Penyiarannya ditelevisi secara langsung membuat masyarakat semakin mengerti desas-desus terpojoknya pemerintahan SBY. Ungkapan para pengamat politik dalam setiap wawancara yang disiarkan langsung ditelevisi sedikit banyak pasti berpengaruh terhadap paradigma masyarakat dalam menilai stabilitas nasional sejak kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Hal ini semakin menarik dengan banyaknya kajian-kajian atau telaah dalam bentuk forum perdiskusian yang digelar oleh LSM, Organisasi-organisasi Independent dan Mahasiswa di kampus-kampus atau beberapa tempat yang mengundang perhatian publik.

Suasana sidang yang dapat kita saksikan langsung dari rumah atau diwarung-warung yang menyediakan televisi sebagai fasilitas pemanja pelanggannya, layaknya patut diacungi jempol. Selain sebagai fasilitas pendidikan politik, penyiaran sidang secara langsung adalah wujud dari sebuah sistem demokrasi yang transparan. Masyarakat tak bisa lagi dibohongi, mau tidak mau masyarakat sudah menyaksikan secara langsung bagaimana prosesi sidang berlangsung. Sebagai presiden, seharusnya SBY tak perlu lagi khawatir tentang isu-isu yang diklaim memojokkan pemerintah. Karena pada dasarnya sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini sudah mampu menjalani system politik demokrasi dalam kacamata individu, atau pemahaman subjektifnya masing-masing.

Media cetak dalam hal ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengembangan pemahaman dan ide masyarakat yang berkaitan dengan isu-isu politik atau fakta-fakta politik. Peradaban semacam ini secara fungsional harus senantiasa dipertahankan sinergitasnya dalam kacamata public. Dalam hal ini, public harus dimaknai masyarakat secara umum yang saat ini dilanda krisis kepercayaan dan haus akan figur seorang pemimpin yang tidak berpihak terhadap kepentingan pribadi ataupun golongan manapun.
Masyarakat membutuhkan contoh bagaimana memahami legislator politik dan kebijakan dalam bingkai hukum dan etika demokrasi. Lebih sempit lagi mungkin bisa kita maknai dengan etika persidangan. Selama puluhan tahun kita hanya mengenal istilah sidang tertutup, padahal pembahasan dalam sidang tersebut adalah tentang kepentingan khalayak ramai; rakyat. Kita dapat menyaksikan hasil sidang setelah keputusan sidang itu diketok dan baru berkomentar setelahnya, padahal setelah itu tak ada sama sekali yang mampu kita lakukan karena rapatnya pintu demokrasi dan rapinya disiplin dalam system politik saat itu. Saya tidak akan mengatakan bahwa sistem politik kita hari ini tidak disiplin atau tidak rapi. Tapi dari sisi lain, ada hal yang patut diberi apreisasi terutama terkait transparansi sidang dan pengambilan kebijakan yang dapat kita saksikan prosesnya secara langsung.

Kita sedang dihadapkan pada masalah besar keuangan bangsa dan desas-desus pemerintah yang terlibat langsung atau tak langsung dalam proses ini. Dan dalam hal ini kita sebagai rakyat kecil tak ada yang bisa diharapkan lebih banyak dari media selain eksistensi media dalam meliput hal apapun yang berkaitan dengan nasib kita sebagai kaum marginal. Sehingga kita tak lagi dibodohi oleh kepentingan-kepentingan sepihak kaum birokrat dan elite politik.

Masyarakat akan lebih mampu menentukan pilihan-pilihan selanjutnya tentang nasib dan kedaulatan mereka dengan pemahaman yang kondusif dan maksimal dari media cetak maupun elektronik. Saat ini dan sampai kapanpun fungsi media menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Selain sebagai wahana otentik penyalur ideology, media hendaknya mampu secara tranformatif mewadahi kreatifitas dan perkembangan pemahaman masyarakat, terutama yang berkaitan dengan alur kebijakan-kebijakan pemerintah.

Pada akhirnya, perjalanan politik di Negeri yang semakin lama semakin trenyuh ini harus dapat dinikmati secara utuh dalam bentuk pendidikan media sebagai wahana yang mempunyai pengaruh penting dalam mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah. Pemahaman politik adalah penting untuk setiap Warga Negara, karena peradaban dan kepribadian bangsa juga akan tercermin dari bagaimana pemahaman rakyat di Negara tersebut terhadap perpolitikan bangsanya.

)*  Penulis adalah aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung.