JAWA ADALAH ISLAM

JAWA ADALAH ISLAM


Oleh: Achmad Rois)*
Pengantar Identitas
Minggu lalu, “penidur bodoh” ini sudah berbicara tentang peradaban yang kian mengurangi nilai adab itu sediri. Adalah ketika kemajuan zaman dimaknai sebagai ombak besar yang meng-erosikan nilai-nilai luhur budaya lokal dan religiusitas penduduknya. Pada kesempatan yang di-Rahmati Tuhan ini, penulis akan mengundang Anda menggunakan logika paling sederhana bahwa “lampu hanya akan diletakkan di tempat yang gelap atau paling gelap”. Tulisan ini akan berjalan cukup lama dan panjang, jadi jika Anda tidak siap untuk menerima konsekuensi ini, tinggalkan dan carilah tulisan lain untuk dibaca.



Hari ini, saat saya menulis, saya adalah orang Indonesia yang sedang sangat mencintai kewarganegaraan saya, meskipun saya sendiri tidak begitu yakin apakah Negara dan Bangsa ini pantas mendapatkan cinta saya. Kemudian, saya adalah orang Jawa (etnisitas) yang sangat menjunjung tinggi keluhuran budayanya secara filosofis maupun religius. Dan di sisi lain, agama saya adalah Islam, karena di KTP saya tertulis begitu.
Jawa dan Islam dalam Idealitas
Berbicara mengenai budaya Jawa, berarti mengarungi budaya penuh simbologi dan mitologi. Jawa memiliki sejuta, bahkan lebih, simbol-simbol dan mitos yang penuh dengan makna filosofis. Simbol-simbol dengan makna filosofis ini yang selanjutnya akan kita sebut dengan “Falsafah Jawa”. Falsafah Jawa ini juga terkait kepada budaya spiritual orang Jawa yang mulia, yang kemudian menjadi falsafah hidup mereka. Pada tulisan ini akan saya ketegahkan beberapa saja dari keluhuran falsafah Jawa, karena saya memang tidak tahu begitu banyak, tapi saya akan terus mencarinya, meskipun usaha saya tidak akan pernah selesai karena memang begitu kayanya falsafah hidup Jawa yang mulia ini.
Falsafah Jawa yang sangat terkenal dan menjadi landasan aksara Jawa adalah “HA-NA- CA-RA-KA”. Ha-na artinya ‘nyata ada’, mengiaskan ilmu kasunyatan. Dalam epistemologi modern pengetahuan ini dikenal dengan Realitas atau Pengalaman Empiris. “CA-RA-KA” mengandung aksara yang menyiratkan kata cipta-rasa-karsa, yakni salah satu sumber kelengkapan hidup manusia. “DA-TA-SA-WA-LA”, mengiaskan dzat yang data-sawala, yakni dzat yang tidak pernah salah dan tidak pernah bisa salah, yaitu Dzat Tuhan. Tuhan memberi manusia beberapa sifatnya, yaitu sifat baik dan buruk. Kedua sifat tersebut sama kuatnya, “PA-DHA-JA-YA-NYA”, sama jayannya. “MA-GA-BA.THA-NGA”, Ma, menyiratkan kata ‘sukma’, dan Ga, menyiratkan kata angga (badan). Maksudnya, jika Sukma masih bersatu dengan badan, manusia itu masih hidup, tetapi jika sukma telah meninggalkan badan, manusia itu mati, tinggal ba-tha-nga yaitu bangkainya, dan sukmanya kembali kepada Tuhan.
Falsafah Jawa selanjutnya adalah sikap mental atau keadaan batin yang ideal menurut orang Jawa. Orang jawa memahami bahwa unsur sentral cara bersikap dalam kehidupan mereka ada rila, nrimo dan sabar. Sikap ini yang akan melandasi sikap orang Jawa dalam menghadapi segala hal. Rila disebut juga dengan eklas, yaitu kesediaan menyerahkan segala milik, kemampuan, dan hasil karya kepada Tuhan. Nrima berarti merasa puas dengan nasib dan kewajiban yang telah ada, tidak memberontak, tetapi mengucapkan terima kasih. Sabar menunjukkan ketiadaan hasrat, ketiadaan ketak-sabaran, dan ketiadaan nafsu yang bergolak.
Sikap pertama, yaitu rila atau eklas, dalam Islam juga dikenal dengan sebutan Ikhlas. Ikhlas secara etimologi berasal dari kata Kholasho yang berarti bersih, tiada bercampur. Kemudian Khollasho dengan lam yang ditasydid berarti melepaskan, dan isim faa’ilnya adalah Khoolisun yang berarti yang bersih, yang murni. Defenisi etimologis ini mengantarkan kita kepada sebuah pemahaman bahwa dalam memberikan sesuatu kita harus “bersih”. Bersih yang pertama adalah bersih yang kita berikan. Artinya, yang kita berikan adalah sesuatu yang harus berada dalam keadaan baik dan halal, jika konteksnya Islam disebut dengan “halalan thoyyiba”. Kemudian bersih yang kedua berarti murni, yaitu melepaskan segala sesuatu yang membuat kita mengharapkan balasan dari orang yang kita beri. Jadi, Ikhlas adalah melakukan atau memberikan sesuatu hanya karena Tuhan, dan tidak mencampuri tujuan tersebut dengan tujuan lain seperti, penghargaan dari orang banyak, popularitas politik, penghormatan dan lain-lain. Dan implementasi falsafah ini dalam tradisi jawa disebut sepi ing pamrih.
Sikap selanjutnya adalah nrima, yaitu bentuk rasa syukur dan kepasrahan total terhadap apa yang telah ditakdirkan Tuhan. Dan dalam agama yang tertulis dalam KTP saya tadi diajarkan bahwa manusia harus percaya pada Takdir Tuhan (rukun Iman), kemudian harus bersyukur terhadap nikmat yang deberikan Tuhan. Perintah untuk bersyukur ini begitu seringnya saya dengar disetiap pembukaan Khutbah Jum’at, Ceramah-ceramah keagamaan dan dibanyak forum lain yang pernah saya ikuti. Saya tidak pernah bertanya kepada mereka kenapa kita harus bersyukur, tapi ketika saya mencoba untuk tidak bersyukur sehari saja, betapa sedikitnya keberkahan yang saya terima saat itu. Kemudian saya putuskan untuk mengambil kesimpulan bodoh bahwa “saya memang harus berterimakasih, meskipun saya tidak tahu atau bahkan tidak percaya bahwa ada yang memberi sesuatu untuk saya, dan saya nikmati itu”.
Dalam kaitanya dengan Tuhan, falsafah Jawa mengajarkan kita untuk bersikap nerima ing pandum, yakni menerima dengan sumeleh terhadap pemberian Tuhan. Tapi sikap ini tidak dapat digolongkan kedalam sikap fatalistik. Penganut fatalistik percaya bahwa semua kejadian sudah diputuskan dan ditetapkan oleh Tuhan pada permulaan wujud, sehingga usaha-usaha manusia tidak dapat mengubahnya. Dalam konteks Islam, “sesungguhnya Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka sendiri yang mengubahnya”. Ini berarti bahwa campur tangan atau usaha manusia tetap saja dibutuhkan dalam menjalani takdir yang sudah ditetapkan. Selain ayat ini, banyak lagi ayat lain yang menggunakan retorika tersirat bahwa manusia tetaplah harus berusaha, meskipun pada akhirnya Tuhan juga lah yang akan menentukan semuanya.
Masih senada dengan syukur atau nrima, Jawa mengenal istilah urip manungsa pinasthi ing Pangeran, hidup telah ditakdirkan, tapi tidak berarti kita hanya diam. Orang Jawa memaknai hidup adalah senantiasa bergerak, jika orang hidup hanya diam, berarti sama saja dengan mati. Adapun watak nrima sebenarnya tetap disertai usaha terlebih dahulu, baru kemudian pasrah dan sumarah. Pasrah adalah kondisi tunduk takluk pada takdir, ibaratnya tangan tengkurap, merunduk. Sedangkan sumarah adalah berserah diri dengan cara mengulurkan tangan. Dengan kata lain nrima tidak berarti hanya berdiam diri seperti menunggu datangnya embun pagi. Ini menjadi menarik ketika makna Islam itu sendiri juga berarti pasrah dan tunduk. Jadi, orang Jawa sebenarnya sudah Islam bahkan sebelum Islam itu sendiri datang ke Jawa.
Falsafah sabar tentu juga sudah sangat jelas, baik secara etimologi jawa maupun Islam. Sifat ini begitu mulianya, sampai Tuhan dengan sangat berani berfirman bahwa Dia bersama orang-orang yang sabar. Selain itu, Tuhan juga memerintahkan kita untuk meminta pertolongan dengan sabar dan sholat. Ada banyak tafsir mengenai hal ini, tapi secara garis besar, Tuhan menyayangi orang yang sabar, dan tanpa kesabaran, sholat hanya akan berada pada koridor yang formal, tanpa ruh dan tanpa penghayatan.
Falsafah lain yang juga penting dalam epistemologi Jawa adalah “sak bejha-bejhane wong luwih bejho wong kang eling lan waspodho”. Kalimat ini selalu mengingatkan saya pada sebuah stasiun radio swasta yang berada di daerah timur kota Tulungagung, Ngunut. Kalimat ini sering sekali saya dengar ketika ngopi di kantin PPHM. PPHM adalah tempat dimana saya sangat suka dan lebih memilih tidur pulas ketimbang ngaji kitab kuning. Tapi saya tetap mencintai tempat ini, karena saya pernah tinggal dan tidur di sana beberapa hari.
Kembali pada falsafah di atas, Eling menjadi perwujudan hidup yang berdimensi vertikal (transendental). Jadi yang dimaksud dengan eling ini adalah senantiasa ingat pada Tuhan sebagai Maha Pencipta, dan eling terhadap hakikat diri manusia itu sendiri. Dalam Islam, sholat juga berarti dzikir atau senantiasa mengingat dan berserah diri pada Tuhan. Dan dalam ayat yang lain, sering sekali kita dengar bahwa “man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa robbahu”. Waspada adalah watak kehati-hatian, yang berdimensi horizontal. Waspada mengindikasikan watak dasar manusia Jawa yang melaksanakan segala sesuatu berlandaskan situasi kontekstual. Hal ini juga akan merujuk pada pemikiran yang selalu tanggap pada kejadian-kejadian di sekelilingnya. Segala kejadian akan turut menentukan tanda-tanda hadirnya takdir, karena itulah perlu diwaspadai agar hidupnya aman, tenteram dan damai.
Dalam pengembaraan orang Jawa guna mencari Tuhan, mereka mengenal banyak istilah, seperti “mati sajroning urip, sangkan paraning dumadi, dan manunggaling kawulo Gusti”. Orang Jawa juga mempunyai pandangan bahwa hakikat Tuhan itu memiliki sifat dan afngal. Sifat Tuhan itu Esa, tak ada yang menciptakan. Ini senada dengan Surat Al-Ikhlas, Dialah Tuhan yang Maha Esa, Tidak beranak dan diperanakkan. Sedangkan Afngal berarti Tuhan itu tidak dapat dilihat dan tidak berwujud. Orang Jawa juga sangat percaya dan yakin bahwa ada Dzat di luar diri mereka yang lebih Kuasa di atas segalanya. Sama seperti orang Islam yang juga yakin bahwa Tuhan adalah Dzat dengan segala Kesempurnaanya.
Orang jawa juga mengenal istilah manungsa utama yang dalam Islam disebut dengan insan kamil. Untuk mencapai taraf ini, orang Jawa mengenal proses ajur ajer yang dalam istilah tasawuf disebut fana, yaitu menganggap diri ini tidak ada, hanya Tuhanlah yang Maha Ada. Karena itu orang Jawa selalu menyikapi hidup dengan penuh keyakinan bahwa hanya Tuhanlah yang kekal dan abadi. Dunia bathin ini dimanifestasikan dalam istilah “menyang donya mung mampir ngombe”. Meskipun demikian, hidup yang sementara ini tidak dijalani dengan hanya berpangku tangan, tapi dengan perjuangan dan proses. Mereka memahami bahwa hidup adalah perjalanan dari tiada, ada, ke tiada lagi. Kerena mereka memahami bahwa hidup sudah ditentukan, dan hidup hanya untuk sementara, maka orang Jawa tidak menjalani hidup ini dengan ngaya (ambisius). Hati mereka merasa tenang dan menyikapi hidup sebagai cakramanggilingan, yang artinya berputar dari waktu ke waktu, menuju kesempurnaan.
Catatan Akhir
Tulisan ini akan bertambah panjang jika saya terus menyebutkan lebih banyak lagi falsafah Jawa yang mulia dan relevan dengan ajaran Islam. Ada sejuta bahkan lebih banyak lagi mitologi dan simbologi jawa yang lain, dan yang sangat berharga dalam kajian ini. Namun itu menjadi tugas Anda untuk menggali kekayaan tradisi Jawa lebih lanjut, karena saya meletakkan kajian ini sebagai pengantar pengetahuan kita tentang mulianya produk manusia Jawa sebelum peradaban Islam datang ke Indonesia secara umum dan Jawa khususnya.
Kajian ini terlihat menyamaratakan antara Jawa dan Islam. Dan saya akan sangat tidak setuju dengan statemen tersebut. Jawa tetaplah etnis, dan budaya yang dilahirkannya tetap saja ciptaan manusia. Sedangkan Islam adalah Agama, dan segala sistem dan nilai yang diajarkannya berasal dari Keagungan Tuhan yang mempercayakan Agama tersebut disosialisasikan oleh Muhammad SAW. Muhammad sendiri bukan orang Jawa, beliau kita kenal berasal dari bangsa Arab dari keturunan suku Quraisy.
Melalui pengetahuan ini, akan saya tanamkan kepada Anda bahwa Anda sebagai orang Indonesia pada umumnya, dan khususnya orang Jawa, harus berbangga hati karena Nabi Muhammad SAW yang dimuliakan Tuhan itu tidak lahir dari suku Jawa atau bukan orang Indonesia. Mengapa ini perlu dipahami? Saya sangat prihatin ketika ada beberapa orang dari kita yang merasa minder memeluk Agama Islam hanya karena Nabi Muhammad SAW bukan orang Jawa. Perlu diketahui bahwa Islam bukan hanya milik orang Quraisy, Islam adalah rahmatal lil ‘alamin. Kitabnya, Alqur’an berlaku sepanjang masa dan untuk siapa saja, meskipun Tuhan terkadang diskrimintif dalam ayat-ayatnya, seperti ketika memanggil “hai orang-orang yang beriman, bertakwa, berpikir, kafir dan panggilan-panggilan lain yang secara spesifik ditujukan pada orang-orang tertentu yang Dia kehendaki”. Tapi dalam banyak ayat, secara tegas Tuhan memanggil “hai manusia”, yang berarti tanpa ada batasan suku, agama, kewarganegaraan, warna kulit, status sosial dan status-status lain.
Keprihatinan kedua adalah ketika saya mendengar begitu banyak orang mengagung-agungkan orang arab, bahasa arab dan Nabi Muhammad yang berasal dari arab. Sehingga seakan-akan hanya orang Islam dari arablah yang Islamnya paling sempurna. Sampai budayanya pun dibawa-bawa sebagai identitas Islam yang ada di jazirah selain Arab, termasuk Indonesia. Seperti jubahnya, surbannya, gaya bicaranya dan banyak lagi Arabisasi yang diberhalakan. Saya tidak terlalu suka dengan paham semacam ini, dan setelah saya menelusuri sedikit demi sedikit keluhuran budaya Jawa sebelum datangnya Islam ke Indonesia, saya justru lebih tidak suka lagi. Saya merasa bahwa Tuhan menetapkan saya sebagai orang Jawa yang mengenal Islam-nya Muhammad SAW, supaya saya menjadi orang Jawa yang Islam seperti Islam-nya Muhammad. Dan saya sangat yakin bahwa Tuhan memang menginginkan saya menjadi orang Islam Indonesia, bukan orang Islam Arab. Tapi kalaupun Tuhan menghendaki saya mempelajari budaya Arab dan Bahasa Arab, itu hanya untuk menjadikan saya sebagai manusia Indonesia, bukan menjadi orang Arab pula.
Selanjutnya, setelah kita cermati keluhuran materi-materi Jawa dengan segala mitologi dan simbolnya. Secara kasar, dapat kita simpulkan bahwa orang Jawa secara umum memiliki kesadaran yang sama dalam hal pencarian Tuhan, seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS dalam usahanya mencari Sang Pencipta. Dan orang Jawa melakukan itu dengan sangat hati-hati dan penuh kesungguhan. Dari sisi Akhlak, kemuliaan akhlak orang Jawa banyak sekali dicerminkan dari cara orang Jawa menyikapi kehidupan. Dan kepercayaanya terhadap hal-hal ghaib, termasuk hari akhir atau hari setelah mati juga digambarkan dalam banyak persepsi falsafah Jawa.
Sebagai pembanding, mari kita kenang kembali pengetahuan kita mengenai sejarah pra-Islam di jazirah Arab yang sering dibangga-banggakan orang itu. Singkatnya, peradaban masa itu sangat-sangat buruk dan keji. Barulah ketika Islam datang dan membawa pencerahan dimasa kegelapan itu, peradaban mulai berangsur membaik dan kian membaik sampai pada klaim Makkah al Mukarromah dan Madinah al Munawwaroh.
Sampai di sini, jelaslah sudah bahwa keadaan pra-Islam di Jawa sangat berbeda dengan keadaan pra-Islam di Arab. Untuk sekedar mengingatkan, sering sekali kita dengar puji-pujian terhadap Nabi Muhammad, “anta samsun anta badrun”, yang mengindikasikan bahwa Muhammad adalah Cahaya Peradaban. Sampai di sini sudahkan Anda mampu menangkap pesan yang ingin saya sampaikan bahwa “Lampu hanya diletakkan di tempat yang gelap, atau paling gelap”. Maka dengan sangat percaya diri saya katakan bahwa orang Jawa sebelum Islam tidak seburuk orang Arab sebelum Islam. Jadi, kita sebagai orang Jawa khususnya, dan orang Indonesia umumnya, harus bangga karena Nabi Muhammad tidak lahir dari Rahim orang Jawa dan tidak berkewarganegaraan Indonesia.
Tapi perlu saya tegaskan sekali lagi, bahwa Jawa tetaplah Jawa, dan Islam tetaplah Islam. Peradaban Jawa secara Akhlak dan Aqidah sudah hampir sempurna, tapi tanpa Wahyu dari Tuhan dan Ajaran yang disampaikan Muhammad, kesempurnaan itu tidak akan pernah tercapai sampai kapanpun.
Pendukung Kajian:
FALSAFAH HIDUP JAWA, oleh Suwardi Endraswara, (Yogyakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2010).
Kawruh Basa Jawa Pepak, oleh Daryanto, (Surabaya: APOLLO, 1999)
Kamus Ilmiah Populer, oleh Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, (Surabaya: ARKOLA, 1994)
Kamus Arab-Indonesia, oleh Mahmud Yunus, (Jakarta: PT Hidakarya Agung)
SIGARET KRETEK, oleh DJI SAM SOE (Surabaya: PT HM Sampoerna Tbk.)
)* Penulis adalah Aktifis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung
TOILET PENYADARAN

TOILET PENYADARAN

Oleh: Achmad Rois)*
GAE OPO SEKOLAH DUWUR-DUWUR LEK HASILE MEK GAE PERADABAN SOYO MUNDUR

Dunia dengan berbagai kemajuannya sudah sampai di setiap pelosok Negeri ini. Pengaruhnya yang beragam seringkali menjadi perbincangan banyak orang. Setiap sisi selalu mengundang pembahasan berbeda dari sudut pandang yang berbeda pula. Kemajuan zaman sering dinamai dengan globalisasi. Mereka menyebutnya seiring dengan istilah modern yang hampir tiap detik kita dengar di televisi, radio, dan media lain. Seakan dunia benar-benar harus memiliki pandangan yang sama dengan mereka, yaitu pembangunan, globalisasi atau modernisasi.
Sebuah bangsa dikatakan maju jika memiliki peradaban yang beradab, karena memang asal kata peradaban adalah adab. Kita sering memahami istilah Negara maju dari sisi yang justru sebenarnya bukan hakikat. Karena yang kita lihat hanyalah sisi secara empiris yang sepi kearifan. Misalnya hanya dari sisi teknologi, pembangunan infrastruktur, system ekonomi atau politik yang diberlakukan disebuah Negara. Itu hanyalah sebuah sisi dimana peradaban sebenarnya belum termasuk di dalamnya sebagai kemajuan atau kemapanan.
ROIS dan IMAM

ROIS dan IMAM

Oleh: Achmad Rois)*
Tidak ada jalan kepemimpinan yang bukan jalan pelayanan (Mario Teguh)

Dalam sebuah organisasi, baik besar atau kecil, peran seorang pemimpin adalah sesuatu yang vital. Organisasi yang baik adalah yang mampu memilih pemimpinnya secara tepat. Keluarga sebagai organisasi paling kecil dipimpin oleh seorang Ayah sebagai Kepala keluarga. Begitupun Negara, selalu ada Presiden, Raja, Perdana Menteri atau apapun namanya yang bertindak sebagai pemimpin. Karena pentingnya soal kepemimpinan sampai-sampai Nabi SAW bersabda yang artinya “Apabila tiga orang keluar bepergian, hendaklah mereka menjadikan salah satu sebagai pemimpin. (HR. Abu Dawud)”. Ini membuktikan bahwa Nabi SAW dan Islam memandang sebuah kepemimpinan sebagai sesuatu yang sangat penting, meskipun ada hal-hal lain dalam organisasi yang juga tidak kalah penting dengan kepemimpinan.

Membaca dan Pendidikan Karakter

Membaca dan Pendidikan Karakter


Oleh: Achmad Rois)*
Pendidikan merupakan sebuah ruangan yang luas dengan tatanan perabot dan asesoris yang begitu kompleks dan plural. Di dalamnya masuk berbagai kepentingan dengan tendensinya masing-masing. Kepentingan tersebut adalah alasan mengapa mereka memilih perabotan ini dan asesoris itu. Pilihan merekalah yang nantinya menentukan arah dan jalan hidup mereka ke depan. Jalur sosialkah, politikkah, ekonomikah, agamakah, budayakah, pendidikankah yang akan mereka lalui sebagai jalan untuk mencapai tujuan mereka. Mengapa jalan? Karena semua yang kita kerjakan di dunia ini haruslah menjadi jalan untuk menuai keridhoan Ilahi di Akhirat nanti. Jadi apa sebenarnya tujuan kita? Adalah hidup dengan kebahagiaan jasmani dan rohani dengan makna yang luas. Jadi jika ada diantara kita yang menjadikan segala hal yang bersifat sekular menjadi tujuan, maka segera pikirkan kembali tujuan anda, benarkah anda cukup dengan semua itu.

BAHAYA LATEN TELEVISI

BAHAYA LATEN TELEVISI

Oleh: Achmad rois)*
“Anda begitu gelisahnya dengan kebisingan yang tanpa maksud mengganggu kami perbuat, tapi Anda tidak begitu responsif dengan apa yang ditonton anak-anak didik anda saat tidak berada di sekolah bersama anda. Apa anda pernah berpikir bahwa bahaya yang ditimbulkan televisi adalah kemasan bahaya laten yang disusun secara sistematis dan memiliki pengaruh signifikan dalam jangka yang tidak terbatas? Melalui televisi peradaban modern menginfiltrasi kearifan budaya-budaya lokal. Melaluinya pula dekadensi moral diciptakan dalam berbagai kemasan. Tapi biarlah, karena anda tidak seperhatian itu.
Apakah kalian pernah berikir bahwa percepatan pendidikan usia dini adalah agenda kapitalis untuk menyeragamkan cara pandang kalian terhadap “super child”? Kasusnya, semua orang tua akan mencari banyak alternatif untuk menjadikan anaknya sebagai super child dengan cara yang salah satunya adalah suplay multivitamin. Mereka menyuplai berbagai vitamin dan suplemen dalam rangka meningkatkan kecerdasan anak mereka, sementara mereka tidak tahu bahwa di Afrika pernah ada kampanye vitamin tapi ternyata penyebaran virus HIV. Secara finansial, konstruk pola pikir semacam ini adalah usaha kaum kapitalistik untuk meraup keuntungan sebesar mungkin dari produk-produk yang mereka ciptakan kemudian menjadikan kita semua sebagai bangsa konsumeris.”
Mereka tidak ingin anak-anak kalian menjadi terdidik , berpikir terlalu banyak, itulah sebab mengapa Negara dan dunia kita dijejali dengan berbagai bentuk hiburan, media masa, acara-acara televisi, taman hiburan, obat-obatan terlarang, alcohol dan segala jenis hiburan untuk membuat pikiran setiap orang tetap terhibur. Sehingga kalian tidak menghalangi jalan orang-orang elit tertentu, dengan melakukan banyak berpikir, anda sebaiknya sadar dan mulai berpikir bahwa ada orang-orang yang sedang mengarahkan hidup anda tanpa anda sadari.

Kita sedang dalam masalah besar, kalian yang membaca tulisan ini hanya 3 persen yang membaca buku, 15 persen yang membaca Koran, sebab satu-satunya kebenaran yang anda ketahui hanyalah apa yang anda dapat lihat dari tabung TV. Saat ini, sedang ada seluruh generasi yang tidak pernah tahu apapun kecuali yang datang dari tabung TV. Tabung tersebut seakan seperti wahyu dari Tuhan yang tidak bisa dibantah dan wajib di imani. Tabung tersebut bisa menaikkan atau menjatuhkan siapapun. Dia merupakan kekuatan paling dahsyat diseluruh dunia, dan celakalah bagi kita jika ia sampai jatuh ke tangan orang yang salah. Dan ketika perusahaan terbesar di dunia menguasai kekuatan propaganda terdahsyat di seluruh dunia itu, siapa yang tahu kebenaran macam apa yang akan dijual melalui jaringan ini. Televisi bukanlah kebenaran, TV adalah taman bermain, sebuah sirkus, sebuah karnaval, pertunjukan acrobat keliling, penjaja dongeng, para penari, pemain sulap, pawang singa dan pemain sepak bola. Kita sedang berada dalam bisnis yang luar biasa menjemukan. Tapi kalian semua duduk didepannya setiap hari, setiap malam, semua umur, semua warna kulit, keyakinan…kita semua. Kalian mulai percaya dengan ilusi yang kita putar dari sini, kalian mulai menganggap tabung tv ini sebagai realitas, dan justru hidup anda sendiri yang tidak nyata. Kalian melakukan apa saja yang dikatakan tv, kalian berpakaian seperti di tv, makan makanan yang ada di tv, membesarkan anak kalian seperti di tv, bahkan kalian sudah berpikir seperti di tv. Ini kegilaan masal, wahai kalian para maniak. Demi Tuhan bahwa kalianlah yang nyata, dan tv hanyalah ilusi,
Kekuasaan yang tidak ditepatgunakan senantiasa merusak, dan kekuasaan mutlak yang tidak ditepatgunakan berarti rusak sepenuhnya.
Tulisan ini sebagian diadopsi dari film dokumenter ZEITGEIST
)* Penulis adalah Aktifis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung
SEMANGAT BADAR

SEMANGAT BADAR

Oleh: Achmad Rois)*
Lama sekali sebelum hari ini aku meninggalkan kebiasaan yang begitu lama aku bangun dengan semangat dan perjuangan. Kebiasaan itu kadang menjadi pelipur kesedihan dalam berbagai polemik kehidupan. Kadang ia adalah konten dari setiap hari yang aku lalui, tapi lebih banyak dari mereka adalah gumpalan imaji dan mimpi. Telah aku putuskan bahwa hari ini adalah hari dimana aku harus menulis dan terus menulis lagi, tak peduli seberapa buntu otakku, seberapa sibuk tubuhku, dan seberapa fit tingkat kesehatanku. Karena harus aku akui secara jujur bahwa hati kecil ini selalu merasa bersalah dan berdosa ketika ada sesuatu yang bisa aku tulis namun tak kunjung aku tulis. Meskipun aku sendiri bahkan tidak tahu dalam golongan mana dosa ini diklasifikasikan oleh malaikat kiriku. Tapi yang pasti, Tuhan, aku mohon ampun untuk dosa itu.

Sebenarnya, tak ada tema yang benar-benar berkualitas untuk kutulis. Tapi jari ini benar-benar rindu dengan keyboard yang sengaja disusun tidak teratur ini. Mengapa demikian aku juga tak tahu, tapi mungkin supaya tidak cepat rusak. Karena jika disusun sesuai urutan abjad mungkin akan lebih mudah dihafal, akhirnya semua orang akan mengetik terlalu cepat di atas papan keyboardnya. Bisa benar, bisa tidak, selalu saja begitu.
Aku teringat sesuatu tentang perang badar dimana pasukan yang dipimpin sendiri oleh Nabi Muhammad SAW berjumlah jauh lebih sedikit dari pasukan musuh. Tempat perang ini berlangsung adalah bukit Badar, dan karena itu pula perang ini disebut perang badar. Sampai hari ini, perang ini diabadikan dalam sebuah puji-pujian, semacam lagu perjuangan untuk mengenang jasa-jasa mereka yang gugur di medan pertempuran. Tapi apakah sebenarnya yang mereka perjuangkan selain Agama Tuhan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad?
Perjalanan dari Madinah ke bukit Badar merupakan perjalanan yang panjang dan sangat melelahkan. Bahkan sebuah riwayat menceritakan bahwa sesampainya di medan perang, mereka semua bahkan tidak layak tempur. Singkatnya, secara logis mereka kalah perang. Baik dari keterbatasan jumlah ataupun kesiapan untuk bertempur. Namun apa yang terjadi? Nabi Muhammad pun bahkan tahu bahwa mereka tidak mungkin menang, dari itu Beliau memohon pertolongan kepada Tuhan. Kemudian apa yang membuat Tuhan berkenan memberikan kemenangan kepada mereka yang bahkan tidak pantas secara logis untuk menang? Ternyata usut punya usut, selain jihad fi sabilillah, mereka juga berperang untuk membela dan melindungi keluarga, sanak famili dan orang-orang lemah yang berada di kampung halaman mereka.
Tema ini kelihatannya menarik untuk diketengahkan di zaman dimana semua orang berlomba-lomba untuk mencukupi kepentingannya sendiri. Bahkan dengan tega merampas hak-hak orang lain dengan berbagai dalih dan kepentingan. Sementara sifat Rohim Tuhan sangat menghargai dan menyayangi orang-orang yang bersedia membela kepentingan kaum marjinal. Masih adakah kesadaran yang sedemikian mulia ditengah hiruk pikuk sekularisasi dan kompetisi kapitalis yang kian menjalar di setiap sektor kehidupan. Jika tidak, kenapa harus sibuk mengelu-elukan shalawat badar setiap maulid dan pada banyak kesempatan setelah adzan. Bukankah ini hanya akan menjadi seonggok teriakan kosong tanpa jiwa dan makna kontemplatif.
Semangat untuk membela kaum lemah atau marjinal ini harus senantiasa dipupuk dan dikembangkan se-lestari mungkin. Siapa lagi yang mewarisi perjuangan mereka, para pejuang badar. Pemimpin-peminpin kita sudah banyak lupa dengan tugas utama mereka. Yang mereka tahu hanya bagaimana bisa menjabat lebih lama dan jadi kaya raya. Jika pemimpin kita tak lagi peduli pada nasib kita dan saudara-saudara kita sebangsa tanah dan air, lantas siapa lagi yang peduli? Tuhankah? Tuhan tidak mungkin harus turun tangan untuk masalah se-sepele ini. Lalu apa gunanya kita dijadikan khalifah jika dengan masalah sekecil ini saja kita menyerah.
Akhirnya, semangat Badar harus mulai tidak hanya dikenang, tapi juga dipribumikan, sosialisasikan dan laksanakan. Tuhan yang akan memberikan kemenangan, meskipun kita tidak pantas secara logis untuk menang.

Anda yang dengan sengaja berbuat sesuatu untuk membela kepentingan kaum Marjinal adalah Para Pejuang Badar yang sedang berperang bersama semangat Nabi Muhammad SAW di Bukit Badar. Tuhan yang akan memberi kemenangan kepada Anda, meskipun kemenangan itu sangat tidak logis untuk Anda terima sebagai Prajurit.

)* Penulis adalah Aktifis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung.
ISLAM ADALAH INDONESIA, INDONESIA ADALAH ISLAM (Sebuah Tawaran Damai)

ISLAM ADALAH INDONESIA, INDONESIA ADALAH ISLAM (Sebuah Tawaran Damai)


Oleh: Achmad Rois)*
Membicarakan agama pada umumnya selalu mengarah pada hal-hal yang bernuansa theologis. Atau bila itu tidak menjadi aksentuasi pemikiran, perbincangannya selalu berkisar pada unsur-unsur syariat dan hukum-hukum yang baku. Atau yang lebih sering dan radikal biasanya mengenai penistaan agama dan pertentangan antara ajaran yang satu dengan yang lain sebagai fenomena dari konflik keagamaan yang memang sudah lazim terjadi, meskipun sebenarnya kelaziman itu tidak seharusnya terjadi. Untuk itu, lupakan sejenak mengenai hal ini, dan mari kita berbicara mengenai karakteristik agama sebagai manifestasi dalam kehidupan sosial.
Setiap agama, apapun itu selalu mempunyai karakteristik ajaran yang membedakannya dari agama yang lain. Dalam konteks Islam, Islam sendiri biasa dipahami sebagai agama yang diajarkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW melalui media wahyu yang kemudian tenar dengan nama Alqur’an. Ini bisa berarti bahwa karakteristik ajaran Islam adalah pengetahuan dan pedoman hidup yang berlaku dalam menjalani kehidupan dalam berbagai bidang yang senantiasa didasari oleh pengetahuan Alqur’an. Tetapi membahas karakteristik ajaran Islam bukanlah sesuatu yang mudah karena ruang lingkupnya yang sangat luas dan mencakup berbagai aspek kehidupan umat Islam dalam ritual internalnya sendiri ataupun korelasinya dengan masyarakat lintas agama. Karena cakupannya yang luas, maka penulis dalam kesempatan yang diberkahi Tuhan ini membatasi lingkup pembahasan pada wilayah territorial Indonesia saja, dan kalaupun nanti menyinggung wilayah lain, mungkin saja itu hanya sebagai pembanding.
Penjajahan Tanpa Akhir

Penjajahan Tanpa Akhir


Oleh: Achmad Rois)*
Indonesia adalah Negara besar dengan pengalaman penjajahan yang matang. Kematangan ini menjadi sesuatu yang sama sekali tidak bisa dilupakan bahkan dipisahkan dari prilaku kehidupan sehari-hari setiap manusia yang hidup dan menghirup udara di atas tanah airnya. Kehadiran para kolonial yang begitu lama sudah cukup untuk menginfiltrasi segala hal yang menjadi pedoman serta pandangan hidup sebuah bangsa yang pernah dijajahnya. Mereka merasuki setiap aspek kehidupan mulai dari caranya berpikir sampai dengan caranya berpakaian. Berpikir sebagai penjajah, berpakaian seperti penjajah dan bertindak hampir seperti Tuhan.
Aku tidak tau seperti apa Tuhan, tapi aku tahu apa yang tidak seperti Tuhan. Tuhan memang maha kaya, tapi Tuhan tidak pernah serakah. Tuhan memang maha memaksa, tapi Tuhan memberi kita banyak sekali pilihan. Tuhan memang maha kuat, tapi Tuhan tak pernah menindas yang lemah. Tuhan memang maha kuasa, tapi Tuhan tidak otoriter. Tuhan hampir maha segalanya, tapi Tuhan tak ingin memiliki segalanya dari kita. Beliau hanya ingin kita menyisihkan waktu kita untuk mengingat dan berprilaku seperti apa yang kita pahami tentang Dia. Tuhan tidak pernah memaksakan persepsi kita tentang-Nya, tapi Beliau menyediakan begitu banyak tanda untuk kita pahami melalui berpikir, meskipun sesekali melalui intuisi.
Deskripsi kolonial ini menjadi semakin terkenal karena kebanyakan orang tidak suka dijajah. Karena itu para guru di sekolah selalu memperkenalkan apa yang menjadi karakteristik para penjajah. Dan karena itu semakin diperkenalkan, semakin banyak pula yang tidak ingin disebut penjajah, meski mereka sebenarnya ingin menjadi penjajah. Menjadi penjajah tidak harus terlalu pandai, mereka hanya perlu terlihat seperti orang pandai. Ini tentu sudah dibuktikan oleh sejarah, konon bangsa belanda adalah bangsa yang paling bodoh dan emosional di eropa pada masa itu, tapi kenapa mereka mampu menjajah Indonesia begitu lama. Karena kita terlalu bodohkah, atau memang kita waktu itu kurang beruntung.
Sekarang, hari ini, klaim bahwa Indonesia sudah merdeka merupakan timangan paling efisien untuk meninabobokkan kita dari penjajahan, yang bahkan dilakukan oleh bangsa kita sendiri. Oleh orang-orang yang haus kenikmatan dan tidak pernah kuasa melawan keserakahan. Mereka tidak sadar bahwa mereka sebenarnya sedang dijajah oleh perutnya sendiri. Mereka merasa perlu memperjuangkan kebebasan mereka sendiri, tanpa sadar bahwa dalam dirinya ada penjajah yang tidak pernah mampu mereka tumpas kecuali dengan dua hal. Pertama, merasa puas dengan apa yang sudah mereka miliki dan, kedua, berhenti menuruti apa yang ingin mereka miliki, karena keinginan itu tak akan pernah berakhir selama hidup dalam dunia fatamorgana ini.
Faktanya, mereka merasa sudah menjadi penguasa sementara mereka sebenarnya sedang dikuasai oleh sesuatu yang tidak mereka sadari. Ketidak tahuan dan keserakahan membuatnya merasa bebas dalam belenggu jeruji yang tak terlihat. Kekuasaan dalam pengertian ini adalah sebuah terminal kepongahan, dimana yang ada di sana hanya segerombol perampok yang ingin merampas apa saja dan berbuat semaunya. Sementara prinsip yang dipegang oleh para perampok ini adalah “kami mungkin akan masuk neraka, tapi paling tidak kami menikmati perjalanannya”.
Karena itu, dalam tulisan ini kami mengajak siapa saja yang merasa belum bebas untuk mulai memperjuangkan kebebasannya mulai sekarang. Sebelumnya kita harus mengenali prinsip yang dipegang teguh oleh mereka (kolonial). Bahwa tidak ada Negara di dunia ini yang pernah dijajah boleh merdeka. Karena itu, mereka hanya pergi dari Negara jajahannya saat mereka sudah memiliki duplikasi dari diri mereka disana dalam bentuk apapun. Duplikasi sistem pemerintahan, pola pikir, gaya hidup, dan banyak hal lain. Dan itupun belum selesai, sampai tidak ada lagi yang dapat mereka ambil sebagai keuntungan dalam bentuk apapun.
Akhirnya, tidak ada yang dapat kita lakukan untuk mengusir penjajahan dalam bentuk apapun selain menyadari bahwa kita sedang dijajah, mengetahui apa dan siapa yang menjajah kita, mengetahui cara apa yang mereka gunakan untuk menjajah kita, kemudian kita mulai berpikir bagaimana mengalahkan atau paling tidak mencegahnya dengan satu tindakan, yaitu “PERLAWANAN”.
)* Penulis adalah aktifis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT)Tulungagung